Anteh (4)

99 10 0
                                    

Sekiranya aku menghabiskan waktu setengah jam di luar rumah sendirian. Mereka sama sekali tak mengangguku atau menyuruhku masuk ke rumah. Mungkin menurut mereka ruang sendiri itu sangatlah penting, jadi mereka tak ingin menganggu gugat jika seseorang ingin menikmati ruang sendirinya. Mereka tidak ada di ruang tamu, sepertinya mereka di kamar. Lalu aku membuka pintu kamar, ada ayah sedang tidur, tidak ada bunda. Di mana dia? Dapur? Hmm. Okelah, aku ke dapur. Namun, sayangnya, aku tak menemukan jejak bunda di dapur. Suasana di rumah terdengar sangat sepi, tetapi ada suara yang menarikku untuk menghampirinya. Suara keran wastafel di kamar mandi. Langkahku perlahan mendekat ke arah pintu kamar mandi dan berdiri di sana menunggu seseorang keluar dari kamar mandi. 

Kira-kira 2 menit aku menunggu, akhirnya bunda keluar juga dari kamar mandi dengan mata yang sembab, namun tak ada air mata di kelopak matanya. Ia sangat kaget melihatku yang berdiri menatap ke arahnya. Ia langsung menyembunyikan tangannya ke belakang dan memberikan senyum manisnya kepadaku. 

 "Eh, Era. Udahan ruang sendirinya?" Seakan tak ada apa-apa. 

"Iya, aku mau pipis." Tanpa basa-basi lagi, aku masuk ke kamar mandi lalu mengunci pintunya. 

Dugaanku benar, aku melihat silet di atas wastafel dan titik-titik darah di wastafel yang tidak tersapu aliran air. Bunda, kamu tidak perlu menutup-nutupi ini lagi.Kugenggam benda ini lalu membuka pintu kamar mandi menyusul bunda yang masih berjalan menjauh dari kamar mandi. 

 "Bunda," panggilku sambil berjalan cepat menghampirinya. Ia pun menoleh ke arahku dan berhenti berjalan.

"Iya, sayang. Kenapa?" Lagi-lagi seakan tidak ada apapun yang baru saja terjadi.

Aku menarik tangan kiri bunda, membalikannya. Terlihat luka sayatan baru yang masih mengeluarkan titik-titik darah halus. Sama seperti yang ada di film. Lalu aku menaruh siletnya di telapak tangan bunda. 

"Punya bunda ketinggalan di kamar mandi." Aku menatapnya sejenak lalu pergi menjauh darinya, namun tiba-tiba bunda mengenggam tanganku dan melarangku pergi. 

"Tau apa kamu, Era?" Barulah air mata itu mulai menggenang kembali di kelopak mata bunda. 

"Aku tau dari apa yang aku liat, Bun." Aku juga menatap matanya kembali. 

 "Gara-gara temen kamu itu kan! Kamu udah salah pergaulan, Era! Aku gak suka kayak gini!" Bunda mulai meneriakkan amarahnya.

 "Bunda ngelarang aku temenan sama Keenan karena bunda gak mau aku tau ini ya? Keenan gak ngasih bahaya apapun, sebaliknya aku malah merasa aman sama dia!" 

 "Kok kamu lebih bela dia sih!" 

 "Aku gak belain dia! Aku cuma mau tau selama ini bunda sama ayah tuh kenapa kayak menutup-nutupi sesuatu dari aku! Dari aku kecil!" 

 "Gak semua yang terjadi di dunia itu harus kamu tau, Ra!" 

 "Tapi kalo menyangkut aku ya aku harus tau dong!"

 "Ya enggak sekarang! Ada saatnya nanti!" 

 "Kapan, Bun!" 

 "Ya nanti!" 

 "Terserah, aku capek!" Aku berlari masuk ke dalam kamar dan menguncinya. Jantung ini masih berdegup cepat dengan air mata yang masih membendung. 

 Ayah masih saja tidur di kamar. Ia tidak mungkin tidur secepat ini kalau tadi di mobil tingkat kecemasannya sangat tinggi atau jangan-jangan, sama seperti apa yang ada di film kalau ayah meminum obat penenang. Ayah dan bunda selalu minum obat yang sama ketika mereka ada masalah atau aku terluka. Setelah meminum obat itu, mereka jadi jauh lebih tenang dan pergi ke kamar untuk tidur. Aku harus mencari obat itu di mana. Membongkar kamar secara perlahan agar tak membangunkan ayah. Sampai akhirnya aku menemukannya di tas ayah. Nama obatnya adalah Diazepam. Karena aku tidak tahu obat ini apa dan tidak bisa memutuskan bahwa ini adalah obat penenang yang sama dengan film, aku mencari infonya lebih lanjut dari Google.

Sebuah KesalahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang