Kesalahan (2)

166 7 1
                                    

Kami terbangun di keesokan paginya dengan keadaan yang sangat berbeda dari sebelumnya. Aku sudah sering terbangun dengan Nia di hadapanku, tetapi kali ini rasanya sangat berbeda. Aku membangunkannya juga dengan kecupan di bibir yang berlanjut. Aku sangat bersyukur Anteh Vintha dan Om Willy meninggalkan kami berdua di rumahnya yang mewah ini. Aku dan Nia jadi mempunyai banyak waktu berdua yang membuat dunia serasa berhenti hanya untuk aku dan dia.
"Dek Neo, Dek Nia udah pulang belum? Di kamarnya gak ada." Suara Mba Yanti di depan pintu kamarku. Astaga, aku hampir lupa kalau ada orang lain di rumah ini ketika siang hari.Aku langsung membangunkan Nia dan menyuruhnya kembali memakai pakaiannya. 

 "Nia, ayo bangun! Ada Mba Yanti! Pake baju kamu!" Panik. 

"Ehhm? Iya, iya," jawabnya dengan nada lemah dan perlahan-lahan bangun dari tidurnya. 

 "Iya, Mba. Semalam dia di kamar aku." 

 "Oh, ya udah. Itu makanannya udah jadi. Mba mau beresin kamar kamu nih." 

 "Iya, Mba."

Nia masih duduk sambil perlahan memakai pakaiannya kembali dan mengucak matanya. 

 "Ayo, Ni." Aku berdiri dari kasur dan menggandengnya dengan cepat keluar kamar. 

 "Aww, Mas! Pelan-pelan. Aku masih sakit." Ups, maaf. Aku lupa, Nia. 

 "Eh, iya, maaf. Bisa jalan gak?" 

 "Bisa kok, tapi pelan-pelan." 

 "Mau aku gendong gak?" 

 "Enggak usah, Mas." Ia berusaha jalan perlahan-lahan. Maaf jika aku membuatmu sakit, Dek.

Aku dan Nia berjalan perlahan menuju ruang makan untuk makan. Mba Titi sudah menyiapkan nasi dan lauknya di meja makan, sedangkan Mba Yanti sedang membersihkan kamarku. 

 "Kamu kenapa, Nia? Kok jalannya gitu?" Duh, Mba Titi menyadari ada yang berbeda dari Nia. Semoga Nia dapat menjawabnya. 

"Ah, itu. Kemarin abis prom night kaki aku keselo." Sangat bagus, Nia! 

 "Mau Mba pijitin gak?" 

"Enggak usah, Mba. Gak papa kok."

Tak lama dari itu, Mba Yanti berjalan melewati kami sambil membawa seprai kasurku. 

 "Neo, ini seprai kamu kok ada darah?" Astaga! Aku lupa! Aduh! Bagaimana aku menjawabnya! 

"Darah gimana, Mba?" Mba Titi menghampiri Mba Yanti untuk memastikan darah yang ada di sepraiku. Aku dan Nia hanya bertatapan dengan panik. 

 "Eh, sebentar. Kayaknya ini tanggal aku datang bulan deh." Nia, kamu benar-benar adikku yang cerdas! 

 "Kok bisa sebanyak ini, Nia? Terus baju kamu gimana tuh? Belum ganti baju kan?" Uh, di baju Nia tidak ada bercak darah karena semalam ia tidak memakai sehelai benang pun! 

 "Semalam aku bukan pake baju yang ini, Mba. Ada satu luaran baju lagi. Nanti aku cuci dulu deh." 

 "Oh, ya... udah. Nanti diganti aja sepreinya. Lanjutin makan aja kalian." Lalu Mba Yanti membawa sepreinya ke mesin cuci. Huft, tenang. Hampir saja. Duh, Nia. Tidak terbayang kalau suatu saat ketahuan, mungkin aku akan bunuh diri saat itu juga. 

 Setelah makan, aku dan Nia mandi dan berganti baju. Meskipun kamar mandi di rumah ini ada dua, tetapi seandainya tidak ada orang di rumah, pasti aku akan memakai kamar mandi yang sama dengan Nia. Sayang saja ada dua orang di rumah ini. Mungkin kamarku benar-benar berantakan ya, sampai selama ini Mba Yanti membereskan kamarku. Ya... bagaimana bisa 'tidak berantakan' jika keadaanya seperti semalam. Takkan kulupakan masa-masa malam kemarin. Masa terindah yang akan selalu aku kenang bersama adikku ini. Mungkin juga karena usia kami yang sangat dekat, yaitu hanya berbeda satu tahun, jadi rasanya ia bukanlah adikku, melainkan adik kelas atau teman dekat. Jadi, rasanya tidak terlalu tabu jika aku berbuat seperti ini padanya jika orang lain melihat kita tanpa tahu status kekeluargaan kita. 

 Seharian ini, kami hanya di rumah karena Nia masih belum bisa banyak bergerak. Teringat masih ada UMPTN, jadi kami belajar UMPTN di ruang tamu. Cahayanya lebih terang sekaligus kami bisa sambil mendengar lagu dari televisi yang cukup besar di ruang tamu. Kami juga bisa makan cemilan sambil belajar karena kami tidak biasa membawa makanan ke kamar. Ditambah, setelah kejadian semalam, aku tak yakin kalau aku dan Nia akan benar-benar belajar jika berdua di kamar. Semua masih berjalan normal hari ini. Yah, mungkin hanya kekhilafan yang terjadi semalam dan takkan berpengaruh apapun untuk kehidupan aku dan Nia selanjtunya. 

 Ketika malam tiba, Mba Yanti dan Mba Titi sudah pulang. Setelah makan malam di ruang makan, aku dan Nia ingin lanjut berlajar di ruang tamu, tetapi suasana kurang memungkinkan karena cahaya tak lagi seterang ketika siang. Jadi, kami memutuskan untuk belajar bersama di kamarku. Belajar, Neo. Fokus pada pelajaran, bukan belajar bersama siapa. Meskipun jenis soal yang kami pelajari berbeda, tetapi dengannya, soal-soal yang aku pelajari lebih masuk ke otak, yah meskipun terkadang terganggu dengan pemandangan yang aku lihat. 

 Di kamarku, aku membaca buku sambil tiduran di paha Nia. Memang tidak baik untuk mata jika cara belajarnya seperti ini, tetapi aku nyaman dan tak ingin berpindah. Selain tidak aman untuk mata, posisi seperti ini juga tidak aman untuk jantungku yang terus berdegup kencang sampai aku lupa kata terakhir yang aku baca barusan. Aku seperti membaca buku berhalaman kosong karena aku tidak tahu apa yang sedang aku lakukan sekarang. Pikiranku kembali kacau. Akhirnya aku terbangun dari posisi ini dan bersandar bersamanya di dinding. 

 "Kok pindah?" 

 "Aku gak bisa fokus, Dek." 

 "Haha." Loh, kok dia malah tertawa? 

 "Kok ketawa sih?" 

 "Lucu aja, haha. Segitunya sampe gak fokus." Sekarang ia malah meledekku. 

 "Oh, kamu mau nyoba digangguin pas lagi belajar?" Tantangku tersenyum nakal padanya. 

 "Eh, gak gitu." Nia mendorong tubuhku yang mendekat padanya. 

 "Kok kamu nolak?" 

 "Bukan gitu, tapi masih sakit tau!" 

 "Ya gak usah sampe sana kan bisa, Nia." Lalu aku memulainya terlebih dahulu dari bibirnya. Benar dugaanku. Takkan bisa belajar jika berdua di kamar. Sehubungan aku ingin menjadi dokter, seperti ini juga belajar. Belajar bagaimana caranya reproduksi manusia, haha. Terima kasih, Nia telah menjadi percobaan pertama dan terakhirku dalam mempraktikan materi tersebut.

Sampai tiga hari setelahmya, kami selalu 'belajar' malam hari di kamarku. Tak sekali Relevan datang ke rumah dan mengajak Nia kencan, tetapi Nia menolaknya dengan alasan ingin belajar untuk UMPTN. Aku tidak menyuruh Nia untuk menolak Relevan, tetapi itu adalah inisiatif dirinya sendiri. Sekarang adalah malam Jumat, orang-orang bilang ini adalah malam yang indah untuk bercinta. Jadi, aku dan Nia tidak 'belajar' malam ini. Kami benar-benar melakukan itu lagi karena tiga hari kemarin Nia masih tidak ingin mencapai tahap itu. 

 Setelah Mba Yanti dan Mba Titi pulang, aku langsung mengunci pintu rumah, lalu pergi ke kamarku bersama Nia dan tidak lupa juga mengunci pintu kamar. Nia sudah bersiap di kasurku dengan pakaian yang telah ia pilih malam ini. Benar-benar diniatkan ya malam ini. 

 "Kamu cantik banget sih, Dek," pujiku sambil naik ke kasur menghampirinya. Nia tak menjawabnya dan hanya tersenyum sangat menggoda. 

 "Boleh aku bikin tanda?" 

 "Nanti ketauan loh, Mas." 

 "Enggak." 

 "Hmm, iyaudah." Akhirnya aku dapat menandakan bahwa Nia hanya milikku sekarang dan selamanya. Tak ada yang boleh memilikinya lagi. Hanya aku.

Sebuah KesalahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang