Membayar Rindu

22.1K 1.4K 29
                                    

Siapkan tisu sebelum membacanya. Selamat menikmati ceritanya.




"Kakak harus tanggung jawab kalau mama marah," kata Samir sambil matanya fokus memperhatikan jalan tol di depannya.

Di sampingnya, Sofia mengangguk. Mereka pergi ketika mama sedang pergi membeli beberapa alat pembuat kue yang rusak. Tanpa pamit dan hanya meminta izin pada papa. Tentu saja papa mereka mengizinkan. Adiba sudah memberitahu rencana gilanya pada laki-laki itu. Papa yang memang tidak tega melihat kerinduan Sofia pada puteri kecilnya hanya bisa memberi nasihat. Samir harus hati-hati menyetir karena kakak perempuannya sedang hamil muda.

Keadaan sepertinya mendukung mereka karena lalu lintas lancar. Tidak ada kemacetan berarti sepanjang perjalanan Jakarta Bandung. Mereka tiba sebelum azan zuhur berkumandang. Samir langsung menepikan mobil papanya ke tempat parkir di Rumah Idaman. Laki-laki itu membaca dua buah buku cerita yang rencananya akan Sofia bacakan untuk anak-anak itu.

Sofia menghela napas begitu menutup pintu mobil hitam papanya. Ia menatap rumah itu dengan dada yang terasa sesak. Rumah ini mengingatkannya pada Cila. Ia ingat bagaimana awalnya Cila malu-malu setiap berkunjung ke tempat ini. Hingga akhirnya, Cila banyak berinteraksi dengan anak-anak di sini. Gadis kecilnya sudah ikut menjadi pembicara di antara anak-anak seumurannya. Tidak lagi sebagai pendengar.

"Ada tamu jauh datang," suara Dita berkumandang menyambut mereka.

"Ini adikku, Kak, Samir," kata Sofia setelah cipika-cipiki dengan perempuan itu.

Setelah berkenalan dengan Samir, mereka masuk ke dalam rumah. Sofia sebenarnya heran karena siang ini tidak ada anak-anak. Seharusnya ada beberapa anak TK yang sudah datang. Ia semakin heran karena rumah ini terasa begitu sepi dari biasanya. Tidak ada mahasiswa juga yang biasanya membantu Dita.

"Anak-anak lagi diajak sama Gladys dan teman-temannya ke Taman Film." Dita membuka ucapan untuk menjawab pertanyaan Sofia yang tidak sempat terucap.

"Lho, aku disuruh ke sini sama Kak Diba untuk mendongeng anak-anak. Terus kalau enggak ada, siapa yang aku dongengi?"

"Ada anak yang sedang rindu juga didongengi kamu," jawab Dita sambil tersenyum. Ia menggenggam tangan Sofia hingga berakhir di ruang tengah-tempat biasa anak-anak mendongeng.

Di sana, Sofia melihat gadis kecil sedang duduk di pangkuan Adiba. Gadis yang lama tidak ditemuinya. Gadis yang membuat hari-harinya berantakan. Gadis yang selalu muncul dalam mimpi di malam-malam kelabunya.

"Cila," panggil Sofia lirih.

Cila yang merasa namanya dipanggil langsung menoleh. Ia melihat bunda yang begitu dirindukannya berdiri tidak jauh di hadapannya. Lantas, tanpa berpikir lagi, Cila berlari ke pelukan Sofia. Perempuan itu membawa Cila ke pelukannya sambil menggendong puteri kecilnya. Air matanya seketika tumpah. Rasa sesak yang membuncah di dadanya kini berganti dengan kebahagiaan.

Kini, ruangan itu berubah menjadi isak tangis. Cila menangis kencang. Gadis itu bahagia sekali dapat memeluk bundanya. Rasa rindunya terobati. Sementara Sofia terus terisak sambil memeluk puteri kecilnya. Perempuan itu mengelus punggung Cila. Ia ingin terlihat kuat tetapi ia tak kuasa menahan laju air matanya.

"Cila bahagia sekali," bisik Dita pada Adiba yang dibalas dengan anggukan Adiba.

"Enggak ada yang lebih membahagiakan selain pelukan seorang ibu," katanya. Adiba tahu betul rasanya kehilangan sosok ibu. Meskipun sudah beranjak dewasa, ada kalanya ia ingin memeluk ibu kandungnya. Merasakan kasih sayang yang ia tahu tidak akan pernah luntur. Kasih ibu sepanjang masa. Seorang anak akan tetap mendapatkan kasih sayang dari ibunya meskipun ia telah dewasa.

"Cila sayang, udah ya digendong sama bunda," kata Samir menginterupsi. Gadis cilik itu membalas dengan gelengan. Ia masih membenamkan kepalanya di ceruk leher Sofia. "Kasihan nanti adiknya kegencet."

Bukan hanya Cila yang memandang Samir tetapi juga kedua perempuan dewasa yang ada di sana. Terlebih Adiba yang memandang penuh menyelidik pada adik ipar kesayangannya. Hamil? Ia akan memiliki keponakan lagi? Itu berita bagus sekaligus tidak menyenangkan dengan situasi rumah tangga adiknya yang sedang di ujung tanduk.

"Sofia?" panggil Adiba meminta penjelasan.

Sofia tersenyum. Ia menurunkan Cila dan terus menggenggam tangan gadis kecil itu. Dibawanya tangan Cila ke depan perutnya. Katanya, "Iya, Kak. Mau 7 minggu."

"Di perut bunda ada adik bayinya?" tanya Cila. Sofia mengangguk. "Kok perut bunda enggak besar kayak perut mamanya Prisca?" tanyanya polos.

"Karena adik bayinya masih kecil. Nanti, dia tumbuh di perut bunda."

"Nanti perut bunda akan besar juga?"

"Iya, Sayang."

"Kalau nanti perut bunda besar, yang gendong Cila siapa?"

"Sama Om Samir," Samir mengatakan itu sambil membawa Cila dalam gendongannya. Gadis kecil itu berteriak kesenangan ketika Samir membawanya berkeliling ruangan. Suara itu meredam ketika Samir membawa Cila ke halaman belakangan Rumah Idaman.

"Jadi, kakak tebak kalau Azzam belum tahu." Suara Adiba menginterupsi.

Sofia menunduk. Ia tidak mampu menjawab pertanyaan retoris kakak iparnya. Jadi, ia mencoba menjawabnya dengan anggukan kepala.

"Ya Tuhan, Sofia. Gimana bisa Azzam mau menceraikanmu sedang kamu sedang hamil anaknya." Adiba berteriak tidak percaya dengan pemikiran adik iparnya.

Dita langsung menyingkir untuk memberikan privasi pada kedua perempuan itu. Adiba langsung menarik Sofi duduk di sofa di dekatnya. Ditatapnya perempuan cantik itu. Perempuan berambut panjang lurus yang begitu mempesona.

"Sofia mau menjelaskan itu ke kakak?" tanyanya lembut.

Sofia mengangguk. Katanya, "Aku juga baru tahu hamil dua hari setelah di Jakarta, Kak. Aku senang dan sering berharap kalau anak ini akan membuat Bang Azzam kembali padaku, tapi...." Sofia menghentikan ceritanya. Matanya menatap nanar Adiba. Ia pasti menangis karena air mata lolos begitu saja. "Aku tahu kalau itu enggak mungkin. Bang Azzam enggak pernah mencintaiku, Kak. Bang Azzam sendiri yang ngomong itu setelah aku melihatnya bersama perempuan itu. Dia menikahiku karena Cila. Dan, dia ingin menceraikanku karena berpikir jika Cila akan lebih bahagia dengan ibu kandungnya."

Adiba membawa Sofia dalam pelukannya. Perempuan yang sedang hamil muda itu menangis. Adiba hanya mampu mengelus punggung Sofia. Dalam hatinya, ia sudah bertekad jika tidak boleh lagi ada air mata yang keluar dari mata indah Sofia. Adik iparnya harus bahagia. Ia tidak peduli jika Azzam memilih untuk bersama pelakor itu. Sofia harus bahagia bersama Cila dan calon keponakannya. Ia janji.

"Azzam akan kehilangan segalanya jika melepasmu," katanya berbisik.

***

Ketika Waktu Kembali (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang