Adik

138 8 1
                                    

Seminggu ditinggal Mas Neo, aku masih dalam masa beradaptasi. Masih menangis tiap malam dan terkadang juga tidur di kamar Mas Neo. Berharap ini adalah sebuah candaan, lalu ketika aku membuka mata, ia di depanku sambil tersenyum dan menegcup bibirku lagi. Namun, hidup tidak semudah itu. Aku harus menjalani hari-hariku sebagai 'kakak' yang akan menerima 'adik baru' di kehidupanku dan merawatnya sebagai bentuk tanggung jawab. Setidaknya, aku mempunyai 'adik' dari seseorang yang memang aku sayang dan ingin menghabiskan sisa hidupnya denganku meskipun hubungan kami 'terlarang'.

 Masih sering merasakan mual, kram perut, dan gejala-gejala ibu hamil pada umumnya. Sebenarnya aku sangat benci dipanggil 'ibu' karena umurku masih 18 dan sebentar lagi 19. Aku hanya berdua dengan Anteh di rumah. Ia mengajariku beberapa ilmu-ilmu parenting dari buku yang ia beli. Ia juga mengajariku caranya memasak, mencuci, dan lain-lain. Sebenarnya, kami sama-sama belajar karena Anteh juga baru kali ini menjadi ibu rumah tangga yang akan mempunyai 'cucu'. Perceraiannya dengan Om Willy sudah selesai, ia malah senang karena tak perlu lagi memusingkan soal perusahaan yang tak ada habisnya. Setidaknya ia masih mempunyai cukup uang untuk menghidupi kami semua. Otak Anteh juga berjalan lancar yaitu menginvestasikan hartanya untuk sesuatu yang juga menghasilkan uang seperti menyewakan kontrakan dan membeli apartemen. Aku bahagai setidaknya masih dapat merasakan masa muda meskipun dengan adanya kandungan ini. Mas Neo pulang dua bulan sampai tiga bulan sekali untuk menjengukku dan 'adiknya' ini. Apalagi ketika ulang tahunku ke-19 yang bertepatan dengan 7 bulanan bayi ini. Sudah dapat diperiksa jenis kelaminnya serta jika ada kecacatan dalam dirinya. Tadinya aku dan Mas Neo terlalu takut untuk memeriksanya. Aku takut. Tidak tega jika kesalahan yang telah kuperbuat malah terlampiaskan pada 'adikku' ini. Namun, Anteh terus meyakini dan memotivasi kami kalau kami harus melihatnya. Sekarang atau nanti, kami akan tahu apa yang akan terjadi. 

Akhirnya, kami memeriksanya dengan penuh ketakutan, tetapi kami harus rela dan siap menjaganya apapun yang terjadi. Kami bertemu lagi dengan Dokter Geisha. Anteh yang berkonsultasi dengannya karena aku tidak mengerti ada apa dengan diriku sendiri. Mas Neo tidak boleh masuk, ia harus menunggu di luar. Anteh menjelaskan keseharianku dan perkembanganku. Mungkin terlihat sejak pertama kali ke sini dan sekarang terasa sedikit berbeda. Aku seperti lebih menerima adikku ini. Ya mau bagaimana lagi? Jika aku menolaknya juga ia takkan hilang. Ia tetap berada di sini. Jika ia hilang atas kehendak diriku sendiri, penyesalan lah yang akan terus berada dalam jiwaku selamanya. D

okter Geisha menyuruhku berbaring di kasur yang telah disediakan untuk memulai USG-nya. Tampilan dari calon bayi ini akan ada di monitor dan kami semua dapat melihatnya. Ketika di USG, aku hanya menutup mata. Aku tak ingin melihatnya jika ada sesuatu yang salah padanya. Sangat tidak tega diriku yang telah menyakitinya sebelum ia terlahir ke dunia. 

 "Silakan dilihat anaknya, Bun," perintah dokternya, tetapi aku tetap memalingkan wajah dan menutup mataku dengan kedua tangan. 

 "Nia, Nia dilihat dong. Baik-baik aja kok." Benarkah?Dengan masih sedikit keraguan, akhirnya aku membuka mataku dan melihat ke monitor USG. Aku melihat bentuk bayinya secara jelas. Bahkan, aku dapat melihat sedikit pergerakan darinya yang entah mengapa membuatku seketika menangis. Manusia setega apa yang berniat untuk membunuh makhluk seindah ini? Lekukan tubuhnya yang sempurna menyayat hatiku teringat pengalaman masa lalu yang selalu berasumsi negatif padanya. 

 "Calon bayinya baik-baik aja kok, Bunda. Anggota tubuhnya sempurna. Tidak terlihat kecacatan. Organnya lengkap, jantungku berdetak normal, kakinya tidak pengkor atau club foot, bibirnya juga tidak sumbing, dan langit-langit mulut aman." Puji syukurku tak dapat terucap lagi. Terima kasih, Ya Tuhan. Engkau memberikanku mukjizat yang cukup besar. 

"Syukurlah." Anteh mengelus-elus rambutku yang masih berbaring sambil menangis haru di kasur ini. 

 "Untuk jenis kelaminnya apa, Dok?" Kali ini aku berani bertanya. Dokter Geisha melihat pada monitornya dengan sangat fokus. 

 "Perempuan, Bu." Ahhhh, bahagia rasanya jika ia adalah seorang perempuan. Akhirnya, aku dapat mempunyai teman main nanti. Kami hanya berbeda 19 tahun. Setelah selesai periksa USG, kami kembali ke kursi. Dokter mencatat hasil-hasil yang sudah ia temukan. 

 "Oh iya, Dok. Kalau tadi secara fisik, sempurna semua ya, Dok?" 

 "Iya, Bunda. Bayinya juga sehat." 

 "Kalau kecacatan fisik dapat dilihat ketika bayi, apakah kecacatan mental dapat dilihat ketika bayi juga?" Anteh... seketika kamu membuatku jatuh sejatuh-jatuhnya. Bagaimana jika terdapat kecacatan mental atau IQ yang sangat rendah karena kekurangan gen yang beragam dalam tubuhnya? 

 "Itu dapat dilihat ketika sudah lahir, Bunda. Kecacatan mental yang paling sering terjadi adalah down syndrome, terjadi karena kondisi kelainan kromosom. Itu dapat dilihat langsung ketika bayi sudah terlahir di dunia. Setelah kelahiran juga bunda pasti selalu kontrol untuk kesehatan bayinya. Jadi, bunda tidak usah terlalu khawatir." Bagaimana caranya tidak usah khawatir? Peluang kecacatannya sangat tinggi! 

 "Kalo albinisme bagaimana, Dok?" 

 "Albinisme itu defisiensi pigmen warna kulit. Namun, jika orang tuanya memiliki pigmen kulit yang normal, niscaya ia tidak akan terkena kelainan tersebut." Kami memang memiliki kulit yang normal, tetapi bukankah dia mengambil gen resesif dalam tubuh kami? 

 "Ada hubungannya dengan kesehatan mental orang tua yang lemah?" Aku jadi ikut penasaran. 

"Mungkin dapat menjadi faktor. Sebaiknya dalam masa kehamilan ini, bunda sering berinteraksi dengan sang bayi, jangan mengonsumsi obat-obatan yang tidak diperlukan. Secara psikologis, bayi akan lebih siap menghadapi dunia karena ia berpikir kalau ia memiliki malaikat pelindungnya yaitu bunda dan ayahnya." Aku tersentuh. Selama ini, jika aku sedang depresi, panik, atau setres, aku meminum obat penenang, sama seperti Mas Neo. Aku semakin khawatir dengan bayi ini. 

 "Ya sudah, Dok. Terima kasih banyak ya. Kami pamit dulu." Anteh berdiri dari kursinya dan mengajakku keluar ruangan. 

 "Iya. Mari saya antar ke depan, Bu. Jangan lupa kalau sudah merasa mulas, langsung ke UGD ya." Ia ikut mengantarkan kami ke depan pintu ruangan. 

 "Iya, Dokter. Terima kasih."

Di luar ruangan, Mas Neo yang melihat pintunya terbuka langsung menghampiri kami. 

"Gimana?" 

 "Oh, ini calon ayahnya ya? Wah, mirip sekali dengan bundanya," ujar dokter seakan tak ada apapun. Padahal, ia sudah tahu bahwa ini adalah anak di luar nikah. Menjadi dokter itu sangat hebat ya. Harus tahan dari stigma-stigma negatif yang dapat menyakiti pasien. Salut. Semoga Mas Neo dapat seperti itu nantinya. 

 "Hehe, iya, Dok. Terima kasih." Anteh mengajak kami semua ke kasir untuk pembayaran sebelum pulang karena kami takut ada pertanyana-pertanyaan asing yang akan kami terima meskipun aku tahu dokter takkan sejahat itu. 

 Sambil menunggu antrian kasir, aku dan Anteh menceritakan tentang apa yang terjadi di dalam. Semua baik-baik saja. Hanya saja tinggal mental yang tidak bisa diperiksa. Aku harap semua akan baik-baik saja. Ia lahir dengan mental yang sehat dan kuat. Meskipun sedikit tidak mungkin karena dalam gen aku dan Mas Neo, kesehatan mental kami sangat lemah dan anak yang lahir dari perkawinan sedarah akan mengambil gen yang resesif dalam tubuh kami berdua.

Sebuah KesalahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang