Langit malam yang hitam telah berganti dengan sinar-sinar kecil menembus kaca jendela kamar yang langsung tertuju ke wajahku. Aku siap memulai pagi ini dengan rencana-rencana hari libur di akhir pekan yang telah kupersiapkan sejak malam. Sesuai apa yang diperintahkan bunda, siapa yang terakhir bangun, ia lah yang harus membereskan kamar. Kali ini, aku yang terakhir bangun. Ya iya dong, hari libur mengapa harus bangun pagi? Kurapihkan selimut dan tempat tidur meskipun sepertinya gravitasi di kasur memiliki gaya yang cukup besar untuk menarikku kembali ke atas kasur. Tak lupa, boneka kesayanganku berbentuk beruang ini aku taruh di tengah-tengah bantal.
Setelah rapih-rapih kamar, aku keluar untuk menemui kedua malaikat pelindungku. Hanya ada ayahku yang sedang menonton TV. Pasti bunda masih masak untuk sarapan. Ya, masakan bunda memang masakan yang paling nikmat di dunia ini. Restoran bintang lima pun kalah!
"Eh, kamu udah bangun." Bunda berjalan dari dapur ke ruang tamu sambil membawa dua gelas teh manis panas yang masih berasap-asap, lalu menaruhnya di meja dan ikut duduk di sampingku bersama ayah.
Dengan sigap, aku langsung mengambil gelas tersebut untuk segera meminumnya. "Eh!" Teguran bunda dengan ekspresi panik dan langsung mengambil gelas yang kupegang lalu menaruhnya kembali ke atas meja.
"Eh, iya. Aku lupa, hehe," senyumku dengan sedikit takut. Takut jika ayah dan bunda terluka lagi karena diriku.
"Hari ini kemana?" Ayah membenarkan duduknya lalu merangkulku dan menatap mataku.
"Kalo ke dufan gimana, Yah?"
"Enggak," tolaknya tegas.
"Ih, kenapa?" Ekspresi melasku beraksi.
"Bahaya tahu."
"Tapi temen-temen aku tuh pada sering bolak-balik ke sana. Di sana kita bisa naik yang dijatohin dari atas, terus muter-muter gitu, sama ada dibalik-balikin dari ketinggian," penjelasanku dengan penuh penghayatan dan menggunakan gestur tangan untuk menjelaskan ke mereka lebih detail.
Ekspresi mereka malah menjadi penuh kengerian atas penjelasanku yang barusan.
"Itu temen-temen kamu kan. Beda sama kamu."
"Hmmmm. Ya udah, kita berenang aja gimana?" Masih ingin berencana untuk pergi dan tidak mendekap di rumah. Jarang kan ayah seharian di rumah seperti ini. Aku harus bisa memanfaatkan momen ini.
"Aku lagi gak bisa renang, Ra," tolakkan bunda. Yah, Bun. Padahal mau berenang sama bunda.
"Ya gak papa, Dek. Kamu jagain dia aja." Nice idea, dad!
"Hmm, ya udah. Ambil baju sana," perintah bunda yang akhirnya setuju sama rencana aku dan ayah.
YAS! Akhirnya jalan juga! Berenang! Tunggu aku ya, kolam!
Kami berangkat naik mobil, seperti biasa, ayah yang menyetir mobilnya. Dia ahli mengendarai kendaraan, apalagi mobil, tetapi ia tak pernah mau mengajariku meskipun hanya untuk motor. Padahal, sekarang aku sudah mau masuk SMP, akan lebih mudah jika aku naik motor sendiri daripada diantar ayah tiap pagi dan membuatnya terkadang telat ke kantor jika dapat shift pagi. Oh iya, ayahku adalah seorang dokter umum di salah satu rumah sakit di Jakarta Selatan. Maka dari itu, ia cukup sibuk, sedangkan bunda hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga yang selalu siap siaga 24 jam untuk menjagaku. Ayah melarangnya untuk bekerja karena ia harus selalu mengawasiku, bahkan di sekolah. Sedikit risih rasanya, namun apa boleh buat? Aku harap ketika SMP aku tak lagi terlalu diawasi setiap saat.
Terdengar dari jauh alunan lembut suara air kolam renang dan ditambah teriakan kebahagiaan dari anak-anak kecil yang sedang bermain di kolam. Huh, aku tak sabar ingin mencelupkan diriku ini ke dalam kolam renang. Bunda membeli tiket untuk tiga orang, lalu kami berjalan melewati kolam renang yang cukup ramai. Aku melihat bunda dan ayah berkipas-kipas tangan kepanasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Kesalahan
General FictionBagaimana jika kamu terlahir sebagai anak hasil inbreeding kesalahan kedua orang tuamu di masa lalu? Mariera Valinea Althaf, biasanya dipanggil Era. Bocah kecil berumur 12 tahun yang mengalami CIPA, penyakit langka yang tidak bisa merasakan sakit. N...