One vs Nine

26.9K 1.7K 124
                                    

Double up untuk menebus kemarin yang enggak up-up. Jangan lupa bintang dan komentarnya, hatur nuhun. Selamat menikmati.



Azzam menyewa jasa pengacara untuk membantu mengurusi perceraiannya dengan Sofia. Pagi tadi, ia datang ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan laki-laki berusia 40 tahunan itu. Hanya berdua.

Rasanya dadanya sejak tadi tidak berhenti bergejolak. Mediasi pertama sidang perceraiannya. Ini perceraian keduanya. Pengacaranya tadi mengatakan jika mediasi kali ini biasanya hanya berisi nasihat agar memikirkan kembali rencana perceraian. Tanpa laki-laki itu sadari, Azzam tahu. Ia pernah datang ketika dulu bercerai dengan Rania meskipun perempuan itu tidak pernah menghadirinya.

Apakah Sofia akan datang?

Kalimat itu muncul dalam pikirannya sejak semalam. Bayang-bayang Sofia didampingi pengacara. Mungkin perempuan itu tidak akan bertegur sapa dengannya. Ia tidak tahu. Ia tidak pernah berkomunikasi dengan Sofia sejak memulangkan perempuan itu ke rumah orangtuanya di Jakarta.

Kalau Sofia tidak mau berbicara dengannya, Azzam paham. Ia mengerti tentang luka yang ditorehkan laki-laki itu pada Sofia. Ia pantas menerimanya. Baginya, Sofia tidak menghambat proses perceraian saja sudah cukup. Ia tidak meminta lebih.

"Bang Azzam, apa kabar?"

Azzam menoleh. Perempuan cantik berambut lurus panjang itu berdiri di hadapannya. Beberapa detik Azzam menatap Sofia. Perempuan itu tampak begitu cantik. Entah mengapa, Azzam merasaka kecantikan Sofia bertambah banyak. Apalagi tubuhnya tampak lebih berisi dengan perutnya yang menonjol.

Ah, anak keduanya.

Azzam harus menahan keinginannya untuk mengelus dan menciumi perut Sofia. Ia ingin merasakan detak jantung buah hatinya. Tapi, Azzam tahu diri. Ia tidak pantas melakukannya. Akhirnya, keinginan itu harus Azzam kubur dalam-dalam.

"Oh, baik," ucapnya singkat. Azzam baru saja akan bertanya kabar Sofia ketika sebuah suara menginterupsi.

"Adek," suara mama. "Ayo tunggu di dalam aja. Di sini panas."

Mata Azzam memandang dengan perasaan bersalah pada ibu mertuanya. Dari sanalah, ia akhirnya tahu jika bukan hanya mama yang menemani Sofia. Mama, papa, Saka, Samir, Nindya dan anak keduanya, Zafran. Bahkan, Adiba dan suaminya, Raka, ikut datang. Jangan lupakan Safira, sahabat Sofia yang mulutnya tajam. Gila. Sembilan orang berdiri di belakang Sofia. Mereka menatap Azzam dengan pandangan penuh kesal dan kemarahan yang besar. Itu gambaran jika Adiba benar. Azzam telah kehilangan segalanya karena memilih Rania. Tidak hanya Sofia yang sebentar lagi menjadi mantan istrinya.

Ia kehilangan papa mama mertua yang dulu menyayanginya seperti kedua orangtuanya. Saka, sahabat terbaik yang pernah dimilikinya. Adiba, kakak yang dulu selalu mendukungnya kini berbalik berada di seberangnya. Bahkan, jauh sebelum mereka, ia telah kehilangan puteri kecil satu-satunya. Permata hatinya mundur perlahan menjauhinya.

"Sofia," panggilan Safira pada perempuan yang mencintainya masih dapat didengar Azzam. "Pakai payung, kasian anak di perutmu. Sudah jadi anak yatim, kepanasan lagi."

Azzam tertohok dengan ucapan Safira. Demi Tuhan, ia belum mati dan perempuan itu mengatakan seolah anaknya telah kehilangan ayah kandungnya. Ia masih menjadi ayah biologis dari anak yang dikandung Sofia.

Saka enggak hanya memposisikan sebagai kakaknya Sofia tapi juga suami.

Suara Rania berkumandang dalam kepala Azzam. Benar. Anaknya telah lama kehilangan ayahnya. Ia menjadi laki-laki paling berdosa dan bodoh. Laki-laki yang menceraikan istrinya yang sedang hamil. Laki-laki yang lebih memilih terhanyut dalam nostalgia. Laki-laki itu dirinya.

Ketika Waktu Kembali (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang