Jangan lupa berikan komentar dan bintangnya, ya....
Kemarin, saat pulang ke Bandung, rasanya tulangku ingin patah. Sekarang, tulangku benar-benar patah. Ada rasa sedikit nyeri di tulang pangkal pahaku ketika aku membuka mata. Tapi, pemandangan di hadapanku mampu membuat rasa sakitku hilang begitu saja. Aku mau menukar rasa nyeri ini setiap malam jika balasannya adalah melihat wajah Bang Azzam yang terlelap di sampingku. Tangannya terulur memeluk pinggangku dengan posesif. Hembusan napasnya justru terdengar seperti bisikan seksi nan menggoda di telingaku.
Mataku melirik jam dinding di hadapanku. Sudah hampir setengah lima. Suara mengaji terdengar lewat speaker masjid yang letaknya tidak jauh dari rumahku. Dengan pelan, aku mencoba menggoyangkan tubuh Bang Azzam.
"Bang, bangun. Sebentar lagi subuh."
Bang Azzam mengeliat. Perlahan matanya terbuka. Ia tersenyum ketika melihat wajahku. Sontak, pipiku kembali bersemu merah. Ini yang kubenci dari kulitku yang terlalu putih. Jika malu dan bersemu, pasti langsung kelihatan merahnya. Benar-benar mampu membuat rasa maluku bertambah.
Bukannya beranjak, kepala Bang Azzam maju dan mengecup bibirku sekilas. Kupikir ini adalah morning kiss pertamaku. Dari novel-novel romantis yang kubaca, kebanyakan suami istri selalu melakukan hal ini. Membayangkan hal itu lagi membuatku semakin malu. Aku yakin jika wajahku sudah seperti kepiting rebus. Namun, belum hilang rasa maluku, Bang Azzam justru menarik tubuhku ke arahnya. Ia mendekap tubuhku erat. Berkali-kali kepalaku dikecupnya.
Aduh mama, rasanya aku ingin pingsan saja.
"Bang," panggilku pelan tanpa berusaha melepas pelukannya.
"Terima kasih, Sofia. Terima kasih mau menerima lamaranku. Terima kasih mau menjadi istriku. Terima kasih mau menjadi ibunya Cila. Terima kasih sudah mencintaiku dan Cila, Sofia."
Pertahanan diriku runtuh seketika. Air mataku langsung menetes begitu saja. Aku terisak pelan di dada suamiku. Mungkin Bang Azzam menyadari jika kulitnya terasa dingin oleh air mataku. Ia mengendurkan pelukannya. Ia menciumi seluruh wajahku dengan perasaan sayang. Hidung, kening, pipi, mata, dan berakhir di bibirku. Tidak ada hasrat apapun karena setelah mengecup bibirku lama, Bang Azzam langsung berdiri menuju kamar mandi. Ia membiarkanku termangu begitu saja di ranjang ini.
Baik Sofia, sekarang tugasmu sebagai seorang istri dan ibu akan dimulai.
***
Menikah itu bukan sekadar berbagi teman di tempat tidur tapi menjadi partner seumur hidup. Itu petuah yang selalu diucapkan mama setelah Bang Azzam datang melamarku secara resmi kepada papa. Menurut mama, untuk mencapai menerima segala bentuk kelebihan dan kekurangan pasangan, ada banyak fase yang akan dilewati. Pertama, harus tahu kebiasaan pasangan. Kemudian, mengerti kebiasaan tersebut, memahami, hingga akhirnya dapat menerimanya. Hal itu akan aku ingat baik-baik.
Bang Azzam selalu sarapan dengan nasi. Baginya, tidak makan kalau belum dengan nasi. Kebiasaan ini harus kuingat. Bu Rum memberitahuku soal ini. Tadinya, aku bingung ketika pagi ia sudah memasak nasi. Sementara aku yang akan memasak lauk sebagai teman sarapannya.
Kebiasaan lain dari Bang Azzam adalah salat subuh di masjid. Ini pasti sangat disukai papa. Ketika kutanyakan. Ia hanya menjawab, jika subuhlah yang paling memungkinkannya salat di masjid. Sedang jadwal salat lain, ia masih berkutat dengan pekerjaannya. Jadi, biasanya hanya bisa salat di sudut ruangan kerjanya di kantor. Bahkan, tidak jarang ia pulang sudah larut malam sehingga memang hanya subuh yang bisa membuatnya salat di masjid dekat rumah.
"Non, nanti Non Sofia yang membuatkan kopi untuk Bapak?" tanya Bu Rum.
Panggilan itu tentu saja aku yang meminta. Bagaimana bisa jika aku yang masih muda ini dipanggil ibu oleh Bu Rum yang usianya hampir sama dengan usia mama. Biarlah Bu Rum memanggil Bang Azzam dengan Bapak. Toh, Bang Azzam sudah 32 tahun. Sudah bapak-bapak pula.
Di rumahku di Jakarta, Mbak Neni selalu memanggilku Dek. Meskipun bukan anak bungsu, panggilan itu sudah disematkan padaku saat aku lahir. Bahkan, sampai Samir lahir 3 tahun kemudian, aku masih dipanggil Dek oleh semua orang rumah kecuali Samir. Anak itu tentu saja memanggilku kakak.
"Kamu tidak makan, Sofia?" tanya Bang Azzam menatapku. Wajahnya sudah segar sekali. Selepas pulang dari masjid, ia menyempatkan diri olahraga ringan di rumah selama setengah jam sebelum akhirnya mandi dan bersiap ke kantor.
Kantor? Tentu saja. Suamiku sudah harus pergi kerja kembali karena sisa cutinya sudah habis. Jangan tanyakan soal bulan madu. Beberapa hari menjelang pernikahan, aku sudah membayangkan wisata romantis bersama suami idamanku ini. Hanya saja, hasilnya nihil. Nol besar. Ketika aku menggerutu, justru mama mengomeliku. Katanya, dulu mama tidak pernah ada bulan madu dengan papa. Pernikahan mereka akhirnya berhasil hingga lebih dari 33 tahun.
"Aku enggak biasa makan nasi, Bang," jawabku.
Matanya melirik piring yang ada di hadapanku. Roti gandum, beberapa potong buah apel, dan susu rendah lemak. Ini semua sudah mampu membuatku kenyang hingga jam makan siang nanti.
Katanya, "Kamu persis seperti Saka."
"Iyalah. Kan, aku adiknya." Like father like son and daughter. Mama bilang, kebiasaan ini menular dari papa. Kami sekeluarga tidak bisa makan nasi di pagi hari. Aku pernah mencoba memakan sedikit saja nasi yang langsung membuatku harus mengendap di toilet. Bahkan, akhirnya mama juga mengikuti kebiasaan papa. Mungkin nanti aku juga akan mengikuti kebiasaan Bang Azzam.
"Nanti kamu dan Cila mau ke mana?" tanya Bang Azzam.
"Belum tahu."
"Mau ikut ke kantorku?"
Mataku langsung berbinar. Kantor Bang Azzam? Yang desainnya unik itu? Aku dengan cepat mengangguk antusias. Seperti anak kecil yang dijanjikan cokelat oleh orangtuanya.
Bang Azzam tersenyum seraya mengacak rambutku dengan lembut. Katanya, "Kamu dan Cila siap-siap dulu ya. Aku jemput jam 11."
"Lho, enggak bareng Abang?"
"Aku ada meeting dengan klien jam 8," ucapnya. Ia langsung berdiri setelah menyelesaikan sarapannya.
Dari belakang, aku mengikutinya menuju carport. Di pundaknya sudah tersampir ransel hitam. Sebelum masuk mobil, aku memberanikan diri untuk mencium tangannya. Dapat kulihat raut wajah kaget Bang Azzam. Ritual mencium tangan suami sudah kulihat sepanjang hidupku. Mama selalu melakukannya.
"Aku pergi dulu. Assalamualaikum."
Cup. Aku tersentak saat bibir Bang Azzam mencium kilat bibirku. Adegan suami mencium bibir istrinya sebelum pergi kerja tidak pernah kulihat. Papa tidak pernah melakukan itu. Tapi, hatiku menghangat merasakan perilaku Bang Azzam tadi. Bahkan, saking senang bercampur bingung, aku tidak menyadari jika mobil Bang Azzam sudah meninggalkan rumah kami.
"Walaikum salam, Bang."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Waktu Kembali (Selesai)
RomanceAzzam, duda beranak satu, menikahi gadis cantik nan polos, Sofia, setelah berpacaran selama setahun. Alasan Azzam menikahi Sofia karena anaknya, Cila, membutuhkan ibu dan Sofia menyayangi puteri kecilnya. Sementara Sofia berpikir jika Azzam mencinta...