Karena Waktu Tidak akan Pernah Kembali

24.7K 1.5K 32
                                    

Hallo, aku balik lagi setelah kemarin libur. Semoga masih menunggu kelanjutan cerita ini, ya. Enjoy.


Sempat Azzam ragu mendatangi tempat ini beberapa waktu lalu. Berkas-berkas yang berada dalam genggamannya bergetar. Mungkinkah ini tindakan yang tepat? Bisikan-bisikan itu terus bergumam dalam pikirannya. Tapi, bayangan wajah Rania yang beberapa bulan ini menghantui pikirannya membuat keraguan Azzam sirna. Ia tidak ingin kehilangan Rania lagi. Tidak setelah adanya Cila dalam hidup mereka.

Momen ini adalah fase penting dalam kehidupan Azzam. Jatuh cinta pertama kali pada Rania, berpacaran, menikah dengan Rania hingga akhirnya bercerai dengan perempuan cantik itu. Azzam sebenarnya tidak ingin mengulang fase kehidupan itu lagi. Bertemu Sofia, mengagumi Sofia, menikah, mencoba jatuh cinta pada perempuan itu, hingga akhirnya melayangkan gugatan cerai padanya. Setelah ini, ia mungkin akan kembali ke fase awalnya lagi. Menikahi Rania dan berusaha hidup bahagia dengan puteri kecil mereka.

Ia ingat bagaimana terpuruknya dirinya ketika bercerai dengan Rania. Azzam kehilangan separuh hatinya. Rasanya ia tidak ingin melanjutkan hidup. Nyatanya, ada Cila yang membuatnya kuat. Ia berusaha bangkit demi bayi cantik itu. Cila membutuhkannya. Itu yang membuat Azzam bertahan.

Bagaimana dengan Sofia?

Apakah ia akan terpuruk seperti dirinya dulu? Bukankah perempuan itu juga mencintainya dengan begitu seperti perasaan Azzam pada Rania. Siapakah sosok yang menjadi alasan Sofia untuk tetap kuat dan bertahan di tengah gempuran rasa sakit pasca perceraian nanti. Perempuan itu mencintai Cila tetapi tidak akan mungkin memberikan pengasuhan Cila pada Sofia.

Azzam merasa menjadi orang jahat karena terus menyakiti perempuan baik dan berhati lembut seperti Sofia.

"Azzam?" Adiba berkata yang membuyarkan lamunan Azzam. Kakaknya menenteng plastik berlogo mini market. "Masuk."

Azzam duduk manis di kursi makan sementara Adiba membuatkan es teh manis pada adik kesayangannya itu. Tidak biasanya Azzam datang ke tempat ini setelah menikah. Dulu, setiap kali ada meeting di Jakarta, Azzam memang selalu mampir ke rumahnya. Setelah menikah, biasanya Azzam ke sini sebulan sekali dengan Cila dan Sofia.

Adiba mencoba menghilangkan pikiran buruk yang berkelana dalam otaknya. Ia masih sangat berharap jika pernikahan adiknya dapat dipertahankan. Ia sudah terlanjur sayang pada Sofia. Perempuan baik itu tidak pantas disakiti. Lebih dari itu, Cila membutuhkan Sofia.

"Kamu habis meeting di mana?"

Azzam menggeleng. Ia menyerumput es teh buatan kakaknya. "Aku dari pengadilan agama. Menyerahkan berkas perceraian."

"Kamu gila, Azzam!" Adiba berteriak. Ia sudah tidak mampu mengontrol emosinya. Memang ia tidak pernah bisa menahan emosi. Baginya, meluapkannya lebih baik daripada harus dipendam dan jadi penyakit.

"Aku enggak mau menggantung status Sofia. Secara agama kami sudah resmi bercerai, Kak. Aku sudah memberikan talak satu padanya. Kuingatkan kalau kakak lupa."

Dari sanalah muncul air mata dari Adiba. Sosok perempuan tangguh di mata Azzam itu menangis. Itu tangisan pertama Adiba setelah kematian kedua orangtuanya. Biasanya, Adiba selalu kuat menjalani masalah hidupnya. Ia telah menggantikan sosok orangtua bagi Azzam. Sekarang, ia justru menangisi perceraian adiknya.

Adiba terduduk. Matanya masih mengeluarkan air mata yang entah mengapa sulit ia hentikan. Ia mengambil tissue yang disodorkan adiknya. Mengeluarkan cairan yang menempel pada hidungnya. Katanya, "Kamu enggak bisa menceraikan Sofia, Azzam. Setidaknya tunggu lima bulan lagi."

Azzam menatap heran kakaknya? Lima bulan lagi? Bukankah tidak ada bedanya mengajukan perceraian sekarang atau lima bulan lagi. Ia ingin mempercepat untuk memperjelas status pernikahan mereka. Sofia berhak menemukan sosok laki-laki lain yang mencintainya. Itu bukan Azzam.

"Kamu ceraikan Sofia nanti saja setelah bayinya lahir," kata Adiba.

"Bayi?"

"Sofia sedang mengandung anakmu, Zam." Seharusnya Adiba merahasiakan ini karena permintaan Sofia. Tapi, Adiba tidak tahan menghadapi kebodohan adiknya yang masih saja tergila-gila pada mantan istrinya. Azzam harus segera disadarkan.

"Kakak ngomong seperti itu bukan karena ingin aku mencabut gugatan cerai, kan?"

Alih-alih menjawab, Adiba justru meninggalkan Azzam. Ia berjalan menuju kamar untuk mengambil ponselnya. Ia membuka aplikasi Instagram dan mencari akun Sofia dalam list pertemanannya. Adik iparnya sesekali suka memposting foto. Diberikan ponsel itu pada Azzam.

Azzam mengamati foto yang ada di ponsel kakaknya. Keterangannya, foto itu diambil dua minggu lalu. Ada Sofia dan keluarganya-mama, papa, saudara laki-laki, kakak ipar, dan kedua keponakannya. Dilihat dari latar, mereka sedang menikmati makan di sebuah restoran bernuasa alam. Ia memperhatikan dengan teliti sosok Sofia yang diapit adik dan papanya. Perempuan cantik itu menggunakan dress selutut. Dan, perut perempuan itu kelihatan paling menonjol di antara dua perempuan dewasa di sekitarnya.

Sofia memang sedang hamil anaknya.

"Sofia enggak pernah bilang. Lagipula bukannya dia sedang menggunakan alat kontrasepsi."

"Di baru tahu hamil setelah kamu memulangkannya dan dia sedang enggak menggunakan alat pencegah kehamilan," mata Adiba melotot pada adiknya.

Harusnya yang terjadi adalah Azzam marah. Bukankah mereka sudah berdiskusi untuk menggunakan alat kontrasepsi dan menunda memiliki anak. Seharusnya ia merasa dibohongi oleh Sofia. Tapi, yang terjadi justru Azzam dengan pikiran kosongnya.

Ada darah dagingnya dalam Rahim Sofia. Bayi yang kelak akan memanggilnya ayah-seperti Cila. Ada separuh Sofia dan dirinya dalam tubuh bayi itu.

"Azzam, kalau kamu memilih Sofia, kamu hanya akan kehilangan Rania dan masa lalu kalian yang bagimu mungkin itu adalah hal indah. Tapi, kalau kamu memilih Rania, kamu akan kehilangan segalanya. Kamu tidak hanya kehilangan Sofia, tapi juga Cila dan bayi kalian. Juga, kamu akan kehilangan masa depan indah yang seharusnya kamu bisa dapatkan bersama keluarga kecilmu."

Adiba beranjak dari duduknya. Ia menghampiri Azzam untuk berkata sekali lagi. "Kamu yang harus memilih masa lalu atau masa depan."

Karena waktu tidak akan pernah kembali.

***

Ketika Waktu Kembali (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang