Adiba dan Ide Gilanya

21K 1.3K 15
                                    

Hai, readers. Thanks for reading my story. Aku harap kamu menyukai cerita yang aku buat. Don't forget to vote and comment. Selamat menikmati kisah antara Abang Azzam dan Sofia (Atau Rania)?


"Cila," Adiba berseru ketika melihat keponanan cantik bangun tidur.

Cila mengerjapkan matanya. Gadis berusia 5 tahun itu memandang sosok perempuan dewasa di hadapannya. Bibirnya mengukir sebuah senyum melihat tante kesayangannya.

"Tante Diba," katanya. Tapi, gadis itu masih terdiam di tempatnya. Ia tidak beranjak menuju tantenya. Nyawa gadis itu masih belum sepenuhnya menyatu setelah hampir dua jam tidur siang.

"Cila enggak mau peluk tante?"

"Mau," seru Cila cepat. Gadis kecil itu berlari dan menubruk tubuh Adiba.

Dalam sekejap, Adiba sudah membawa Cila dalam gendongannya. Diciuminya wajah keponakan satu-satunya itu hingga membuat Cila tertawa geli. Ah, bayi yang dulu sering digendongnya kini semakin beranjak besar dan lucu.

Adiba menghirup aroma shampo yang menguar dari rambut pendek gadis itu. Aroma strawberry yang beberapa hari lalu ia hirup juga dari rambut Sofia. Tangannya mengelus rambut Cila yang terasa lembut. Ah, gadis ini pasti merindukan ibunya. Tentu saja Bunda Sofia karena bagi Adiba, ibunya Cila hanya ada satu: Sofia. Setelah perceraian adik laki-lakinya, ia bahkan lupa jika Rania adalah perempuan yang mengandung dan melahirkan keponakan kecilnya.

"Cila udah makan?" tanya Adiba.

Cila menggeleng. Tangan anak kecil itu masih memeluk leher Adiba. Ia selalu senang berdekatan dengan Adiba. Bagi Adiba dan Raka-suaminya-Cila tidak hanya sekadar keponakan tetapi juga gambaran anak yang tidak akan pernah didapat mereka. Ketika perempuan dan laki-laki dewasa divonis tidak dapat memiliki anak akhirnya menikah, maka kebahagiaan dan rasa syukur yang mereka miliki. Apalagi sejak Azzam memperkenalkan Sofia sebagai pacarnya. Mereka semakin akrab. Sofia sering mengajak Zidan ketika bertemu.

"Cila makan bareng tante, ya?" ajak Adiba.

Cila kembali menggeleng. Ia melepas pelukannya di leher Adiba. Ditatapnya wajah tantenya dengan saksama. Air mata lolos dari mata sendu gadis itu. Ia berkata lirih, "Cila mau makan sama bunda."

Maka, menceloslah hati Adiba mendengar hal itu. Hatinya teriris mendengar penuturan jujur Cila mengenai rasa rindu pada bundanya. Ia yang sudah dewasa saja sering menangis bila merindukan mamanya yang sudah meninggal apalagi gadis sekecil Cila. Tapi, sebelum ia ikut menangis di depan keponakannya, Adiba membawa Cila ke kursi makan. Di sendiri berlutut untuk menyamakan tinggi mereka.

"Tante janji sama Cila, besok kita ketemu bunda."

Mata Cila langsung berbinar begitu nama bundanya disebut. Ia langsung menghapus air matanya. Bayangan akan pelukan dan ciuman bundanya membahana di dalam pikiran Cila. Ia semakin tidak sabar untuk menunggu hari esok yang dijanjikan tantenya.

"Tapi," kata Adiba. "Cila harus makan biar sehat. Kalau Cila enggak mau makan, nanti bunda sedih."

"Iya, Tante. Cila mau makan. Tapi benar ya, besok kita ketemu bunda?" tanya Cila memastikan. Tantenya memang tidak pernah membohonginya tetapi gadis itu seperti tidak percaya jika akan dipertemukan dengan bundanya. Seminggu lebih tidak bertemu bundanya membuat ia merindukan Sofia setengah mati.

"'Tentu, Sayang. Tapi Cila juga harus janji kalau enggak akan kasih tahu ayah."

Kali ini, tanpa keraguan, Cila mengangguk cepat. Baginya, setelah kepergian Sofia, ayah yang dulu menyayanginya berubah menjadi monster. Setelah membentaknya, laki-laki itu malah membawa perempuan yang tidak disukai Cila.

"Bu Diba," Bu Rum bersuara pelan. "Bu Rum boleh ikut, enggak? Bu Rum kangen sama Non Sofia juga?" tanyanya penuh harap.

Adiba kaget. Ia tidak menyangga jika Bu Rum memiliki perasaan seperti Cila. Ah, tentu saja itu mudah karena Sofia adalah perempuan baik. Ia mudah bergaul dengan siapa saja. Cantik dan baik adalah paket lengkap seorang perempuan. Hanya saja kebodohan Azzam menutupi itu semua.

Maka, tanpa ragu, Adiba mengangguk. "Tentu boleh, Bu Rum. Tapi, ibu juga janji jangan kasih tahu Azzam, ya."

"Siap, Bu. Bu Rum akan merahasiakan dari Bapak."

Ah, Azzam, adik bodohnya itu tidak tahu betapa berharganya Sofia bagi perempuan-perempuan penghuni rumah ini. Ia hanya bisa berdoa semoga Azzam kembali ke jalan yang benar: kembali bersama Sofia dan Cila.

Adiba tidak pandai membuat skenario. Ia juga tidak pandai berakting. Tapi, naluri perempuan memaksa otak seninya bekerja keras. Apapun yang terjadi, ia sudah merencanakannya. Sejak bertemu dengan Sofia beberapa hari lalu, tiba-tiba rencana itu menari-nari dalam pikirannya. Ya, rencana yang sebenarnya tidak ia susun dengan matang. Ada rencana biasa demi membahagiakan Sofia dan Cila: dua perempuan yang disayanginya.

Urusan Azzam? Biarlah nanti saja. Ia yakin rencananya tidak akan gagal. Kalau toh ketahuan, ia siap menghadapi adik satu-satunya. Demi senyum Cila dan Sofia, biarlah Azzam menjadi musuhnya saat ini.

Tangan Adiba mengelus rambut Cila yang asyik memakan makan siangnya sendirian. Tangan sebelahnya, ia gunakan untuk mengambil ponsel di tas kecilnya. Ia mencari sebuah nama dan mengetikkan sesuatu di dalamnya.

Saya: Sofia, besok, jadi, kan ke Bandung?

Sofia: Enggak tahu, Kak. Aku takut bertemu Bang Azzam.

Saya: Bandung itu luas, Sofia. Lagipula kamu sudah berjanji akan datang ke Rumah Impian. Kasihan anak-anak. Mereka pasti mengharapkan kedatanganmu.

Sofia: Hmmm. Iya, Kak. Nanti, aku bilang dulu sama Samir.

Saya: Kakak tunggu, ya.

Sofia: Kak, enggak ada Bang Azzam,kan, di sana?

Saya: Enggaklah, hahahaha. Kakak juga muak liat wajah Azzam

Sofia: Oke.

Adiba tersenyum. Tangannya kembali mengelus rambut Cila. Sabar, Sayang. Besok kamu akan bertemu dengan bundamu. Tante janji.

***

Ketika Waktu Kembali (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang