Pertengkaran Pertama

21.7K 1.3K 19
                                    

Selamat Lebaran, teman-teman. Mohon maaf lahir dan batin. Tetap di rumah, ya.



"Cila itu sebenarnya mudah akrab ya sama orang lain. Asal kita mau aktif ajak dia ngobrol aja ya, Dek?" mama bertanya ketika kami menghabiskan sore di Teras Cikapundung.

Meskipun bukan akhir pekan, taman di sekitar aliran Sungai Cikapundung ini tetap ramai. Orangtua yang membawa putera puterinya dan anak muda dengan pasangannya. Sayangnya, musim kemarau membuat aliran sungai tidak banyak air sehingga wisata perahu karet tidak bisa digunakan.

Cila sedang mendengarkan teman seumurannya berbicara. Perempuan cilik itu terus berceloteh sementara Cila hanya mendengarkan di sampingnya. Sesekali puteri kecilku itu tertawa dan menimpali. Sengaja aku membiarkannya. Cila perlu banyak berinteraksi dengan banyak orang.

"Iya, Ma. Sama kayak Bang Azzam," kataku.

Mama mengangguk. Ia masih memperhatikan Cila. Aku beruntung memiliki mama. Beliau tidak pernah membedakan kasih sayangnya antara Cila dan Zidan. Meskipun bukan cucu kandungnya, ia begitu sayang dengan Cila. Orang bilang, anak kecil itu sangat jujur. Kenyamanannya pada kita merupakan timbal balik kita memperlakukannya. Mama memperlakukan Cila dengan baik. Ia benar-benar sayang pada gadis kecilku sehingga mudah bagi Cila untuk nyaman berada bersama mama.

"Kamu nikah udah hampir 8 bulan, ya, Dek?" tanya mama.

"Iya, Ma. Kenapa? Enggak menyangka, ya puteri mama udah 8 bulan jadi istri orang."

Mama melotot menimpali bercandaku. Katanya penuh selidik, "Kamu enggak mau coba periksa ke dokter?"

"Emang kenapa, Ma?"

"Siapa tahu ada masalah di sini," mama memegang perutku. "Biar kalau ada sesuatu cepat ditangani."

"Aku baik-baik aja, kok, Ma," kataku pelan.

Aku masih menyembunyikan perihal rencanaku dan Bang Azzam untuk menunda memiliki anak. Bang Azzam sebenarnya yang menyarankan. Katanya, Cila masih terlalu kecil untuk memiliki adik. Juga karena ia ingin menghabiskan waktu bertiga dulu denganku dan Cila. Dan, mulutku masih tertutup rapat pada mama. Hanya Kak Nindya yang tahu.

"Kamu jangan nunda punya anak ya, Dek. Mama takut kamu kayak mama. Kalau sudah punya anak pertama baru boleh menunda beberapa tahun. Tapi enggak untuk anak pertama. Nanti rahimmu kering," katanya lagi.

Aku tahu cerita kelam itu. Semua orang rumah juga tahu. Mama butuh waktu 3 tahun untuk akhirnya memiliki Bang Saka. Itu pun setelah dua kali keguguran. Setelah Bang Saka lahir, mama dan papa butuh waktu hingga sepuluh tahun untuk memilikiku. Baru tiga tahun kemudian, Samir lahir.

Dulu, setelah dua kali mengalami keguguran, mama menyuruh papa untuk menceraikan dan mencari perempuan lain. Tapi, papa menolak. Ia masih akan terus berusaha berjuang bersama mama. Mereka melewati itu bersama-sama hingga akhirnya mama dinyatakan positif hamil kembali oleh dokter.

Mama tidak pernah menggunakan alat pencegah kehamilan. Begitu pun setelah kelahiran Bang Saka. Tidak pernah lagi mengalami keguguran seperti sebelum kehamilan pertama. Hanya, memang Tuhan mengabulkan ketika mama dan papa sudah berpikir jika takdir mereka yang hanya memiliki seorang anak.

"Dek, nanti setelah kamu merasakan mengandung dan melahirkan, kamu akan ngerti jika anak itu anugerah terindah yang Tuhan kasih dalam setiap pernikahan."

***

Bang Azzam menonton pertandingan sepakbola liga Inggris di televisi di kamar. Kakinya ia selonjorkan di atas kasur. Matanya fokus menatap layar datar 47 inch tersebut. Sesekali tangannya mengelus pelan rambutku yang menyandar di bahunya. Biasaya aku akan tertidur. Tapi, ucapan mama masih terus terngiang di kepalaku.

"Bang," panggilku. Aku mengambil tangan Bang Azzam dan memainkan jemarinya.

"Hmmm."

"Aku mau punya anak."

Bang Azzam terkekeh. Dicubitnya hidungku pelan. Tanpa menoleh, ia menjawab, "Kamu sudah punya puteri yang cantik, Sayang."

"Aku mau punya anak kandung. Aku mau hamil dan melahirkan, Bang."

Bang Azzam terdiam. Matanya tidak lagi memandang televisi di depannya. Ia menatapku penuh tanya.

"Aku mau berhenti KB."

"Kamu kenapa sih, Sofia?" tanyanya dengan suara agak meninggi. "Sebelum menikah, kita sepakat untuk menunda punya anak."

"Tapi sampai kapan?"

"Sampai Cila cukup usia untuk punya adik."

"Cila sudah lima tahun, Bang. Tadi, aku tanya Cila, apa dia mau punya adik? Cila bilang mau, Bang. Cila sudah siap jadi seorang kakak."

"Tapi aku enggak siap punya anak denganmu, Sofia!" Bang Azzam membalas dengan cepat dan tinggi.

Aku terdiam. Bang Azzam tidak siap memiliki anak denganku. Itu seperti menampar wajahku sendiri. Suami yang telah memiliki anak dengan orang lain tapi tidak siap memiliki anak denganku.

Kalau begini, masih pantaskah aku meragukannya?

"Dengar, Sofia," suara Bang Azzam melembut. Ia memegang kedua lenganku. Ditatapnya mataku yang memerah menahan tangis. Ketika bulir air mata itu tidak bisa kubendung, jari-jari Bang Azzam menghapusnya. "Kita akan memiliki anak. Tapi, tidak sekarang."

"Kenapa? Aku enggak pantas melahirkan anak Abang, ya?"

Bang Azzam menggeleng. Ia tidak mengucapkan apapun selain menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Di dadanya, aku menangis. Benar-benar menangis. Inilah luapan air mata pertamaku sejak menikah dengan Bang Azzam.

"Tolong jangan hentikan KB kamu," ucapnya. Aku tidak membalasnya dengan anggukan.

Malam itu, aku tertidur dalam pelukan Bang Azzam. Dalam tidur, aku bermimpi baju kesayanganku dicuri orang lain.

***

Ketika Waktu Kembali (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang