Sekolah Menengah Pertama (6)

100 11 0
                                    

Selesai filmnya, aku sungguh terbawa dengan feel dalam film tersebut. Aku merasa menjadi seseorang di dalam sana. Namun, untungnya Anteh dapat mengatasi itu dengan mengajak kami makan di restoran yang aku suka. Anteh sepertinya mengerti tentang film itu karena dari awal ia sangat fokus menonton filmnya, bahkan menegur aku dan Keenan yang berisik dan menganggunya. Sambil menunggu makanan, Anteh bertanya-tanya pada Keenan. "Kok kamu tau film ini, sih? Ini kan film yang berat." "Udah biasa nanggung yang berat." Wow, Keenan. Aku tak pernah menyangka kamu sedewasa ini. Bukan hanya pemikiran, namun juga kata-kata. "Umur kamu berapa sih?" "Eh, Anteh kan yang bilang sendiri gak boleh tanya umur," tegurku membalas perkataannya. "Yah, anak kecil mah gak papa." "Anak kecil juga punya hak loh," sahut Keenan. Ih, benar-benar anak ini! Berapa sih umur dia sebenarnya? Haha. Aku juga penasaran. "Kamu umur berapa sih?" Pertanyaanku tak tertahankan. "Ih! Gua umur 14 tahun! Kan udah dibilang gua telat setahun karena pindah dari luar negeri." "Dari mana kamu?" "Aku ikut mama ke Republik Ceko sama suaminya, tapi aku minta pulang karena gak suka sama keluarga barunya." Wah, ribet juga ya keluarganya. Pantas dia dapat berpikir sedewasa ini. Kalah aku. "Itu di Cina ya? Republik Rakyat Cina." "Bukan, Era. Itu di Eropa." "Wih, jauh!" "Nama lu Era atau Valin, sih?" "Khusus kamu panggilnya Valin aja. Aku gak suka dipanggil Era." "Kenapa?" "Eh, papa kamu di sana juga atau gimana?" Sepertinya Anteh juga penasaran dengan riwayat keluarga Keenan. "Papa aku di sini. Dia kerja. Kita tinggal berdua di sini." "Kerja apa papa kamu?" "Ih, Anteh kepo banget sih." Padahal aku juga mau tahu tentangnya lebih dalam. "Papa aku di sekolah, dia jadi ketua tata usaha, tapi dia juga jadi psikiater dan buka praktik kalau weekend atau kalau ada pasien yang menghubungi dia. Jadi, ya dia sibuk banget. Aku mah bebas jadinya," curhatnya. Uh, kasihan sekali kamu, Keenan. "Psikiater?! Eh, ketua TU? Pak Martinus?" Anteh terlihat kaget dan tidak percaya kalau si bocah ini mempunyai orang tua yang sangat hebat. "Iya." "Oalah dia psikiater. Pantes aja pas Anteh ngurusin dokumen Era yang belum lengkap, dia nanya-nanya mulu." "Emang apa yang belum lengkap, Anteh?" "Banyak, tapi bentar lagi selesai kok. By the way, aku boleh minta kontak papa kamu?" "Buat apa, Anteh? Kata bunda, psikiater itu dokter yang ngobatin penyakit mental. Emang Anteh sakit?" "Enggak gitu, Era. Psikiater, psikolog, dan konselor itu ada bukan hanya untuk penyakit, tetapi juga untuk konseling, cerita-cerita kalo ada masalah." "Cerita-cerita doang juga bayarnya mahal, Tan," sahut Keenan. "Ya karena gak semua orang bisa menjadi pendengar yang baik, apalagi ngasih solusi. Itu ada ilmunya sendiri loh, gak boleh sembarangan. Makanya harganya mahal karena itu juga sama kayak dokter, apalagi psikiater! Dia emang lulusan kuliah kedokteran! Salah penanganan, pasiennya bisa meninggal." "Kok bisa meninggal, An?" "Maksudnya bunuh diri." "IH! SEREM BANGET SIH!" Aku jadi ketakutan sendiri dengan pembicaraan yang sedang mereka bicarakan. "Udah, udah. Daripada nanti malem kamu gak bisa tidur dan Anteh yang disalahin, mending kamu tunggu makanannya dateng aja lah." Nafsu makanku jadi hilang, Anteh. Serius. "Nih, nomornya." Keenan memberikan ponselnya pada Anteh, lalu Anteh memindahkan nomor ke ponselnya. Anteh ngapain sih berhubungan sama yang seperti itu? Menyeramkan sekali, aku tidak bisa membayanginya bila itu terjadi padaku. Ya Tuhan, jangan sampai aku atau keluargaku berhubungan dengan hal-hal yang seperti itu.

Sebuah KesalahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang