Membuat Strategi

20.1K 1.3K 45
                                    

"Kok pulangnya malam, Kak?" suara Azzam menyeruak di tengah keheningan malam.

Adiba menoleh. Ia melihat adik laki-lakinya duduk santai di ruang tengah bersama Rania. Televisi masih menyala dan menayangkan program talk show politik. Sejak kapan pasangan selingkuh itu menyukai politik? Adiba hanya mendengus. Rasa benci pada keduanya sudah di ujung tanduk.

"Tadi mampir ke Mall Ciwalk dulu," katanya pelan. Ia berjalan mendahului Azzam.

"Kak, biar aku yang gendong Cila," kata Rania. Perempuan itu berdiri hendak menghampiri mantan kakak iparnya.

"Enggak usah. Cila berat, lebih berat dari dosa perselingkuhan kalian," desisnya tajam membuat Rania tertunduk takut.

"Kak," tegur Azzam.

Bukannya minta maaf, Adiba malah berlalu menaiki anak tangga. Ia membawa Cila yang tengah tertidur dalam gendongannya ke kamar gadis cilik itu. Setelah membaringkan Cila, ia menatap keponakan cantiknya itu. Tangannya menjulur membelai rambut Cila.

"Kamu tahu, Sayang, Tante Diba sayang sekali sama Cila. Tante tahu rasanya rindu dengan bunda gimana. Tante enggak mau Cila ngerasain apa yang tante rasain. Tante mau Cila selalu happy." Adiba menutup monolognya dengan mengecup kening Cila.

Ketika kembali ke bawah, ia melihat Rania masih duduk bersama Azzam. Keduanya menyandar di sofa. Tangan Azzam menjulur merangkul bahu perempuan cantik itu. Sementara Rania menyandarkan kepalanya di dada bidang Azzam.

Apa Adiba akan diam saja melihat adegan nista itu? Tentu saja tidak. Ini bukan karena dirinya yang sok religius. Ini mengenai perasaannya pada Sofia dan Cila. Kedua perempuan tersayangnya itu disakiti oleh adiknya sendiri. Maka, tugasnya adalah menghalangi setan yang menari-nari di atas penderitaan Sofia dan Cila.

"Selamat tidur kekasih gelapku, Sephia...," ia mendendangkan lirik lagu Sephia milik Sheila on 7. Matanya menuju depan dan lantas mendaratkan bokongnya di samping Azzam. Dari sudut matanya, ia tahu jika Azzam sedang meliriknya.

"Sekarang, giliran mantan anggota DPR yang bicara," suara Karni Ilyas menggema dengan keras dari layar televisi setelah Adiba memperbesar volume televisi.

"Anggota DPR kembali korupsi. Gimana mau maju negeri ini kalau wakil rakyat begitu," desis Adiba.

Azzam mengernyit heran. Sejak kapan Adiba tertarik pada politik? Ia tahu betul jika kakaknya selalu mual jika membicarakan politik yang isinya kebanyakan korupsi. Adiba lebih senang menonton acara gosip di televisi.

"Azzam," panggil Adiba membuat Azzam menoleh. "Besok subuh, coba tanya Pak Ustaz di masjid, lebih dosa mana mencuri uang rakyat atau mencuri suami orang?"

Kalimat itu lantas membuat Azzam melotot. Ia menahan geram untuk tidak membentak kakak perempuannya. Tapi, sebelum ia protes, Adiba sudah melancarkan aksinya lagi.

"Kayaknya lebih dosa merebut suami orang. Kalau korupsi, bisa ditebus dengan mengembalikan uang hasil korupsi. Lha, kalau merebut suami orang, masa iya pelakor itu mau mengembalikan hasil rebutannya?"

***

"Enggak, Dek. Mama enggak kasih izin," mama berbicara atau lebih tepatnya mengomel sambil tangannya mencuci piring setelah makan malam.

"Ma," Sofia masih merengek meminta persetujuan mamanya agar memberi izin untuk tinggal di Bandung. Ia tidak mungkin pulang pergi Jakarta Bandung untuk melampiaskan kerinduannya pada Cila.

"Kamu sedang hamil muda, Dek," katanya lagi.

Sofia melirik papa yang sedang duduk di kursi. Tangan putihnya menarik-narik ujung kaus papa. Ia mencari seseorang untuk membujuk mamanya. Tapi, papa hanya mengedikkan bahunya. Perempuan muda itu tidak patah semangat. Ia menangkupkan kedua tangannya-memohon-pada papanya. Itu senjata terakhirnya. Ia ingin papa membantunya.

Papa menghela napas berat. Sofia adalah puteri satu-satunya di keluarganya. Puteri yang teramat dicintainya. Puteri yang selalu ingin ia bahagiakan. Tapi, bahagianya Sofia adalah terus bersama Cila. Gadis cilik yang ayahnya menanamkan luka di hati Sofia.

"Mama enggak kasihan lihat Adek terus sedih memikirkan Cila?"

"Mama lebih sedih kalau lihat Adek disakiti Azzam," desisnya. Mama mengelap tangan basahnya. Ia berjalan mendekati puteri dan suaminya. Ditatapnya kedua orang yang dicintainya itu.

"Cila itu obat rasa sakit hati Adek, Ma," kata papa lagi.

Mama menatap Sofia sendu. Ah, bagaimana bisa Azzam menyakiti puterinya. Sofia adalah perempuan baik-baik. Ia memiliki hati yang lembut. Sofia tidak seperti dirinya yang mudah emosi, bicara apa adanya. Sofia selalu memikirkan kata-katanya agar tidak menyakiti lawan bicaranya. Sofia juga mencintai Cila meski gadis cilik itu bukan lahir dari rahimnya.

"Apa Jasmine mau ditumpangi kamu?" tanya mama sekali lagi.

Jasmine adalah anak dari adik papa. Sepupu Sofia itu sedang melanjutkan pendidikan di ITB. Ayahnya yang super kaya itu membelikan apartemen di Kota Bandung untuk tempat tinggalnya. Perempuan muda itu tinggal sendiri di apartemen dua kamar itu.

"Jasmine malah senang ada Adek, Ma. Sofia bisa jadi teman cerita," kata papa. Ia ingat betul keponakan perempuannya yang memiliki watak seperti istrinya-bawel. Setiap hari, ada saja yang diceritakan pada orang lain. Dulu, Sofia seringkali dijadikan teman curhat gadis itu.

"Iya, tapi setiap minggu, mama harus ke sana," katanya tajam.

Sofia langsung tersenyum. Ia menghampiri mama dan memberikan banyak ciuman di pipi perempuan paruh baya itu. "Sofia sayang mama."

"Mama habis facial, Dek," katanya. Selalu seperti itu. Mulut dan hati tidak pernah sejalan.

Sofia hanya membalas dengan tersenyum-memamerkan gigi putihnya. Ia langsung beranjak menuju kamar untuk packing baju-bajunya.

***

Ketika Waktu Kembali (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang