Ketika semua telah rapih dan jenazah sudah dimasukkan ke dalam peti, barulah Mas Neo boleh melihat mereka untuk yang terakhir kalinya. Ia masih tidak bisa mengontrol dirinya sendiri, lalu aku memeluknya. Memeluknya erat agar ia bisa tenang. Meskipun ini semua adalah keluarga besar kami, tetapi hanya aku yang merupakan keluarga intinya. Anteh sudah datang dan bersiap ke pemakaman. Mas Neo sedikit menenang ketika aku yang memeluknya, meksipun Om Malik masih memegang tubuhnya dari belakang.
Kami masih menangis sampai di pemakaman dan selesai pemakaman. Ketika malam harinya, Mas Neo mengunci di kamar. Ia tak ingin membuka pintu pada siapapun. Kami memang diajarkan oleh mama dan papa untuk membiarkan seseorang menikmati ruang sendirinya terlebih dahulu. Aku pun juga sama. Aku mengunci diriku di kamar seharian. Menangisi ini semua selama semalaman sampai air mataku tak dapat lagi keluar. Mungkin sekarang aku dehidrasi, tetapi tak ada yang dapat kulakukan selain meluapkan ini semua. Anteh masih berada di sini denganku. Om Malik, Anteh Vintha, Tante Fitri, dan saudara-saudara yang lainnya membujuk aku dan Mas Neo keluar dari kamar kami masing-masing, tetapi aku masih belum bisa.
Sampai akhirnya, mereka membukanya memakai kunci cadangan, melihatku dengan mata sembab dan tubuh lemah karena dehidrasi. Langsung saja mereka memelukku, memberikanku minum, dan menjagaku agar tidak seperti ini lagi. Mereka juga membuka kamar Mas Neo. Mas Neo terlihat sangat berbeda. Tatapannya kosong. Benar-benar kosong tanpa isi sedikit pun. Aku yakin, Mas Neo pasti depresi berat. Aku pernah belajar sedikit tentang itu. Untung aku tahu tentang depresi sedikit, jadi aku dapat menghindar dari itu.
"Neo!" Bahkan ia tak mendengar panggilan dari Om Malik.
Mereka semua mencoba menenangkan Mas Neo, namun ia masih saja seperti itu dan tidak berbicara, tidak nafsu makan, dan tatapannya masih sangat kosong. Akhirnya, Om Malik, Anteh Vintha, dan Tante Fitri membawa Mas Neo ke dokter. Mereka juga membawaku ke dokter karena takut melakukan hal yang sama dengan Mas Neo. Entahlah, aku ikut saja. Otakku tak dapat berpikir. Aku juga sama seperti Mas Neo, tetapi tidak separah dia.
Di dokter umum, kami diperiksa sebentar, lalu ia malah memberikan surat pengantar untuk pergi ke psikiater. Karena biaya psikiater cukup mahal, jadi kali ini Anteh Vintha yang bayar. Di sana, aku dan Mas Neo ditanyakan beberapa hal. Ia juga menyuruh aku dan Mas Neo untuk membalikkan lengan kami dan memperlihatkan pergelangan tangan kami. Aku tidak melakukan cutting, tetapi ternyata Mas Neo iya. Tidak terlihat karena ia selalu memakai baju panjang. Ia memberikan aku sejenis obat antidepresan, sedangkan Mas Neo disuruh menginap beberapa hari atau bahkan lebih dari seminggu sampai depresinya membaik. Tadinya aku sempat menolak. Aku tak ingin dipisah dari Mas Neo karena ia satu-satunya keluarga intiku. Namun, kondisi Mas Neo sungguh sangat buruk. Jika didiamkan, ia bisa saja bunuh diri kapanpun. Tidak. Lebih baik aku dipisah dengannya beberapa minggu daripada aku harus kehilangan keluargaku lagi.
Selama tiga minggu, Mas Neo berada di rumah sakit dan diberi perawatan khusus. Tiga hari sekali aku pergi ke sana bersama Om Malik atau Tante Fitri dan suaminya karena Anteh harus pulang ke Jakarta. Setiap aku ke sana, ia semakin membaik. Ia memelukku sambil menangis. Menurut dokter, itu adalah sebuah kemajuan karena ia dapat kembali merasakan perasaan. Ia izin dari sekolah selama sebulan. Padahal, sebulan lagi ia langsung ujian kenaikan kelas. Sisa seminggu dari izin sekolahnya, ia manfaatkan untuk belajar dan mengejar ketinggalannya selama tiga minggu. Karena kami hanya beda setahun, jadi aku membantunya karena aku juga akan belajar ini tahun depan. Ia bercerita betapa tersiksanya berada di sana selama 3 minggu. Meskipun perawat dan dokternya baik, tetapi tetap saja ia benci jika dibilang bahwa ia sakit. Ia tidak sakit, hanya keadaannya saja yang memaksa Mas Neo menjadi seperti itu.
Seminggu sebelum ia masuk sekolah, Anteh Vintha kembali datang untuk membicarakan sesuatu dengan Om Malik dan Tante Fitri. Aku yang sedang belajar bersama di kamar Mas Neo dipanggil ke ruang tamu dan duduk bersama mereka berlima bersama suami Tante Fitri dan suami Anteh Vintha.
"Sebelumnya, mohon maaf kalau saya ke sini dengan tujuan lain. Dari apa yang almarhum kakak aku bilang, Nia dan Neo mau kuliah di Jakarta. Di Jakarta itu sangat berpeluang buat mereka capai impian mereka. Misalkan kuliah kedokteran, itu lulusan universitas di Jakarta pasti lebih dilirik. Jurusan Psikologi yang Nia mau juga sama, lebih berpeluang. Di Jakarta, pendidikannya lebih maju. Mereka akan bertemu relasi yang lebih banyak. Terus di sini mereka juga belum punya wali yang menggantikan orang tua mereka kan? Secara hukum perdata, kalian belum bisa jadi walinya. Tentu karena Mas Malik belum menikah dan Mba Fitri baru menikah 3 tahun, sedangkan untuk menjadi orang tua asuh minimal 5 tahun menikah dan belum mempunyai anak atau hanya mempunyai satu anak," penjelasan Anteh Vintha berniat membawaku dan Mas Neo ke Jakarta. Aku dan Mas Neo langsung bertatapan. Entah kami harus senang atau sedih. Senang karena kami semakin dekat dengan impian kami, namun juga sedih karena harus berpisah dengan semua keluarga yang ada di sini.
"Anak-anak dari adiknya ibu aku juga bisa kok jadi orang tua asuh mereka. Kita semua di sini bisa jadi orang tua asuh mereka," penolakkan Tante Fitri.
"Bukan begitu, tapi ini orang tua asuh resmi yang memerlukan dokumen. Kalau anak-anak dari ibu kalian itu terlalu jauh hubungan darahnya dengan Nia dan Neo. Mereka berdua juga akan lebih berkembang di Jakarta."
"Tapi semua keluarganya ada di sini. Di sana nanti mereka sama siapa? Kan kalian pasti sibuk kerja"
"Sama aku dan Mas Willy. Di sana juga banyak pembantu rumah tangga yang siap merawat dan menjaga mereka."
"Mereka butuhnya keluarga, bukan pembantu." Suasana mulai panas di sini. Aku dan Mas Neo tidak ingin menambah panas situasi, maka kami hanya diam dan menyaksikan mereka.
"Iya, tapi coba deh pikirin masa depan mereka. Neo itu mau jadi dokter loh. Sangat banyak saingannya. Apalagi Nia. Psikolog di Jakarta tuh sangat banyak lowongan kerjanya, bukan hanya sebagai praktik, tetapi juga bisa HRD, setiap perusahaan butuh lulusan psikolog."
"Impian tuh bukan hanya dunia. Berkumpul bersama keluarga juga itu impian dunia dan akhirat!"
"Iya, saya tahu. Namun, alangkah baiknya kalau kita juga memikirkan apa yang mereka cita-citakan. Pasti mereka juga gak akan lupa sama keluarganya yang di sini. Mereka bisa kapan aja balik ke sini meskipun mereka tinggal di Jakarta. Kalau mereka di sini terus, mereka malah gak pernah menginjakkan kaki ke Jakarta."
"Mereka juga bisa kok ke Jakarta sekarang juga!"
"Bukan hanya ke Jakarta! Mereka akan tinggal di Jakarta!"
"Gak bisa gitu dong!"
"Almarhumah Mba Nini itu satu-satunya keluarga yang saya punya seumur hidup saya! Sekarang dia udah gak ada, terus saya hanya sendiri di sana! Saya juga butuh sesuatu lain yang masih bersangkutan dengan Mba Nini. Mereka itu satu-satunya hal yang akan membuat saya selalu ingat dengan Mba Nini. Membalas semua jasanya yang selama ini menghidupi saya. Biarkan saya membalas budi kepada kakak saya!" Emosi Anteh meluap sampai keluar air mata. Aku dan Mas Neo jadi tidak tega. Jika saja aku dan Mas Neo pergi, keluarga di sini masih memiliki banyak saudara, tetapi jika aku dan Mas Neo tetap di sini, Anteh akan sendirian di sana. Tidak ada orang yang memiliki hubungan darah dengannya. Sepertinya aku dan Mas Neo harus ikut dengan Anteh. Alasan Anteh mengajak kami ke sana juga sangat logis. Kami akan lebih berkembang di sana.
"Tanya anaknya saja lah!" Tante Fitri dan Om Malik sepertinya sudah tak bisa berkata-kata lagi. Mereka langsung menatap ke arah aku dan Mas Neo.
"Kalian berdua gimana? Mau ikut Anteh kalian di Jakarta sendirian atau terus bersama-sama keluarga kalian di sini?" Ini pertanyaan yang sangat sulit. Aku harus berkoordinasi terlebih dulu dengan Mas Neo.
"Enggak sekarang jawabannya. Aku sama Nia juga perlu berpikir."
"Kita tunggu sampai besok," putus Om Malik lalu pergi dari ruang tamu kembali ke rumahnya.
Aku yakin jika aku memilih salah satu, hubungan keduanya akan hancur. Namun, apalagi yang harus aku lakukan selain memilih? Ma, Pa, mengapa kalian meninggalkan kami dengan keadaan yang seperti ini? Tak ada kesiapan sama sekali dalam diri kami akan ditinggal dengan kalian.
Malam ini, aku tidur bersama Mas Neo dan membicarakan tentang ini semalaman. Keputusan kami ternyata sama, ikut dengan Anteh. Kami sudah berada di sini selama 16 dan 17 tahun. Tak selamanya kami akan terus berada di sini dan bergantung pada mereka yang ada di sekeliling kami. Kami harus selangkah lebih maju meninggalkan zona nyaman dan berusaha memulai dari 0 untuk menggapai apa yang kami cita-citakan di Jakarta. Semoga ini adalah keputusan yang terbaik untuk kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Kesalahan
General FictionBagaimana jika kamu terlahir sebagai anak hasil inbreeding kesalahan kedua orang tuamu di masa lalu? Mariera Valinea Althaf, biasanya dipanggil Era. Bocah kecil berumur 12 tahun yang mengalami CIPA, penyakit langka yang tidak bisa merasakan sakit. N...