Bimbang

24.6K 1.5K 80
                                    

Tenang saja, Sofia akan keluar pada waktunya, kok. Sekarang, giliran Sofia muncul di cerita ini. FYI, cerita ini akan tamat dalam beberapa bab lagi-sepertinya. Kalian bisa follow akun aku untuk mendapatkan notifikasi mengenai ceritaku yang lain. Jangan lupa bintang dan komentarnya. Selamat membaca, hatur nuhun.



Modern Art Cafe masih seperti dulu. Bangunan berlantai dua dengan nuansa modern yang terletak di Jalan Wijaya, Jakarta Selatan. Dengan kaca yang besar di setiap sisi ruangan akan mempermudah melihat jalan raya yang dipenuhi mobil-macet. Pelataran parkirnya cukup luas untuk memuat beberapa mobil. Lewat jendela itu, Sofia melihat Camry hitam terparkir di sana. Mobil yang tadi dinaiki Sofia bersama perempuan cantik di hadapannya.

Rania-perempuan berambut panjang bergelombang pirang itu duduk di kursi kayu di depan Sofia. Ini kali pertama Sofia berhadapan berdua dengannya dengan jarak sedekat ini. Dengan menggunakan blouse tanpa lengan dan rok pendek, Rania terlihat cantik dengan kedewasaannya. Ditambah dengan lipstik merah marun yang menemani polesan blush on di pipi tirusnya. Tubuhnya masih langsing dengan tinggi semampai. Ia menggunakan sepatu high heel lancip yang membuat Sofia semakin terlihat kecil berjalan di sisinya.

Kecantikan Rania menurunkan rasa percaya diri Sofia. Perempuan itu masih memiliki tubuh yang bagus meskipun sudah pernah hamil dan melahirkan Cila. Itu membuat Sofia bertanya-tanya dalam hatinya. Masih bisakah tubuhnya sebagus itu setelah melahirkan nanti? Tanpa sadar, Sofia justru mengelus perutnya yang membuncit. Ah, seharusnya ia tidak boleh memikirkan itu. Terlalu egois bagi seseorang yang akan menjadi ibu. Bukankah yang terpenting adalah kesehatan bayinya?

"Akhirnya, kita bisa ngobrol, Sofia," kata Rania.

Suaranya merdu. Ia pandai bernyanyi. Tidak seperti Sofia yang bahkan berdendang saja sudah fals. Bakat yang menurun pada Cila-puteri yang teramat dicintainya. Itu membuat tingkat percaya diri Sofia jatuh ke titik terendah.

Perempuan inilah yang dipilih Azzam untuk dinikahi karena cinta. Beda sekali dengannya. Kini, Sofia menyadari jika keputusan Azzam tidak keliru. Siapa yang bisa menolak perempuan secantik Rania?

"I love him so much, Sofia."

Sofia hampir tersedak minumannya sendiri. Itu bukan kalimat yang ingin didengarnya dari mulut selingkuhan suaminya. Tapi, ia tidak ingin kelihatan merendah di hadapan Rania. Ia langsung mengendalikan diri.

"Itu yang pertama aku pikirkan saat melihat Azzam di Munich dulu. Bertahun-tahun enggak bertemu. Kupikir itu perasaan cinta ketika melihat Azzam lagi. Aku bilang sama diriku sendiri, akhirnya aku bisa jatuh cinta sama Azzam. Itu rasa yang enggak pernah kurasakan saat menjadi istrinya."

Sofia tidak mengerti mengapa ia harus duduk di tempat ini bersama Rania. Harusnya ia menolak. Ia tidak ingin mendengar sesuatu yang justru akan melukainya lagi. Ia belum dapat sepenuhnya move on dari Azzam.

Ketika tahu jika Azzam akan datang ke rumahnya, mama langsung membawanya ke toko kue. Pagi-pagi sekali ketika orang lain bahkan baru mau memulai olahraga di waktu libur. Mama bilang kalau Sofia haram bertemu Azzam. Itu bisa berdampak pada psikologisnya. Berlebihan sekali.

Menjelang siang, Sofia justru dikagetkan dengan kedatangan Rania. Perempuan cantik itu mengajaknya mengobrol. Maka, Sofia memilih tempat ini. Ia tidak ingin terjadi keributan bila mama melihat Rania.

Pegawai mama bilang kalau ada artis cantik yang ingin bertemu dengannya.

Artis cantik itu Rania. Bukan artis tapi wajahnya sangat cantik.

"Bang Azzam cerita soal alasanmu ingin bercerai darinya," kata Sofia.

"Aku pikir itu keputusan terbaik bercerai dari Azzam. Setidaknya ia menemukanmu dan menikahimu."

Tapi kalian menyakitiku dengan berselingkuh. Seandainya Sofia adalah mama, Safira, atau Adiba, pasti kalimat itu sudah keluar dari mulutnya. Nyatanya, Sofia hanya mampu mengucapkan itu di dalam hatinya.

"Tapi, aku kembali membuat kesalahan dengan merusak rumah tangga kalian." Rania menatap Sofia. Ia mengambil tangan Sofia. Katanya, "Aku enggak berpikir panjang saat menjalin hubungan dengan Azzam."

Rania menghentikan kalimatnya. Perempuan itu menyerumput jus jeruknya sebelum meneruskan. "Kembalilah pada Azzam, Sofia."

Sofia menggeleng. "Aku enggak tahu bisa kembali apa enggak ke Bang Azzam. Rasanya terlalu menyakitkan."

"Azzam mencintaimu," katanya lagi.

Rania tidak tahu lagi harus mengatakan apa lagi untuk membuat Sofia kembali pada Azzam. Ia harus membantu Azzam berjuang mendapatkan kembali istrinya yang cantik dan berhati lembut.

Hanya itulah yang bisa dikorbankannya untuk Cila, puteri yang kini begitu dicintainya.

Rania mengenang peristiwa beberapa bulan lalu. Ketika pertama kalinya ia bertemu Sofia.

Ia melihat bagaimana Cila tertawa dengan bahagia saat berjalan bersama Sofia dan Bu Rum di mall di Bandung. Sofia diam-diam bertemu dengan Cila. Anak itu tidak berhenti memancarkan kebahagiaan dari wajahnya. Ekspresi yang tidak pernah ditemukan Rania saat Cila bersamanya.

Ia bahkan telah kalah sebelum maksimal berjuang. Anak itu sudah memilih kebahagiaannya bersama Sofia. Nyatanya, bukan Rania yang memenangkan hati Cila.

Azzam tidak perlu tahu itu. Ia hanya perlu meyakinkan dirinya untuk mundur perlahan. Cila lebih membutuhkan Sofia daripada dirinya.

Bahkan, meski ia tahu jika hari-hari berikutnya Sofia tetap menemui Cila, Azzam tidak pernah tahu. Rania menutup rapat rahasia itu. Hingga saat ini.

"Bang Azzam enggak pernah mencintaiku. Dia mencintai kamu." Suara Sofia membuyarkan lamunan Rania.

"Enggak," kata Rania cepat. "Azzam sebenarnya mencintaimu. Dia hanya berusaha menyangkalnya aja. Kamu tahu, Sofia. Perasaan cinta Azzam sudah tergerus ketika aku meninggalkannya. Semakin kosong dan akhirnya terisi ketika kamu hadir dalam hidupnya dan Cila."

"'Tapi Bang Azzam lebih memilihmu."

"Itu karena dia salah menafsirkan perasaanya sendiri. Dia hanya terobsesi pada upaya yang dulu enggak berhasil. Dia hanya ingin mendapatkanku karena dulu gagal."

"Dan mengorbankan istrinya," suara Sofia meninggi.

"Maafkan dia, Sofia."

"Aku sudah memaafkan Bang Azzam."

"Berikan Azzam kesempatan lagi. Dia sangat mencintaimu."

Sofia terdiam. Ia tidak tahu menjawab apa. Ia tidak memiliki jawaban. Hatinya bimbang. Suara ponsel menghentikan pikirannya yang sedang berpikir. Itu pesan mama.

Dek, jangan pulang dulu. Azzam masih di sini.

Lalu, kemanakah ia akan pulang?

***

Ketika Waktu Kembali (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang