Harapan yang Sirna

27.9K 1.5K 69
                                    

"Hai, Zam," Rania berucap sambil mengecup singkat bibir Azzam

Azzam menanggapinya dengan tersenyum. Kalau saja mereka tidak berada di restoran yang penuh dengan manusia yang sedang makan siang, sudah ia tarik tengkuk kepala Rania. Tentu saja ia akan membalas ciumannya seperti yang sering mereka lakukan. Bukan ciuman seperti diberikan ke anak kecil.

Laki-laki itu menatap Rania yang menggunakan blous dan rok mini ketat hingga memperlihatkan tubuh seksinya. Jika disuruh memilih, Ranialah yang menurut Azzam lebih seksi daripada Sofia. Tapi, soal cantik. Mereka sama-sama cantik. Rania lebih suka menggunakan make up yang agak tebal. Alis, kelopak dan bulu mata, pipi, bibir, hingga hidung, semuanya dipolesi apapun itu yang Azzam tidak paham. Sedangkan Sofia hanya menggunakan bedak tipis dan lipstik berwarna soft. Bahkan, saat hanya di rumah, perempuan itu menggunakan bedak tabur Cila.

Urusan rambut juga berbeda. Meski sama-sama berambut panjang, mereka memiliki selera yang bertolak belakang. Rania sering mengubah warna rambut bergelombangnya. Sofia, selama tiga tahun bersama, Azzam hanya tahu warna rambut Sofia, hitam.

"Kamu udah pesan makan?" tanya Rania.

Azzam mengangguk cepat. Bagaimana bisa ia mengingat wajah calon mantan istrinya sementara ada Rania di hadapannya. Azzam harus segera mengenyahkan wajah Sofia. Harus itu.

"Udah. Kayak biasa, kan?"

"Iya," kata Rania. "Zam, minggu lalu waktu aku ke Jakarta, aku bertemu Sofia di Gandaria City." Azzam memang sempat bercerita jika istrinya adalah adik kandung Saka-teman kuliah mereka di Bandung.

"Kalian bertemu?" tanya Azzam kaget.

Rania menggeleng. Katanya, "Aku melihat dia jalan dengan Saka dan istrinya. Kalau aku enggak melihat Saka mencium istrinya, mungkin aku akan menyangka kalau itu istrinya Saka." Rania tersenyum parau. "Dia sedang hamil. Kamu tahu itu, Zam?"

Kak Adiba benar. Sofia sedang mengandung anaknya. Kini, sebersit perasaan bersalah muncul dalam hatinya. Sofia membawa anaknya di dalam perut perempuan itu dan ia tidak ada di sampingnya.

"Baru beberapa hari yang lalu. Diberi tahu Kak Diba," jawab Azzam.

Rania menghela napasnya. Ia menyenderkan tubuhnya di kursi. "Kamu tahu, Zam, apa yang aku pikirkan saat melihat mereka? Aku kasihan sama Saka. Dia kelihatan seperti memiliki dua istri. Dia enggak hanya memposisikan sebagai kakaknya Sofia tapi juga suami," katanya sendu. "Aku merasa jahat sekali merebut kamu dari Sofia. Jelas, dia lebih membutuhkanmu. Itu kehamilan pertamanya. Dia pasti butuh support kamu, Zam."

"Rania, Sayang, ada atau tidak adanya kamu, perasaanku pada Sofia enggak berubah. Aku enggak bisa membohongi diriku lagi dengan berpura-pura mencintainya. Kamu tahu itu."

Azzam menggenggam tangan Rania. Ia berusaha meyakinkan perempuan cantik di hadapannya agar tidak menyerah. Mereka harus berjuang bersama.

"Lagipula, aku sudah mendaftarkan perceraianku ke pengadilan agama. Mediasi pertamanya minggu depan."

Rania tidak menjawab. Ia menatap jendela yang menampakkan jalan Kota Bandung yang tersendat. Mobil-mobil tidak dapat berjalan dengan lancar. Kemacetan dan banyaknya warga yang berlalu lalang.

Apakah ia harus mundur?

***

Sofia tidak berkutik ketika ia duduk di hadapan seluruh keluarganya dan Adiba. Bahkan, Mas Raka-suami Kak Adiba ikut masuk ke dalam persidangan dirinya. Sepulangnya dari Bandung, Sofia langsung dihadapkan pada situasi menegangkan seperti ini. Melihat mamanya yang menahan amarah, nyalinya ciut.

Mama memegang surat panggilan dari Pengadilan Agama Jakarta Selatan itu. Azzam benar-benar menepati janjinya untuk menceraikan Sofia. Laki-laki bahkan mau jauh-jauh ke Jakarta hanya untuk menceraikan puteri yang dicintainya.

"Baik. Selasa besok, mama yang akan mendampingi Adek."

"Sama papa juga," kata papa. Sungguh, yang ia khawatirkan adalah emosi istrinya. Perempuan paruh baya itu tidak akan memandang tempat jika akan meluapkan emosinya. Apalagi ini menyangkut puteri kandung satu-satunya.

"Sofia, kamu jangan coba-coba mempertahankan pernikahan itu. Kamu juga harus mengatakan jika memang ingin bercerai. Mama sudah muak dengan Azzam!"

"Jangan lupa harta gono gini, Sofia. Azzam asetnya banyak. Kamu minta ruko yang di Tebet itu," kata Adiba yang membuat semua orang menatapnya. "Tiga ruko itu disewa 250 juta setahun."

"Kak, kami bukan keluarga matrealistis," kata Saka.

Bahkan, tanpa bantuan Azzam, keluarganya masih sanggup memberi nafkah Sofia dan anaknya kelak. Sofia tidak perlu mengemis harta pada mantan suaminya. Tidak perlu meminta sepersen pun uang.

"Setidaknya beri pelajaran Azzam. Dia enggak hanya kelihatan istrinya yang baik tapi juga hartanya."

Sofia tidak mempu menanggapi segala ucapan mereka. Ia masih tertunduk. Matanya mencoba menahan air yang mendesak ingin keluar. Nyatanya, doa yang selama ini ia panjatkan tidak dikabulkan Tuhan. Azzam masih kukuh dengan pendiriannya untuk menceraikannya. Harapan yang selalu bersemayam dalam hatinya hilang dengan datangnya secarik kertas ini. Ia akan kehilangan Azzam dan Cila.

"Kita semua ada di sini untuk kamu, Dek." Kak Nindya memeluk Sofia.

"Iya, Kak, terima kasih," hanya itu yang mampu Sofia ucapkan.

Besok lusa, ia harus kuat saat bertemu Azzam.

***

Ketika Waktu Kembali (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang