Cerita Papa

32.3K 1.7K 89
                                    

Azzam belum memiliki nyali untuk berbicara banyak hal dengan mama. Merayu mama untuk memberikan izin Sofia kembali padanya? Sudah ia katakan sejak awal jika mama lebih menyeramkan daripada hantu. Bertemu hantu tinggal membaca ayat Alquran dan doa. Hantu langsung pergi. Kalau mama? Apapun yang Azzam katakan, akan langsung dibalas dengan ucapan pedas.

Tadi, pagi-pagi, mama, papa, Samir, dan Adiba berkumpul di ruang inap Cila untuk membawa gadis itu keluar dari rumah sakit. Kondisi puteri kecilnya sudah baik dan tinggal menghabiskan dan istirahat di rumah. Di depan Sofia, Azzam mengatakan jika akan mencabut gugatan cerainya pada Sofia. Hanya mengatakan itu. Belum sampai ke tahap mengajak Sofia rujuk. Tapi, apa balasan mama.

"Kamu yang memutuskan menceraikan anak mama. Jadi, mari kita lanjutkan sampai jatuh surat cerai Sofia." Mama bahkan tidak peduli dengan tatapan bingung Cila. Setelah mengatakan hal itu, mama mencium kening Cila. Tidak lama karena mama berucap lagi, "Biarkan Cila tinggal di Jakarta untuk penyembuhan. Itu juga kalau kamu sayang sama anakmu."

Ia bahkan memberi penekanan di kalimat akhir. Seolah-olah Azzam adalah ayah yang tidak menyayangi Cila. Tentu saja Azzam menyetujuinya. Meskipun berat, itu demi kebaikan Cila. Azzam rela jauh dari Cila agar gadis cilik itu bisa sehat dan ceria seperti dulu. Apapun demi Cila.

Azzam pikir perjuangannya mendapatkan Sofia hanya terletak pada mama. Nyatanya, masih ada satu manusia yang menjadi saingannya. Dokter Garda masuk dengan menggunakan kaus dan celana panjang. Ia tidak terlihat seperti dokter dengan pakaian seperti itu. Laki-laki itu bahkan dengan percaya dirinya ingin mengantar Sofia. Itu sukses membuat Azzam harus menahan gejolak amarahnya.

"Ya udah. Kita semua pulang bareng Garda. Papa bisa langsung ke Bogor," kata mama.

Azzam baru tahu jika sebenarnya papa sedang ada pekerjaan di Bogor. Itu tadinya yang membuat mereka bingung. Saka sudah pulang karena anaknya harus sekolah. Tadinya, Azzam mau memanfaatkan ini untuk mengajak Sofia semobil dengannya.

"Sama Azzam saja, Ma."

Mama langsung membalas dengan memberi tatapan tajam ke arah Azzam. "Mobil kamu kotor. Enggak cocok buat anak mama yang hatinya baik di sana."

Tepat sasaran sekali. Azzam tidak mampu membalasnya. Memangnya sejak kapan ia mampu membalas ucapan mama yang bermulut pedas itu.

Dokter Garda itu langsung senang. Laki-laki itu bahkan dengan senang hati membawa tas pakaian mama ke dalam Pajero hitamnya yang ditaruh di parkir khusus dokter di rumah sakit ini. Di belakangnya mengekor mama dan Samir.

"Ayah," Cila berbisik di telinga Azzam. Gadis itu meminta digendong Azzam menuju parkiran. Anak itu bahkan tidak peduli dengan tubuhnya yang sudah besar dan masih ingin bermanja dengan ayahnya. "Cila sebenarnya mau tinggal di Bandung sama Ayah dan bunda kayak dulu."

Azzam tersenyum. Setidaknya masih ada orang yang menginginkannya kembali pada Sofia. Itu akan Azzam pegang sebagai suplemen penambah semangatnya memperjuangkan Sofia. Malaikat kecil Sofia menginginkan bundanya kembali pada Azzam. Sofia tidak akan sanggup menolaknya. Ia hanya perlu lebih banyak keberanian untuk menaklukkan perempuan lain yang bermulut tajam, mama.

"Nanti di Jakarta, Cila bilang itu ke bunda, ya."

"Tapi, kalau bunda tinggal di Bandung, enggak sama tante itu, kan, Yah?"

Azzam menggeleng yang membuat puterinya tersenyum senang. Mana bisa ia kembali ke Rania sedangkan laki-laki di depannya membuat Azzam ingin menarik Sofia padanya.

***

Azzam lama sekali tidak kedatangan tamu di rumahnya. Sejak dulu, ia tidak terlalu pintar bergaul. Teman-temannya didominasi oleh temannya Saka. Jadi, lingkungan pertemanan mereka sama.

Bu Rum tahu itu. Makanya paginya ini, perempuan itu kaget ketika melihat dua mobil terparkir di halaman rumah Azzam. Laki-laki itu keluar dan berjalan dengan canggung dengan papa di sampingnya.

"Zam, boleh papa ke rumahmu?"

Hanya itu yang diucapkan papa selepas mengantar Cila pulang ke Jakarta dengan menggunakan mobil dokter Garda. Niatnya untuk langsung menyusul harus tertunda. Azzam mengangguk. Ia tahu ada hal penting yang ingin disampaikan papa padanya.

Mungkin papa akan menghajarnya.

Pemikiran itu muncul begitu saja. Azzam tahu jika Sofia sangat spesial di keluarganya. Ia anak perempuan satu-satunya keluarga papa dan mama. Anak yang sepuluh tahun dinantikan setelah kelahiran Saka. Perempuan yang selalu menuruti permintaan orangtua. Perempuan yang tidak pernah sekali berkata kasar dan tinggi pada orangtuanya. Perempuan yang hatinya lembut seperti kapas.

Perempuan yang seharusnya ia jaga dan sayangi, bukan disakiti.

Mereka duduk di ruang tengah. Ditemani televisi yang menayangkan acara gosip selebritis Indonesia. Dengan volume rendah untuk memecah keheningan di antara mereka. Juga ditemani teh hangat untuk memudarkan udara dingin di Dago Atas.

"Kamu tahu kapan pertama kali mama kenal kamu, Zam?" papa memulai percakapan.

Azzam mengangguk. Ia ingat sekali peristiwa itu. "Waktu Saka ajak mama dan papa ke kampus." Ketika itu di kampus ada acara. Saka membawa papa dan mama ke ITB. Azzam tidak sengaja bertemu dengan Saka dan kedua orangtuanya. Teman baiknya itu memperkenalkan mereka pada Azzam. Itu kali pertama ia melihat kedua orangtua Saka.

Papa menggeleng. "Mama kenal kamu saat Saka kecopetan. Saka bilang ada temannya dari Jakarta yang baik. Dia mau memberikan pinjaman uang sejuta untuk Saka beli bahan penelitian tugas."

Oh, peristiwa itu. Bahkan, Azzam sendiri hampir lupa. Saat itu, Saka kecopetan. Dompet dan segala dokumen di dalamnya-uang, KTP, ATM, dan SIM-juga ikut hilang. Ada bahan presentasi yang membutuhkan biaya besar. Ponsel Saka juga raib. Azzam memberikan pinjaman itu. Mereka baru mengenal dua bulanan. Tapi, Azzam percaya pada Saka. Bagi Azzam, Saka tidak terlihat seperti orang tidak bertanggung jawab.

"Saat itu, mama jatuh hati sama teman Saka yang namanya Azzam. Laki-laki baik yang sudah menolong putera mama."

Azzam ingat bagaimana baiknya mama ketika itu. Ketika menelepon Saka, mama juga sering berkomunikasi dengannya. Menanyakan keadaan, apakah sudah makan, apa makanan yang ingin Azzam makan sehingga mama bisa memasakannya saat ke Bandung. Azzam seperti melihat bayangan mama kandungnya dalam tubuh mama.

"Waktu kamu menikah, mama patah hati. Tapi, mama mencoba untuk ikhlas. Dia tahu kalau kamu mencintai Rania dan akan bahagia bersamanya. Orang pertama yang sedih ketika tahu kamu bercerai itu mama. Dia memikirkan kamu dan Cila."

Papa terdiam. Ia mengambil cangkir teh di meja di hadapannya kemudian meminumnya perlahan. "Ketika kamu datang ke rumah, memperkenalkan diri sebagai pacarnya Sofia, mama senang sekali. Bahkan, setelah kamu pulang, mama enggak pernah berhenti menasihati Sofia. Mama bilang agar Sofia jangan sampai putus sama kamu. Sofia harus menjadi perempuan yang lebih dewasa karena akan menjadi ibu buat Cila."

Azzam tersenyum mendengarnya. Ia ingat. Malam sebelum pernikahannya dengan Sofia dilaksanakan, perempuan itu meneleponnya. Sofia mengeluhkan betapa cerewetnya mama padanya. Banyak nasihat yang diberikan mama. Semua berfokus agar Sofia dapat menjadi istri dan ibu terbaik untuknya dan Cila. Mama ingin agar Sofia bisa membahagiakan Azzam dan Cila. Nyatanya, Sofia bahkan melakukan lebih dari itu.

"Laki-laki itu hakikatnya suka tantangan. Semakin menantang semakin tergiur untuk ditaklukkan. Tapi, bisa juga kayak anak kecil. Merengek dan menangis minta permen. Setelah dikasih, dimakan sebentar terus dibuang."

Perkataan itu sangat menyentil Azzam sekali. Ia tidak mampu menatap papa. Azzam mengalihkan matanya dengan melihat siaran televisi di hadapannya.

"Tapi, tantangan terbesar bagi laki-laki adalah menjadi suami terbaik. Bagaimana dia bisa menjaga kesetiaannya meski di luar sana banyak godaan. Karena kalau dia sudah bisa menjadi suami terbaik, dia otomatis bisa menjadi ayah terbaik bagi anak-anaknya."


Duh, papa, kalau ngomong beda benar sama mama. Halus tapi langsung masuk ke hatinya Azzam.

***

Ketika Waktu Kembali (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang