Asakusa

17.3K 1.2K 7
                                    


Setelah menempuh perjalanan selama 7 jam, kami sampai di Bandara Haneda. Selama perjalanan, aku mengalami sedikit mual. Sudah lama sekali aku tidak berada lebih dari 3 jam dalam tabung besi. Hal itu membuat perutku bergejolak. Untunglah pramugari begitu baik dan memberikanku segelas air jahe untuk meredakan mualku.

Kami sampai di Jepang ketika jam hampir menunjukkan pukul 9 pagi. Sudah ada seorang laki-laki muda Jepang yang bertugas sebagai tour guide kami. Ia pandai berbahasa Inggris sehingga tidak menyulitkan kami dalam berkomunikasi. Dengan laki-laki inilah, perjalanan romantis kami di mulai.

Tokyo adalah kota terbesar di Jepang. Di ibukota negara kekaisaran inilah segala pusat bisnis dan hiburan ada di sini. Tidak heran jika setiap tahunnya banyak orang dari berbagai negara mengunjungi Negeri Sakura ini.

Jepang di awal November memasuki musim gugur. Di mana akan banyak pohon yang menggugurkan daunnya. Dari pohon-pohon itu, akan banyak spot foto cantik. Aku sudah merencanakan bagian mana yang menjadi tempat kami berfoto dan kuposting di instagramku. Memang, apalagi yang bisa kujadikan kenang-kenangan liburan romantis ke Jepang selain foto? Aku tidak akan pernah menemukan musim gugur jika kembali ke Indonesia.

"Where are we going, Hirosi-san?" tanyaku.

Hirosi-laki-laki yang menjadi pemandu tur kami mulai menjalankan mobilnya setelah membantu memasukkan koper ke bagasi mobil. Ia mengendarai mobil jenis sedan. Kecil namun cukup untuk ukuran 3 orang.

"We're going to Asakusa, Miss," jawabnya.

Aku melirik ke arah Bang Azzam. Laki-laki ini hanya mengedikkan bahunya. Tangannya menarik tubuhku untuk menyandar padanya. "Wherever we go is not important. Yang penting menikmati perjalanan dan tempatnya," bisik Bang Azzam. Aku mengangguk dan tidak bertanya lagi.

Hampir tiga puluh menit menikmati jalanan Jepang, kami tiba di kawasan Asakusa. Hirosi membawa kami ke Sensoji Temple. Pemandangan terang langsung menyambut ketika kami masuk ke dalam kawasan kuil. Warna merah mendominasi cat kuil paling tua di Kota Tokyo ini. Memasuki kuil, kami disambut lampion raksasa bertuliskan tulisan kanji di depan Gerbang Kaminarimon. Di dalam kuil, ada banyak taman khas Jepang yang kental. Ada pagoda bertingkan nan cantik-Asakusa Shire. Tanganku sibuk memfoto-foto. Sementara tangan laki-laki di sebelahku tidak pernah lepas merangkul posesif pinggangku.

Selain pemandangan cantik nan bersejarah, banyak pedagang makanan membuat iman dietku menipis setipis iman kecupannya Bang Azzam padaku. Nakamise Dori adalah kawasan dengan banyak toko aneka makanan khas Jepang. Sejak tadi, mulutku tidak pernah berhenti mengunyah segala macam makanan.

"Kamu makan kayak Cila," kata Bang Azzam. Jarinya terulur membersihkan remah bubuk kacang di bibirku. Kalau ini bukan tempat umum, aku yakin-100 persen sangat yakin-jika Bang Azzam akan menggunakan bibirnya untuk membersihkannya.

Aku sedang menikmati dango. Sejenis camilan yang terbuat dari tepung beras dan dibentuk bulat-bulat kecil dan ditusuk. Seperti bakso bakar kalau di jajanan depan SD di Jakarta. Dango ini akan ditaburi dengan bubuk kacang. Rasanya tidak terlalu manis dan enak kalau dimakan selagi hangat seperti tahu bulat yang digorengnya dadakan.

"Minum, Bang," pintaku sambil melirik segelas hiyashi matcha hangat dari tangan Bang Azzam. Laki-laki tampan itu menyodorkan ujung gelas plastik bening ke bibirku. Di musim dengan banyak angin seperti ini minuman hangat memang paling nikmat.

Tangan Bang Azzam menggenggam tanganku. Ia membawaku ke Taman Bermain Hanayashiki Asakusa. Kupikir Bang Azzam akan mengajakku bermain roller coaster. Nyatanya, ia justru menarik lembut tanganku ke kursi kayu di taman itu. Ia membawa kepalaku menyandar di bahunya.

"Bang," panggilku pelan.

"Biarkan seperti ini, Sofia. Sebentar saja."

Aku dulu sering menyandarkan kepalaku ke bahu papa dan Bang Saka. Rasanya tidak hanya begitu nyaman tapi juga aman. Papa dan Bang Saka adalah laki-laki yang mencintaiku. Mereka akan mengorbankan apa saja demi kebahagiaanku. Kali ini, aku menemukan kenyamanan dan keamanan di bahu laki-laki ini. Bersamanyalah kelak surgaku ada padanya.

"Bang, boleh aku tanya sesuatu?" kataku setelah beberapa saat hening. Aku yang bawel tidak terbiasa berada dalam keheningan lama-lama. "Dulu, apa yang membuat Abang menjadikanku pacar Abang sampai akhirnya melamar aku?"

Aku tahu, ini pertanyaan konyol. Tentu saja cinta. Bang Azzam tidak mungkin memintaku menjadi pacarnya hingga istrinya kalau bukan karena cinta. Pernikahan yang bahagia sepertiku saat ini mustahil terjadi bila tanpa cinta di dalamnya. Aku hanya ingin mendengar alasan lain. Alasan logis dari laki-laki yang kukenal dengan penalaran logikanya.

"Karena kamu perempuan baik-baik, Sofia. Perempuan baik akan menjaga kehormatan keluarganya, nama baik keluarga, dan memprioritaskan keluarganya."

Aku tahu jika Bang Azzam memendam kekecewaan yang mendalam pada pernikahan pertamanya bersama mantan istrinya. Ketika memutuskan menjalin hubungan yang serius denganku, ia pasti penuh pertimbangan matang. Ia tidak ingin lagi jatuh ke lubang yang sama. Pun sama halnya ketika ia memintaku menjadi istrinya.

Dari bibirku, aku menyunggingkan senyum. Dalam hati, aku berjanji untuk terus membuatnya bahagia.

***


Ketika Waktu Kembali (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang