Merancang Kebahagiaan

21K 1.3K 13
                                    

Hello guys, mudah-mudahan ada yang kangen dengan Bang Azzam dan keluarga kecilnya😊. So, langsung aja dibaca. And, sorry for typo. Namanya juga manusia 😉 Jangan lupa berikan bintang dan komentar, ya. Selamat menikmati.

Setahun lalu, saat papa mengajakku ke Bandung untuk perjalanan bisnisnya, kami mampir ke sebuah kantor di Jalan Asia Afrika. Di dekat Gedung Merdeka ada sebuah gedung yang tidak terlampau besar berdiri kokoh. Dari jalan, aku melihat hamparan daun hijau merambat di sepanjang dinding gedung-sekitar 3 lantai. Aku yang terbiasa melihat asap kendaraan di Jakarta langsung tergiur melihat keindahan tersebut.

Lebih kaget ketika papa mengajakku masuk ke dalam gedung itu. Dari sanalah, rasa takjubku semakin bertambah. Ketika memasuki gedung, kami disambut dengan gemericik waterfall buatan. Di dinding belakang resepsionis itu bahkan tergambar pohon-pohon. Rasanya seperti berada di hutan. Agak mendalam, ada seperti rumah pohon-karena untuk memasukinya, kita perlu menaikki beberapa anak tangga. Itu ruangan untuk petinggi di kantor ini. Lebih keren lagi, karena di bawah ruangan pohon itu mengalir air bersih dengan bebatuan seperti di sungai. Ada ikan-ikan kecil juga.

Di antara rumah-rumah pohon itulah salah satunya ruangan Bang Azzam. Ketika aku ke sana bersama papa, Bang Azzam baru menempatinya beberapa bulan lalu. Papa datang untuk mampir dan memberi selamat.

Saat ini, aku kembali ke ruangan yang sama. Bersama puteri kecil kami tentunya.

Cila terbiasa datang ke kantor Bang Azzam. Ia tidak terlalu merasa aneh ketika memasuki ruangan ini. Bahkan, untuk menenangkan gadis cilik itu yang terkadang rewel, Bang Azzam sering membawanya ke sungai buatan di bawah ruangannya. Cila biasa bermain dengan ikan-ikan. Bahkan, anak itu sering membawa makanan ikan untuk diberikan kepada teman bermainnya. Teman-teman kantor Bang Azzam yang kebanyakan laki-laki juga sering bermain dengan Cila. Mereka harus membutuhkan tenaga ekstra karena gadis itu tidak mudah akrab dan nyaman bersama orang lain.

Sekarang, justru aku yang tidak nyaman dengan pandangan orang-orang yang menatapku berjalan di samping Bang Azzam. Rasanya seperti ada yang aneh pada diriku ditatap seperti itu. Bukan tatapan benci tapi justru menggoda.

"Aduh yang pengantin baru, segitunya menggenggam tangan istrinya. Takut hilang, ya, Pak Azzam!"

Akhirnya, celetukan itu mewakili tatapan menggoda seluruh orang di gedung ini. Hal itu seperti biasa membuat wajahku merah padam menahan malu. Kulirik Bang Azzam yang tidak melepaskan genggaman tangannya padaku. Ia seperti terbiasa memaksimalkan penggunaan kedua tangannya karena sebelah tangannya digunakan untuk menggendong Cila yang tertidur.

Bang Azzam menyuruhku duduk di sofa besar di luar ruangannya. Ia akan menaruh tasnya di ruangannya. Di hadapanku, ada meja kaju besar yang bentuknya seperti pohon tumbang. Ia menyerahkan Cila padaku hingga membuat tidur gadis itu terusik. Gadis itu terbangun. Untuknya tidak rewel. Cila hanya berpindah posisi duduk di sampingku dengan kepala bergelayut di tanganku.

"Ternyata, tanpa make up, Teteh tambah cantik, lho," seru seorang karyawan perempuan.

Aku menatapnya dan membalas pujiannya dengan senyuman. Ucapan gadis itu menjadi semacan bensin yang menyulut ucapan-ucapan lain dari orang-orang yang ada di ruangan ini. Dan, itu sukses membuatku duduk gelisah di ruangan ini. Mataku melirik ruangan Bang Azzam. Mengapa menaruh tas saja lama sekali. Tidak tahukah Bang Azzam jika istrinya terus menahan malu di sini?

Dumalanku seperti terdengar oleh Bang Azzam. Laki-laki itu keluar dengan membaca beberapa carik kertas. Ia duduk di sampingku sambil menyerahkan kertas itu ke laki-laki di hadapannya.

Katanya, "Ini contoh desain yang Bara buat untuk rumah anggota dewan itu."

Laki-laki yang sepertinya bernama Bara itu mengangguk. Kemudian, dari mulut laki-laki itu keluar kalimat-kalimat penjelasan mengenai hasil desainnya. Orang-orang lain yang ada di sana mendengarkan dengan tenang. Aku pikir inilah salah satu jenis diskusi ala rapat perusahaan ini. Tidak terlalu formal tapi juga tidak santai. Hanya tempatnya saja yang santai.

Diskusi itu berakhir ketika Bang Azzam menyuruh seorang karyawan untuk menghitung estimasi biaya pembangunan rumah tersebut.

"Cila, gimana rasanya punya Bunda?" seorang perempuan yang tadi menggodaku bertanya pada puteri kecilku.

Sepertinya Cila sudah terbiasa dengan kehadiran perempuan itu. Gadis itu dengan mudahnya menjawab, "Enak. Setiap hari bisa makan sama Bunda. Setiap hari bisa peluk dan cium Bunda."

Dadaku menghangat mendengar ucapan polos Cila. Kukecup berkali-kali kepala gadis itu. Ah, puteri kecilku. Selama ini aku nyaman bersamanya karena menganggapkan sebagai adik perempuan kecil yang tidak pernah kumiliki. Sekarang, ia menjadi puteri kecil yang dapat kumiliki setiap hari.

"Duh, ada saingannya Pak Azzam, nih."

"Cila kalau mau punya adik enggak boleh sering-sering cium Bunda. Biar ayah aja yang cium bunda."

Plak....

Laki-laki itu meringis setelah gulungan koran mendarat di kepalanya. Di sampingnya perempuan tadi melempar tatapan membunuh. Katanya, "Kalau ngomong depan anak kecil dijaga!"

Adik Cila? Oh, aku dan Bang Azzam berencana menundanya hingga dua tahun ke depan. Cila terlalu kecil untuk memiliki adik. Aku juga masih terlalu muda untuk mengurus dua anak kecil. Lagipula, aku dan Bang Azzam ingin menikmati mengurus Cila secara bersama dulu.

Hal ini tentu saja luput dari mama. Bisa jadi mama mengamuk bila aku mengatakan menunda memiliki anak. Mama memiliki pikiran agak kolot. Katanya pengantin baru tidak boleh menunda memiliki anak karena akan berefek pada keringnya rahim. Nanti, justru akan sulit bila ingin memiliki anak.

Jadi, kalau suatu saat mama bertanya soal anak, aku hanya perlu menjawab, "Belum dikasih, Ma."

"Aku senang deh, Teh, akhirnya Pak Azzam menikah. Apalagi istri cantik kayak teteh. Dijamin Pak Azzam makin betah di rumah. Semoga kalian terus bahagia."

Aku mengamini dalam hati.

"Pastilah," suara seorang karyawan perempuan lain terdengar. "Biasanya, kan, Pak Azzam merancang rumah dan gedung orang lain. Sekarang, dia akan merancang kebahagiaanya bersama Teh Sofi."

Tidak hanya Bang Azzam saja. Aku juga akan berusaha merancang kebahagiaanku bersamanya. Tentu saja ditambah Cila yang akan membuat kehidupan rumah tangga kami semakin lengkap.

***

Ketika Waktu Kembali (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang