Kadatangan Mama

17.7K 1.1K 14
                                    

Mama datang sendiri ke Bandung. Setelah beberapa bulan menikah, ini kedua kalinya mama mengunjungiku. Sebelumnya, mama datang bersama papa, Samir, dan keluarga kecil Bang Saka. Kini, mama memberanikan diri naik kereta Argo Parahyangan sendirian. Aku tahu jika mama berani. Tidak ada yang bisa melawan rasa keberaniannya. Tapi, tetap saja aku khawatir.

Papa sedang dinas ke Palembang seminggu. Samir naik gunung di Jawa Timur bersama teman-temannya. Toko kue mama masih bisa berjalan meskipun tanpa mama. Maka, berdirilah mama di Stasiun Bandung. Bang Azzam menjemput mama ketika jam makan siang.

"Mama!" aku berteriak sambil berlari memeluk mama. Rasanya rindu sekali dengan ratuku ini.

Mama membalas pelukanku sambil mengelus rambutku seperti biasa. Pernah mendengar sebuah kalimat jika seorang anak tetaplah menjadi anak kecil bagi orangtuanya. Tidak peduli berapa pun usia anak tersebut. "Udah, malu sama suami dan anakmu," kata mama melepas pelukanku.

Bu Rum membawa tas travel mama ke kamarnya di lantai dua. Sedangkan aku menggiring mama ke ruang makan untuk menikmati makan siang. Cila terus saja mengekor di belakangku. Gadis kecil itu masih kikuk dengan mama karena sudah lama tidak bertemu. Sewaktu dititipkan ke mama saat aku bulan madu, Cila nyaman dan betah. Kubiarkan saja karena nanti Cila juga akan nyaman kembali pada mama. Beliau akan menghabiskan waktu seminggu di sini.

"Kamu masak ayam rica-rica, De?" mata mama berbinar melihat lima potong ayam berbumbu sambal tergeletak di piring di atas meja makan. Dan, beliau masih memanggilku Adek meskipun aku sendiri sudah memiliki anak.

"Iya. Mama cobain ya masakan aku."

Mama tentu saja mengangguk. Tanpa disuruh, beliau langsung mengambil piring dan mengisinya dengan nasi dan ayam rica-rica-makanan favorit mama.

Aku mengambil nasi dan menyiapkan lauk serupa untuk Bang Azzam. Cila aku masakkan ayam kecap. Gadis itu bisa menangis kepedasan jika kuberi makan yang sama denganku dan Bang Azzam.

"Rasanya udah lebih baik, De. Kamu sekarang tambah pintar masaknya. Biasanya kan dulu selalu keasinan." Mama mengucapkan itu setelah selesai makan.

"Enggak keasinan, Ma. Itu pas," belaku.

"Azzam, gimana sama masakan Sofia, cocok?" tanya mama berpaling pada Bang Azzam.

"Cocok, Ma. Sofia pintar masak."

Mukaku langsung memerah dipuji seperti itu. Di depan mama lagi. Lihatlah, Ma. Anak yang tadi masakannya mama bilang selalu asin ternyata cocok di lidah suami tampanku.

"Dulu, kan, kamu kebelet mau nikah makanya kalau masak keasinan terus. Sekarang karena udah nikah jadinya pas," selorohnya.

Sebenarnya masakanku tidak asin. Toh, semua anggota keluargaku suka. Hanya saja, mama memang seperti kurang suka dengan garam. Dulu, setiap mama masak, aku sering menambahkan garam ke piring makanku.

"Aku antar Bang Azzam dulu, Ma," kataku mengabaikan ucapan mama.

"Lho, masih balik lagi ke kantor?"

"Iya, Ma. Azzam masih ada kerjaan."

Aku mengantar Bang Azzam dengan Cila berada di gendongannya. Gadis itu masih tetap malu bila ditinggal berdua dengan mama. Ketika sampai di depan Fortuner putihnya, Bang Azzam menoleh dan melihat ke arah pintu.

"Masakanmu enak tapi kayaknya tadi kurang garam sedikit," bisiknya.

Tuh, kan, bukan seleraku yang kebelet nikah tapi lidah mama yang terlalu peka dengan garam.

***

Kami menghabiskan waktu dengan menonton kartun di ruang tengah. Cila sudah mulai nyaman dengan mama karena sepanjang waktu, mama selalu bertanya dan mengajaknya berbicara. Kalau mau akrab dengan puteri kecilku memang harus aktif. Kini, anak itu sudah tidur siang setelah ditemani mama. Ketika kubuka pintu kamar Cila, mama juga tertidur di sebelahnya.

Dulu, ketika awal-awal dekat dengan Bang Azzam, aku takut mama tidak dapat menerima karena statusnya sebagai duda. Mama cukup selektif dan bawel mengurusi pergaulanku. Dulu, aku pernah dilarang berteman terlalu dekat dengan teman perempuan karena mama pernah melihatnya nongkrong dan merokok bersama banyak laki-laki. Kata mama, takut aku terpengaruh.

Bang Azzam mampu menaklukkan mama sebelum ia mengajakku menjadi pacarnya. Katanya, kalau mau menaklukkan ular, yang pertama adalah memegang kepalanya. Itu kuncinya. Taklukkan dulu mamanya baru anaknya. Pintar sekali suamiku itu.

Karena tidak bisa tidur, kuhabiskan waktu di ruang tengah. Tidur-tiduran di sofa bed sambil memainkan ponsel.

Safira?

Aku mengetik dan mengirimkan pesan WA ke teman dekat satu-satunya yang kupunya. Teman yang kukenal sejak SMP.

Napa?

Galak banget

Aku lagi pusing, nih. Biasa, akhir bulan.

Safira bekerja di bagian keuangan sebuah perusahaan besar. Selepas kuliah, ia diterima di perusahaan itu.

Namanya juga kerja pasti pusing.

Iya, enggak kayak kamu. Habis kuliah langsung kawin.

Iri? Cari suami sana.

Tunggu Abang Beckham jadi duda. Lagian tumben siang-siang WA. Apa apa?

Iseng aja. Aku capek tapi enggak bisa tidur siang.

Hmmm. Let me guess. Habis dibikin capek sama Bang Azzam? Berapa ronde?

Sial. Otak mesum temanku masih tidak berubah. Dulu, ketika ingin menikah, ia menjejaliku dengan buku-buku seperti itu. Katanya agar suami puas. Tidak lupa memberi wejangan yang aku tahu jika itu omong kosong. Ia sendiri saja tidak pernah, mau memberi nasihat.

Enggak terhitung.

OMG. Doyan juga ternyata suamimu.

Bercanda, Safira. Aku capek karena habis masak ayam rica-rica dan ayam kecap. Hari ini mama datang.

Hati-hati. Jangan bikin adik Cila di dapur dan ruang tengah. Nanti kepergok mamamu.

Pretttt

Aku langsung menyudahi percakapanku dengan Safira. Mengobrol dengannya tidak akan pernah terlepas dari hal-hal seperti itu.

Aku senang berteman dengan Safira. Ia baik dan mudah bergaul. Ia kenal dengan banyak orang. Ia juga sering membawaku bergabung dengan teman-temannya. Itu yang akhirnya membuatku juga ikut memiliki banyak teman. Tapi untuk sahabat hanya Safira yang membuatku nyaman.

Aku hampir saja tertidur ketika sebuah panggilan masuk ke ponselku. Nama Bang Azzam tertera di layar. Kugeser tombol hijau sebelum menempelkan benda itu ke telinga kananku.

"Assalamualaikum, Bang."

"Walaikum salam, Sofia. Kamu belum masak, kan?"

"Belum. Kenapa, Bang?"

"Nanti kita makan di luar, ya. Ajak mama dan Cila juga. Aku udah booking tempat."

"Asyik. Di mana? Bisa melihat Gunung Fuji ya?" candaku.

Bang Azzam terkekeh. "Aku enggak suka lihat Gunung Fuji. Aku suka melihat gunung lain." Ia tertawa.

"Bang Azzam...." Aku berteriak.

"Ya sudah, kita jalan habis magrib ya. Assalamualaikum."

"Walaikum salam."

Huh, suami tampanku sekarang sudah tertular Safira.

***

Ketika Waktu Kembali (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang