Terbayarkan

127 10 1
                                    

Kembali pada masa sekarang.

 Era's PoV 

Mariera Valinea Althaf. Tiga belas tahun aku hidup baru mengetahui apa arti nama ini sebenarnya. Sebuah kesalahan besar dari Vania dan Lineo Althaf. Aku membenci mereka, tetapi juga mencintai mereka. Aku harus apa? Terlalu banyak cerita yang mereka ceritakan membuatku lupa. Lupa jika aku hidup. Aku kira aku sudah mati. Mereka tidak menginginkanku dan berniat untuk membunuhku kan? Mengapa tidak mereka lanjutkan? Aku akan berterima kasih pada mereka jika itu terjadi. Aku hanya menjadi beban di sini. 

 "Era. Kamu baik-baik saja kan?" Om Martinus menatap mataku dan bertanya ada apa. Seharusnya Om tahu apa yang aku rasakan sekarang. Aku tidak merasakan apa-apa. Mengapa hanya indera perabaku saja yang mati rasa? Mengapa bukan akunya saja yang mati sekalian? 

"Era...." Ayah mencoba menyentuhku, tetapi aku menarik tanganku dan membuat semua yang ada di sana syok. Bunda langsung menangis melihat reaksiku. Maaf, mungkin panggilan ayah dan bunda kurang tepat sekarang. 

 "Oke, tenang. Harap tenang semua. Sekarang saya ingin bertanya pada Nia dan Neo. Apa sih yang membuat kalian tergila-gila sampai melakukan kesalahan fatal?" 

 "Dibutakan cinta, Om," jawab ayah, maksudku Om Neo. 

 "Itu bukan dibutakan oleh cinta, Neo, melainkan dibutakan oleh nafsu. Kalau kalian benar-benar cinta, tidak mungkin merusak sampai segala hal di sekitarnya ikut hancur. Cinta itu menyelamatkan, mengajak ke jalan yang benar, bukan malah menjerumuskan pada kehancuran. Laki-laki dan perempuan tidak diciptakan hanya untuk berpasang-pasangan, tetapi juga untuk menjadi keluarga. Saling menyayangi tanpa adanya nafsu seperti pada pasangan." Semua hening. Terutama Tante Nia dan Om Neo. 

 "Mama dan papa kalian meninggalkan kalian tanpa moral agama yang baik. Kalau semasa hidup mereka mengajarkan moral agama, pasti kalian berdua tidak akan berpikir bahwa hidup tak lagi berguna ketika orang tua kalian pergi. Kalian tidak merasa hanya berdua di dunia ini. Kalian masih punya Tuhan yang selalu ada di sisi kalian. Semasa hidup setelah orang tua kalian pergi, seharusnya kalian terus berbuat kebaikan dan mendoakan orang tua kalian agar bahagia di sana, bukan malah menjerumuskan pada hal-hal negatif di mana kalian berpikir kalau kalian bebas melakukan apapun di dunia tanpa adanya pengawasan orang tua. Anteh kalian juga termasuk orang tua kedua kalian. Yang kalian lakukan ini adalah dosa besar. Bagaimana kalian dapat bertemu orang tua kalian nanti? Apa kalian pernah mengunjungi mereka dan berdoa untuk mereka? Kasihan mereka. Kalian bisa masuk penjara karena tuduhan ini. Perkawinan sedarah dapat masuk ke dalam pembunuhan dan penyiksaan karena mencelakai bayi yang ada di dalam kandungan, mengancurkannya dan membuatnya hidup tersiksa. Vintha juga. Mereka itu anak yatim, Vin. Butuh kasih sayang dan perhatian lebih, bukan malah ditinggal. Iya, alasan kamu adalah untuk menafkahi mereka. Namun, harta yang kamu punya sudah sangat cukup untuk membuat mereka hidup bahagia. Untuk apa berlebihan harta jika tidak ada kebahagiaan? Ajari mereka mana yang benar dan mana yang salah. Kamu hanya punya mereka, Vintha. Seandainya dulu kamu tidak terlalu mengejar harta, sampai sekarang mungkin kamu memiliki semuanya. Harta tidak dibawa mati. Benar, Era memang mukjizat dari Tuhan. Anak hasil dari hubungan sedarah tingkat pertama atau keluarga inti itu tingkat kecacatannya besar sekali. Ia bisa cacat fisik ataupun mental yang parah, tetapi Era terlahir dengan sempurna dan memiliki mental yang masih dalam batas normal. Kesalahan terbesar kalian adalah menyimpannya begitu lama dan berharap masalah itu akan hilang. Padahal, dengan menyimpannya, masalah itu bukan hilang, hanya terlupakan sementara, tetapi akan membuat masalah yang lebih besar ketika suatu saat terbuka. Jangan berpikir kalian sendiri. Aku di sini sebagai psikiater ada untuk membantu kalian. Kalian kira pekerjaan psikiater, psikolog, guru BK, konselor, itu untuk apa? Ya untuk menolong orang yang butuh bantuan seperti kalian secara kekeluargaan atau secara medis. Ayolah, sekarang buka hati dan pikiran kalian. Perbaiki masa lalu. Jangan melanjutkan yang terlanjur salah. Berani bertanggung jawab. Belajar memaafkan ya, Era." Jadi, ibaratnya ini adalah kesalahan turun temurun dari keluarga mereka yang dilampiskan semuanya padaku? Benar-benar aku seharusnya tak ada di sini. 

 "Era, maaf." Satu kata yang dikeluarkan oleh dua orang itu lagi. Maaf, aku belum bisa memaafkan kalian sekarang.

"Era. Mereka sudah meminta maaf, sudah menyesal, dan sudah mengakui kesalahannya. Yang selama ini kamu tunggu ini kan? Mengetahui 'takdir' mengapa kamu seperti ini? Lalu, mengapa sekarang malah kamu menolaknya? Berterima kasih lah karena mereka masih ingin menjagamu dan merawatmu, Era. Bagaimanapun, ini surga kamu. Masa lalu mereka sudah pahit, jangan tambah pahit karena kamu menolak mereka. Namanya manusia pasti memiliki kesalahan." Namun, ini kesalahan yang sangat fatal. 

 "Iya, Era. Kamu anak baik. Ayo maafin ayah sama bunda kamu." Ketika Anteh yang berbicara dan membujukku, seketika hatiku luluh. Aku tahu betapa sabarnya Anteh dari cerita mereka. Anteh yang selalu berkorban. Anteh yang paling mengertiku. Aku hidup juga karena nasihat dari Anteh kala itu pada mereka. Sepertinya... aku tahu harus berbuat apa. 

 "Aku... mau maafin kalian—" Ekspresi mereka berdua sangat berbinar-binar, padahal aku belum melanjutkan kalimatnya. "—Kalau kalian pisah. Aku gak mau jadi alasan seseorang untuk melakukan dosa." Ekspresi berbinar mereka berubah menjadi tidak percaya. By the way, terima kasih, Keenan. Kamu membuatku dapat berpikir dewasa. 

 "Setuju," bela Anteh. 

 "Iya. Aku setuju," tambah Om Martinus.

Ayah dan bunda masih bertatap-tatapan. 

 "Nanti Era sama siapa?" 

 "Sama Anteh." 

 "Dan Om juga." Loh? Kok bisa sama Om Martinus juga? Kami refleks menoleh pada Om Martinus dengan jawabannya yang terdengar asing. 

 "Saya dan Anteh kalian siap menjadi wali Era. Nikmati saja hidup kalian dengan mencari pasangan sewajarnya." OH MY GOD! Apa itu artinya mereka akan menikah?! Apa itu artinya aku dan Keenan menjadi adik kakak?! WOW! ITU HAL YANG SANGAT MENYENANGKAN! 

 "Ta... tapi, Om...." Ayah dan bunda terlihat belum setuju.

 "Biarlah Anteh kalian ini menikmati masa hidupnya yang baru dan melupakan masa lalunya, begitu pula kalian. Harus bisa menyelesaikan masalah sekalipun sangat sulit. Anak kalian yang kalian selalu jadikan alasan untuk selalu bersama saja menyuruh kalian berpisah. Masa kalian masih mau meneruskan kesalahan kalian? Katanya mau berubah." Lalu mereka terdiam, menunduk, dan berpikir harus jawab apa. 

 "Nia, kamu bisa melanjutkan studi psikologi loh. Ya ampun, umur kalian tuh masih sangat muda. Masih 31 tahun dan 32 tahun. Masih sangat banyak yang dapat dikejar! Jangan jadikan Era sebagai halangan. Jadikan Era sebagai motivasi kalian agar dia juga bangga memiliki orang tua seperti kalian. Kamu kalo mau ambil spesialis juga bisa banget, Neo. Ayolah! Move on, guys. The world never stop you to move forward and forget about the past!" Nada Om Martinus sangat menyemangati mereka dan membuat mereka lebih bergairah untuk melanjutkan hidup, begitu pula aku. Melihat mereka tersenyum, aku jadi lupa akan kesalahan mereka yang benar-benar merusak seluruh hidupku. 

 "Satu hal. Sepertinya kalian menjadi seperti ini karena ada dendam dari orang-orang yang pernah kalian sakiti. Coba kalian pikirkan dan minta maaf pada orang-orang tersebut. Jangan lupa kunjungi makam orang tua kalian dan meminta doa restu untuk melanjutkan hidup ke jalan yang benar." 

 "Nia, Relevan. Cari dia dan minta maaf. Keluarga kalian yang di kampung juga. Mba Titi dan Mba Yanti. Nanti Anteh bantu cari." 

 "Iya, Anteh."

Huuffft, seperti menyelam air kolam pada hari yang panas. Akhirnya semua teka-teki yang kupertanyakan selama ini terbongkar juga. Semoga saja akan terus membaik dan tidak akan terulang kejadian yang sama untuk kami atau untuk orang lain. Jangan. Jangan sampai. 

 Aku masih tinggal di rumah ayah dan bunda dan semua masih sama seperti sebelumnya. Hanya saja, mereka lebih terbuka, bahkan sangat terbuka padaku. Mereka banyak menceritakan apa yang belum jelas. Aku juga dapat bebas bertanya pada mereka sekarang. Sekarang, malah aku yang tidak ingin pisah, tetapi harus. Ini adalah sebuah kewajiban dan takdir mereka harus berpisah untuk memilih pasangan hidup masing-masing. Mereka selalu meminta maaf padaku. Mereka juga membuang hal-hal yang membuat kesehatan mental mereka jadi ketergantungan seperti silet dan obat penenang. Aku menyayangi mereka meskipun aku tidak tahu seharusnya mereka menjadi apa untukku. Yang jelas, ada di sisiku saja sudah berarti aku milik mereka.

Sebuah KesalahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang