Menuju Honeymoon

19.4K 1.2K 11
                                    

Di part ini akan mengisahkan bagian honeymoon Azzam dan Sofia di Jepang. Don't forget to votes, follow, and comment my story ya 😉. Selamat menikmati dan semoga kalian menyukainya. Salam sayang dari Sofia. 


Mama selalu mengatakan jika satu tahu pertama dalam pernikahan bukanlah hal yang mudah dijalani. Ada banyak rintangan yang akan kuhadapi bersama Bang Azzam. Salah satunya adalah mengetahui kebiasaan dan sifat pasangan. Apalagi, pacaran kami tidak terlalu banyak menghabiskan waktu bersama. Maksudku, Bang Azzam hampir tidak pernah mengajak jalan berdua denganku tanpa Cila. Kehadiran Cila di tengah-tengah jadwal kencan kami yang membuat Bang Azzam tidak pernah macam-macam denganku. Pernah sekali ia mencium keningku dan ketahuan Cila. Setelahnya, kami hanya sempat berbicara-lebih banyak aku yang bicara.

Kini, aku akan merasakan bagaimana indahnya berkencan berdua dengan Bang Azzam. Tanpa protes dari Cila jika Bang Azzam ingin menciumku. Jadi, Bang Azzam pasti akan sering menciumku. Aduh, membayangkan hal itu membuatku pipiku merah.

"Tapi jangan lama-lama perginya," Cila berucap dengan wajahnya yang masih memberenggut. Matanya sepertinya sudah mengantuk. Lucu sekali gadis kecil itu. Dosa tidak ya kalau menggigit pipi tembemnya?

"Iya, Sayang. Kan, katanya Cila mau punya adik perempuan yang cantik. Kalau mama dan papa enggak boleh pergi, nanti gimana bawa adik cantiknya." Itu bukan aku yang menjelaskan tapi mama. Beliau menjadi orang paling heboh dan antusias dalam rencanaku pergi honeymoon dengan Bang Azzam.

Honeymoon? Of course yes. Kata ajaib itu akhirnya keluar dari bibir Bang Azzamku yang tampan ini. Seminggu lalu, ia tiba-tiba mengatakan jika kami akan pergi ke Jepang. Tanpa bertanya. Tanpa menjawab, aku langsung membalas dengan teriakan dan memberikan ciuman pada Bang Azzam. Setelah itu? Tentu saja aku tidak jadi mencari tiket seperti perintahnya tetapi melanjutkan hal lain. Informasi baru, Bang Azzam tidak akan pernah membiarkanku melepaskan bibirku jika ia sudah melumat bibirku. Serendah itu memang pengendalian dirinya terhadapku. Itu membuatku bangga pada diriku sendiri.

Jadi sekarang di sinilah kami. Aku, Bang Azzam, Cila, Mama, dan Samir di Bandara Soekarno Hatta. Tadi pagi, Bang Azzam mengomel sepanjang perjalanan menuju rumah mama. Ia protes mengapa harus mengambil penerbangan dari Jakarta. Kupikir karena lebih hemat. Jiwa menghemat mahasiswaku mendadak muncul melihat perbedaan harga yang ada. Tiket kelas bisnis dari Bandung dan Jakarta bisa berbeda hampir tiga kali lipat. Aku sendiri tidak mengerti. Makanya, lebih baik naik dari Bandara Soetta saja.

"Kan, uangnya sayang, Abang," kataku sambil menyandarkan kepalaku ke bahunya. Hampir dua bulan menjadi istrinya, aku paham kelemahan suamiku itu. Ia senang jika aku bergelayut atau bermanja-manja secara fisik dengannya.

"Kan, uangnya bisa buat jalan-jalan di Tokyo. Abang, kan, tahu sendiri kalau di Tokyo itu mahal banget," rayuku sekali lagi. Kali ini aku mengecup berkali-kali pipinya.

"Aku lagi nyetir, Sofi. Jangan bikin aku putar balik cari kamar hotel."

Aku tertawa keras.

Di Jakarta, kami beristirahat sejenak di rumah mama. Beliau tentu saja senang rumahnya disinggahi Cila. Mamaku dulu terobsesi memiliki TK. Beliau senang sekali dengan anak-anak karena dulunya anak tunggal. Setelah punya cucu dari Bang Saka, mama memiliki hobi baru. Beliau senang menyekap cucunya di rumahnya. Sekarang, aku yakin Cila menjadi korban selanjutnya setelah Zidan-anak Bang Saka.

Cila ikut mengantar kami ke bandara meskipun jadwal penerbangan kami tengah malam. Anak itu justru akan menangis keesokan paginya jika tidak melihatku. Jadi, ia diajak untuk kami pamiti.

"Nanti, adik cantiknya yang rambutnya panjang ya, Ma? Biar Cila bisa kepang dan kuncir yang kayak mama lakuin ke rambut Cila."

"Iya, Sayang."

Ia selalu berpikir jika anak bayi itu seperti boneka barbie yang sering diberinya di toko. Ia bebas memilih jika rupa seperti apa. Maka, kuanggukkan saja permintaannya.

"Udah, cepat masuk. Kalian sudah dipanggil tuh," potong mama.

Jangan nangis, jangan nangis. Aku mensugesti pikiranku sendiri ketika menciumi wajah Cila. Ini pertama kalinya aku pergi jauh tanpa puteri kecilku. Berkali-kali Bang Azzam mengelus lenganku. Aku tahu, ia juga berat meninggalkan Cila. Tapi, kami harus melakukannya.

Aku masih menoleh untuk menatap wajah Cila yang sibuk melambaikan tangannya ke arah kami. Ah, puteri kecilku. Aku pasti akan merindukanmu.

"Minggu depan, kita ketemu Cila lagi," bisik Bang Azzam.

Ketika Waktu Kembali (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang