Anteh

134 13 0
                                    

Selesai makan, barulah kami pulang ke rumah masing-masing. Ketika di jalan, Anteh ditelepon oleh seorang rekan kerjanya dan disuruh ke kantornya sekarang. Jadi, saat aku sampai di rumah, Anteh tidak main dulu ke rumah, ia langsung pergi ke kantornya. Barulah di rumah aku menceritakan semuanya pada ayah dan bunda yang sedang bersantai sambil meminum teh di ruang tamu. Aku ikut senang karena semakin ke sini mereka semakin santai denganku. Mereka tidak sekhawatir dulu dan sudah mulai menerima keadaan bila aku memang sudah seharusnya bebas seperti anak-anak lain, tidak terlalu dikekang seperti sebuah kesalahan. Mandi, ganti baju, rapih-rapih, barulah menghampiri mereka dan nimbrung dengan mereka yang masih bersantai. Aku bercerita tentang apa saja yang aku dapatkan hari ini. Klimaksnya adalah ketika aku diajak nonton genre thriller pertama kalinya dengan teman. Tak ketinggalan juga aku bercerita tentang alur dari film tersebut dan beberapa adegan yang tak asing di ingatanku, serta makna dari cutting, obat antidepresan, juga psikiater. Namun, semakin lama wajah mereka semakin tegang, bahkan teh hangat yang mereka seruput secara perlahan, sudah mulai mendingin karena mereka diamkan di atas meja. 

 "Kamu jangan temenan lagi sama dia. Aku gak mau kamu main sama dia lagi. Pokoknya, pas kelas tetap dan ternyata kamu sekelas lagi, jangan duduk sama dia! Dari awal aku udah gak suka liat dia yang gayanya kayak gitu. Ternyata bener kan, dia itu ngasih hal yang buruk buat kamu. Aku gak suka." Ayah melarangku berteman dengan Keenan. 

 "Yah, ayah. Dia baik kok. Dia gak macem-macem juga. Mungkin emang orangnya kayak gitu. Anteh juga tadinya kayak gitu, tapi dia udah temenan sama Keenan sekarang." 

 "Enggak! Aku gak setuju! Kamu sama dia itu berlawanan tau gak sih! Dia itu memancing bahaya. Kalo kamu sama dia, sama aja kamu mancing diri kamu buat masuk dalam bahaya!" Latar belakang ayah bicara seperti ini karena ayah khawatir denganku. Hmm, padahal Keenan adalah anak baik. Namun, ya bagaimana lagi jika ayah dan bunda sudah melarangku? Aku bisa apa? Melawan mereka? Kalau tidak ada mereka, aku juga takkan tercipta. Aku harus taat dengan perintah mereka meksipun itu menyakitkan.

 "Iya, Ra. Jangan. Bahaya. Kalo kamu diajarin kayak gitu gimana?" Tambah bunda.

 "Ya enggaklah, Bun. Dia gak mungkin sejahat itu." 

 "Tetep aja! Kita gak tau kan orang kayak gimana. Jangan macem-macem. Udah aku bilang dari awal jangan macem-macem!" Lalu ayah berdiri dari sofa dengan ekspresi yang marah. Bunda berusaha menenangkan ayah dengan ikut berdiri dan merangkulnya. 

 "Iya, maaf." 

 "Yang kemarin kan orangnya? Sini biar ayah samperin dia biar gak temenan lagi sama kamu!" 

"Gak usah, Ayah! Tanpa ayah samperin juga aku turutin ayah kok buat gak temenan sama dia! Gak usah kayak gitu!" Tolakku. Baru saja aku bilang kalau mereka sudah mulai membebaskanku, tetapi ternyata aku salah. Mereka sama saja seperti dulu. Iya, memang mereka khawatir denganku, tetapi jika sudah menyusahkan orang lain dengan pemikirian negatif mereka sendiri, sepertinya itu sudah melewati batas. 

 Selama 2 hari sampai aku kembali masuk ke sekolah dengan kelas tetap yang pastinya dengan teman-teman berbeda pula, aku masih memikirkan apa yang akan aku katakan pada Keenan kalau tiba-tiba aku harus menjauh darinya. Ini sedikit tidak masuk akal atau aku yang belum mengerti apa artinya bahaya. Namun, semoga aku tidak sekelas dengannya agar ada alasan untuk menjauh. 

 Pada hari Senin, seperti biasa aku diantar ayah. Ia menyuruhku untuk berjanji bahwa aku tidak boleh berteman lagi dengan Keenan. Terpaksa aku iya kan saja permintaanya. Karena hari ini kelasnya diacak lagi, jadi aku harus mencari namaku di kertas yang ditempel di jendela tiap ruang kelas 7. Aku menemukan namaku ada di kelas 74, sayangnya aku sekelas lagi dengan Keenan. Ramalannya benar. Atau jangan-jangan ia curang ya. Ia kan pernah bilang kalau papanya ketua tata usaha sekolah ini. Dasar Keenan. Ketika aku masuk kelas, aku melihatnya lagi. Tumben, biasanya ia datang terlambat. Apa karena ini hari pertama sekolah ya? Ia menempatkan tasnya di samping kursinya. Apa itu kursi untukku? Wajahnya tersenyum ketika aku datang. Lalu aku berjalan mendekat padanya. Ia menarik tasnya dan menggeser tempat duduknya seperti mempersilakan aku untuk duduk di kursi sampingnya, namun sayangnya aku melewatinya dan memilih duduk di kursi belakang bersama satu perempuan yang sedang asyik bermain ponselnya. Keenan terheran-heran dengan apa yang baru saja ia lihat. Ia menoleh ke belakang, tepatnya ke arahku untuk memastikan ada apa denganku, namun aku menghiraukannya dan tetap duduk di samping perempuan ini. 

Sebuah KesalahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang