Kemarahan Adiba

22.3K 1.4K 52
                                    

Hallo, semua. Thanks for coming to my account. Terima kasih sudah meluangkan waktu kalian untuk membaca cerita saya. Jika kalian menyukainya, dapat berikan vote dan komen. I hope you like my storyHatur nuhun.


Azzam memegang pipi kirinya yang memerah akibat tamparan kakaknya. Untungnya, di ruangan kantornya sedang tidak ada siapa-siapa sehingga tidak ada yang menyaksikan drama ini. Siang ini, ketika seluruh karyawan makan siang-termasuk sekretarisnya-Kak Diba masuk ke ruangan dan langsung memberikan hadiah di pipinya. Hingga kini, sakit itu masih terasa.

"Kamu sudah gila, Azzam!" teriak kakaknya frustasi. Ingatkan Azzam untuk menyadari jika kakaknya setipe dengan mamanya Sofia.

"Pernikahan bukan hal main-main, Azzam," kata Diba lagi. Dada perempuan itu bergejolak menahan amarah. "Kamu enggak bisa langsung menceraikan Sofia hanya karena kedatangan Rania!"

"Aku enggak bisa membohongi diriku sendiri, Kak," Azzam berkata lirih. Ia mengusap wajahnya frustasi. "Setahun lebih, aku mencoba mencintai Sofia tapi enggak bisa. Aku enggak bisa membuatnya lebih bersedih karena memiliki suami yang enggak pernah mencintainya."

"Kalau enggak mencintai Sofia, kenapa kamu menikahinya? Itu juga menyakitinya."

Azzam berdiri. Ia melangkahkan kakinya menuju sofa single di samping kakaknya duduk. Ia menatap kakak yang begitu dicintainya. Lagi, ia sudah menyakiti banyak perempuan dengan keputusannya. Semua perempuan baik yang harusnya ia bahagiakan. "Ketika melihat Cila begitu nyaman dengan Sofia, aku merasa dia bisa menjadi ibu yang baik bagi Cila, Kak. Cila enggak pernah tahu rasanya kasih sayang seorang ibu dan keluarga lengkap. Sofia bisa memberikan hal itu pada Cila."

"Kamu jahat, Azzam."

"Aku tahu, Kak. Aku setiap hari mencoba untuk mencintai Sofia tapi nyatanya enggak bisa. Perasaanku enggak berubah."

Adiba bergeming. Inilah kali pertama ia mendengar Azzam bercerita panjang padanya. Adik laki-lakinya itu terbiasa berbicara seperlunya. Dari kecil hingga sekarang.

"Kak, aku enggak akan minta kakak menyetujui keputusanku untuk bercerai dengan Sofia. Aku hanya minta kakak menghargai keputusanku."

"Kamu sudah memikirkan matang-matang?"

Azzam mengangguk mantab. "Sudah sejak enam bulan lalu."

"Sejak kamu bertemu Rania lagi di Jerman?"

Azzam tidak menjawab. Ia membiarkan jawaban itu mengendap dalam pikirannya. Rania yang ditemuinya ketika ia melakukan perjalanan bisnis di negeri bersalju itu. Rania tidak tahu jika Azzam sudah menikah. Perempuan itu menawarkan Azzam untuk kembali menjalin hubungan dengannya. Rania menyesali perbuatannya yang meninggalkan Azzam. Ia ingin kembali merajut tali kasih dengan Azzam dan puteri mereka.

Saat akhirnya tahu kondisi Azzam, Rania mengatakan akan mundur. Ia tidak akan merusak rumah tangga Azzam. Tapi, Azzamlah yang mengejar-ngejar Rania. Perasaan cintanya pada perempuan itu belum luntur.

Saat mencoba mencari cara untuk menjelaskan pada Sofia, justru istrinya memergoki Azzam bersama Rania. Maka, Azzam langsung menjelaskan semua perasaannya pada Sofia. Anehnya, perempuan itu hanya menangis sebentar sebelum meminta izin Azzam untuk kembali ke rumah orangtuanya. Besoknya, Azzam mengantar Sofia ke Jakarta. Di malam terakhirnya di Bandung, Sofia menghabiskan waktu tidurnya bersama Cila.

"Sofia sudah mengorbankan banyak hal setelah menikah denganmu," kata Adiba pelan. Amarahnya tidak sebesar tadi. "Dia masih muda dan cantik. Jalan hidupnya masih panjang. Dia bisa bekerja sesuai keinginannya setelah kuliah. Ia bisa menghabiskan waktunya untuk berbelanja di mall, menonton, dan jalan ke manapun dia suka bersama teman-temannya. Tapi, dia memilih menikah denganmu, menjadi istri dan ibu untuk Cila. Dia habiskan seluruh waktunya dengan mengurus kalian dan kakak yakin kalau dia enggak pernah mengeluhkan hal itu padamu."

Azzam tahu itu. Ia sangat tahu bagaimana besarnya pengorbanan Sofia. Ia juga berasa bersalah pada Sofia. Tapi, bukahkan hati tidak memilih ke mana ia akan berlabuh. Jika bisa, Azzam ingin mencintai Sofia. Nyatanya, usahanya selama ini sia-sia. Hatinya selalu tertambat pada cinta pertamanya, Rania.

"Ya, harusnya kakak tahu kalau kamu sudah besar. Sudah bisa berpikir panjang. Kakak cuma minta, kelak, kalau Sofia mendapatkan laki-laki lain, jangan pernah menyesal." Adiba berkata sambil melangkahkan kakinya ke luar ruangan Azzam. Tapi, sebelum membuka pintu, ia menoleh dan mengatakan sesuatu pada adiknya. "Kamu bodoh, Zam. Perempuan cantik, baik, dan sayang dengan anakmu malah kamu sia-siakan."

***

Cila sedang tidur siang ketika Adiba sampai di rumah Azzam. Gadis kecil itu meringkuk di tempat tidur princess-nya. Menatap wajah Cila yang tertidur membuat Adiba meneteskan air mata. Cila pasti sangat kehilangan Sofia.

"Cila gimana, Bu Rum setelah Sofia pergi?" tanya Adiba pada Bu Rum. Ia ingin mengorek banyak hal pada perempuan paruh baya itu.

"Jadi kayak dulu, Bu. Enggak suka ngomong. Sukanya diem aja. Non Cila sekarang jarang makan kalau enggak Bu Rum suruh."

Tebakan Adiba benar. Ah, keponakan kesayangannya justru harus menderita karena ulah ayahnya yang masih seperti ABG labil. Cila pantas mendapatkan kebahagiaan.

"Dia sering nanyain Sofia?"

Bu Rum langsung mengangguk. "Setiap hari, Bu. Waktu awal bahkan sampai nangis kejer nyariin Non Sofia. Bapak sampai ngebentak Non Cila."

"Dan ngebuang semua foto Sofia?"

"Engga dibuang. Saya cuma disuruh masukin ke kardus dan ditaruh di ruangan kosong." Bu Rum diam sejenak. "Bu, lima tahun saya kerja sama Bapak, pas Non Sofia tinggal di sini, Non Cila bahagia sekali. Non Cila sering bikin kue dan masak bareng Non Sofia. Mereka berdua kompak. Benar-benar kayak anak dan ibu kandung. Non Sofia juga sayang banget sama Non Cila. Bu Rum senang banget akhirnya Non Cila bisa ngerasain kasih sayang seorang ibu. Apalagi waktu mamanya Non Sofia nginep. Non Cila seneng karena sering didongengin."

"Kalau Rania nginep di sini, Bu?" tanya Adiba. Ia mengalihkan pembicaraan karena tidak mau menangis di hadapan Bu Rum.

"Nginep sih enggak pernah tapi kalau main hampir setiap hari. Kalau Sabtu dan Minggu, sering pergi bareng Bapak dan Non Cila. Tapi, Bu Rum tahu kalau Non Cila enggak suka cuma takut dimarahi bapak kayak dulu."

Adiba terdiam. Dalam hatinya, ia berjanji akan mengembalikan kebahagiaan Cila. Keponakan kecilnya pantas tersenyum. Ia tidak peduli jika Azzam menolaknya. Terserah Azzam jika ingin kembali bersama mantan istrinya. Yang penting, Cila juga akan kembali ke mamanya.

***

Ketika Waktu Kembali (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang