Kehidupan baru (3)

115 10 0
                                    

Pada pagi harinya, aku terbangun lebih dulu dari Mas Neo. Ia masih tertidur lelap di sebelahku. Hmm, apa nanti kami akan seperti ini? Atau malah berpisah memilih kehidupan masing-masing bersama pasangan masing-masing ya? Jakarta adalah ibu kota dengan berbagai macam orang dari luar daerah. Baiklah, tak apa. Aku akan menjalaninya seperti apa yang ditakdirkan oleh Tuhan. Aku membangunkannya lalu kami keluar dari kamar. Aku melihat Anteh Vintha dan suaminya, Om Willy, sedang mengobrol di sofa. Mereka menyadari keberadaan kami di depannya, lalu menyuruh kami untuk duduk di sampingnya. 

 "Gimana? Udah ambil keputusannya?" Tanya Anteh dengan wajah yang tak ada harapan. 

"Udah, An." 

 "Semoga itu yang terbaik untuk kalian ya." Senyumnya benar-benar hopeless. Kami memilih bersama Anteh. Jangan menggunakan tatapan itu, Anteh. 

 Tak lama kemudian, semua keluarga berkumpul di rumahku, termasuk nenek dari ayah dan adik-adik dari nenek beserta sepupu lainnya untuk mengetahui jawaban aku dan Mas Neo. Kami tidak tahu jika urusannya akan seserius ini. Aku dan Mas Neo jadi takut untuk memilih Anteh, namun keputusan kami sudah bulat. Wajah mereka sangat yakin kalau aku dan Mas Neo memilih untuk tetap bersama mereka. Tuhan, tolong kami berdua. Semoga ini adalah yang terbaik. Semoga ini jalan yang sesuai. 

 "Kalian udah tau jawabannya?" Tante Fitri menatap mata kami seakan meyakini bahwa kami harus tetap berada di sini.

Tanpa menjawab dengan verbal, kami menjawab dengan anggukan. Mereka membuat lingkaran sekitar kami. 

 "Jadi, Vania dan Lineo, kalian memilih untuk ikut siapa?" Om Malik langsung pada pertanyaan utama membuat aku dan Mas Neo gelagapan sendiri. Aku menyenggol tangan Mas Neo untuk mewakilkan jawabannya. 

 "Semuanya, aku dan Nia udah ngomongin ini semalaman. Semoga kalian bisa hargain keputusan kita yang sedikit mendadak ini. Kita gak cuma mikir satu sisi, kita juga mikir untuk ke depannya gimana. Aku dan Nia harap ini hanyalah sekadar keputusan biasa yang gak akan mengubah apapun. Tolong maklumi." Mas Neo terlihat gugup dan takut salah dengan keputusan yang sudah kami buat. Mereka menatap ke arah kami dengan sangat serius. 

 "Aku dan Nia milih ikut Anteh Vintha ke Jakarta," putusnya dengan tegas meskipun terlihat sekali keringat mengucur dari dahinya. 

Tatapan mereka semua berubah. Dari yakin, menjadi terheran-heran. Aku dan Mas Neo hanya menunduk dan takut salah. Anteh Vintha tersenyum sangat manis padaku dan Mas Neo, sedangkan keluarga ayah benar-benar tak percaya dan menatap kami sebagai seorang pengkhianat.

 "Kalian 17 tahun di sini loh," sindir Mba Sera, anak dari adiknya nenek. 

 "Iya. Ini zona nyaman aku dan Nia. Maka dari itu kita mau keluar dari zona nyaman untuk menggapai apa yang kita impikan, tapi jangan khawatir, kita akan selalu ke sini kok buat ketemu kalian." 

 "Ya udah kalo kalian lebih milih impian daripada keluarga. Beresin barang-barang kalian." Om Malik berdiri dari duduknya lalu keluar dari rumah lalu disusul oleh anggota keluarga yang lain. Oh Tuhan, sepertinya ini adalah keputusan yang sangat tidak direstui oleh mereka. 

 "Jangan khawatir, kita sama kalian kok. Kita bakal terus ada buat kalian. Meskipun seandainya kalian gak milih aku." Anteh Vintha menenangkan kami. Sepertinya kami memilih sesuatu yang benar. 

 Akhirnya, aku dan Mas Neo membereskan barang-barang kami lalu memasukkannya ke mobil Om Willy. Kami berpamitan pada keluarga kami yang ada di sini, meskipun mereka menerima pamitan kami, tetapi ekspresi mereka menunjukkan seakan kami adalah seorang pengkhianat di keluarga ini. Padahal, mereka tinggal merestui kami untuk pergi sementara, tidak selamanya. Antara mereka yang terlalu menyayangi kami atau apa. Aku tidak tahu, tetapi aku sakit melihat mereka yang memandang aku dan Mas Neo dengan pandangan seperti itu. Entahlah, aku pikir sepertinya aku dan Mas Neo sudah terlepas dari sini dan tidak diperbolehkan kembali. 

Sebuah KesalahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang