Kesalahan (10)

89 7 0
                                    

Sampai malam hari, aku mengurung diri di kamar meskipun Mba Yanti telah mencabut kunci kamarku dan membawanya pulang. Sebelumnya, ia meminta izin untuk menginap karena ia masih tidak percaya padaku, namun aku dapat meyakinkan jika aku tidak apa-apa, sekarang, entah nanti akan bagaimana. 

Malam ini, aku masih saja terbayang soal apa yang Mba Yanti katakan. Aku meminta Mas Neo untuk tidur di kamarku karena aku tak ingin tidur di kamar Mas Neo, bisa-bisa aku muntah lagi. Seperti malam-malam sebelumnya, ia belajar dengan fokus sampai larut malam, sedangkan aku benar-benar tidak mood untuk belajar karena harapanku untuk masuk perguruan tinggi sudah pupus. Sangat pupus. Bahkan aku tak akan mengikuti UMPTN. Aku tak ingin kuliah seperti ini! Tidak bisa! Sebelum anak ini aku gugurkan, aku tak ingin kuliah di manapun. 

 "Eh, kamu gelisah banget kenapa sih?" Mas Neo masih bertanya tentangku yang semakin tidak karuan ini. Rasanya aku ingin menangis ketika ia bertanya itu, tetapi aku tidak boleh mengundang pertanyaan yang lebih dalam. 

 "Kayaknya aku gak bisa ikut UMPTN, Mas. Aku gak ada persiapan kayak Mas." 

 "Bisa!Harus bisa! Ayolah, Nia! Masa iya gak bisa sih? Udah setahun loh kita belajar bareng! Jangan cuma karena kamu gak mood belajar semingguan ini kamu jadi gak ikut UMPTN!" Masalahnya bukan hanya tidak mood, tetapi aku tidak mungkin kuliah sambil mengandung bayi, Mas. Apalagi bayi ini terbuat dari hubungan terlarang. Mau dikata apa oleh orang-orang? Kita bisa dianggep orang gila.

 "Ah, Nia. Kita kan berjuang bersama. Aku gak mau pisah sama kamu! Ayolah. Apa salahnya mencoba, Nia?" Duh, ia sangat membuatku terasa lebih hidup, tetapi apa boleh buat. Ini juga kesalahannya. 

 "Iya, Mas. Aku tidur duluan ya." 

 "Iya, Dek. Selamat tidur." Ia mengecup bibirku lalu menarik selimut untuk menyelimutiku yang sedang mengubah posisi menjadi berbaring. 

 Entah jam berapa sekarang, tetapi aku tertidur ketika lampu sudah dimatikan dan terlihat Mas Neo di hadapanku sedang tertidur lelap. Pikiranku mulai kacau kembali. Bayang-bayang ingin bunuh diri kembali terngiang-ngiang di kepala. Akhirnya aku memutuskan untuk bangkit perlahan dari kasur. Pergi berjalan ke dapur untuk mengambil pisau. Suasana benar-benar gelap, sama seperti kehidupanku sekarang. Terlihat pisau di ujung dekat wastafel. Segera aku berjalan ke sana dan mengambilnya. Menutup mata dan mulai membalikkan ujung pisau yang tajam tersebut ke arahku. Sebaiknya, di mana aku menancapkannya? Leher? Perut? Atau jantung? Sepertinya aku memilih perut. Tempat di mana janin itu berkembang. Jikalau aku tidak mati, pastikan anak ini mati karena aku tak ingin ia terlahir di dunia sebagai anak yang dilahirkan dengan hubungan terlarang dan dikutuk oleh dunia. Tiba-tiba... 

 "Bunda." Suara anak kecil seperti lewat di telingaku dan benar-benar terdengar dengan jelas membuatku membuka mataku dan menangis. Aku sangat tidak punya hati dengan membunuh calon bayi yang tidak bersalah ini. Tentunya surga bukan lagi untukku jika aku membunuhnya. Jikalau ia mati, penyesalanku telah membunuhnya takkan pernah mati. Tuhan, bagaimana ini? Bagaimana jika ia terlahir dengan fisik yang sangat cacat atau kelainan mental parah yang membuat semua orang bertanya-tanya ada apa dengannya. Bagaimana jika mereka semua tahu anak ini terlahir dari hubungan terlarang antara sepasang adik kakak yang gila dan tidak wajar. Aku tidak ingin membunuhnya, aku juga tidak ingin bunuh diriku lagi, tetapi aku juga tidak ingin ia terlahir sebagai anak yang cacat dan membuat hubunganku dan Mas Neo menjadi ancaman. 

 Duduk tergulai lemas di dapur sambil menangis tersedu-sedu. Aku benar-benar telah melakukan sesuatu yang sangat fatal. Bagaimana caranya aku bisa hidup jika terus seperti ini? Terlalu lama menangis membuat kepalaku terasa pusing dan berat. Aku jadi mual, tetapi tidak ingin muntah. Akhirnya aku meminum setegak air, kembali ke kamar, lalu tidur di pelukan Mas Neo. Sedikit menumpahkan tangisan di sana. Berharap Mas Neo tidak bangun dan mendengarnya. Aku jauh lebih tenang seperti ini. Setidaknya, jika 2 hari lagi Mas Neo sudah menyelesaikan UMPTN-nya, masalah ini bukan lagi masalahku sendiri. 

 Dua hari ini, aku benar-benar setres, seperti orang gila, tetapi sangat berbanding terbalik jika ada Mas Neo. Aku tak ingin merusak hari-harinya dan rencananya masuk ke PTN yang ia inginkan gara-gara aku. Ya, meskipun ini juga salahnya, tetapi lebih tepatnya ini salah kami berdua. Mba Yanti terus menasihatiku dan mendukungku sepenuhnya untuk menjaga janin ini meskipun tentunya ini adalah sebuah kesalahan. Ia menceritakan tentang calon bayi ini yang membuatku semakin ragu untuk menggugurkannya. Aku takut. Aku menakuti segala hal yang akan datang. Mama dan papa pastinya akan sangat kecewa padaku. Lalu, bagaimana dengan Anteh? Aku takkan bisa menyembunyikannya sampai 9 bulan. Aku berharap Anteh akan membunuhku karena telah mencoret nama baik keluarga. Jika bunuh diri tidak boleh, kalau dibunuh tidak masalah kan? Aku berharap seseorang akan membunuhku. Entahlah, meskipun aku tidak lagi ingin membunuh diriku sendiri, aku tetap ingin mati. Bagaimanapun caranya, aku ingin segera mati dan meninggalkan dunia ini. 

 Hari ini adalah hari Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Aku dan Mas Neo ada di gedung yang sama, tetapi di ruangan berbeda. Kami sudah persiapan segala perlengkapan. Aku tahu, aku takkan mengisi apapun di sana. Aku benar-benar tidak ada niatan untuk mengikuti ini lagi. Hanya karena Mas Neo, aku masih ikut untuk menyelesaikan ini. Kami diantar oleh Pak Jarit ke tempatnya. 

Di mobil, aku menahan tangisanku yang akan meledak di sana. Takut, gelisah, khawatir, semua tercampur menjadi satu, sama seperti Mas Neo. Bedanya, Mas Neo memang memikirkan kalau ia akan tidak lulus UMPTN lagi, sedangkan aku memikirkan bagaimana caranya aku mengatakan ini pada Mas Neo. Apa reaksinya nanti? Apa ia akan membenciku dan menjauhiku? Lalu aku harus apa? 

 Sesampainya di gedung, Pak Jarit menunggu kami di parkiran karena cukup jauh jika ia harus pulang pergi. Mas Neo menyemangatiku agar dapat mengejarkan soalnya dengan lancar. Padahal, belum tentu aku akan mengerjakannya nanti. Setelah berpisah ruangan dan masuk ke ruangan masing-masing, aku melihat wajah kegelisahan dari teman-teman yang lain. Sayangnya beberbeda dengan wajah kegelisahanku sekarang. Bel tanda mulai mengerjakan berbunyi. Semua berhati-hati mengisi data diri dan jawaban. Aku malah benar-benar mengisi data diri dan jawaban dengan asal. Benar-benar asal. Bahkan aku tak melihat lagi kartu ujianku dan langsung aku isi sesuai apa yang ada di otakku. Ketika membaca soal, aku mengerti jawabannya. Jika saja ini tidak terjadi, aku yakin aku akan mendapatkan perguruan tinggi negeri yang sama dengan Mas Neo, Universitas Udayana, Bali. Sayangnya, hal ini telah terjadi. Kuliah bukan lagi tujuan utamaku saat ini, tetapi mati adalah tujuan utamaku saat ini. Menahan tangis sampai bel tanda kumpulkan berbunyi. Aku yang paling pertama mengumpulkan itu lalu keluar ruangan menunggu Mas Neo di tempat pertama kami bertemu. Aku menyia-nyiakan kesempatanku untuk mendapatkan perguruan tinggi negeri, tetapi yang lebih parah, aku menyia-nyiakan masa depanku untuk hidup dengan kesalahan. 

Hari ini, saat sampai rumah, aku akan mengungkapkan semua hal yang tak dapat diterima akal sehat tersebut. Aku semakin tidak siap untuk ini. 

 "Udah, Dek. Gak papa. Yang penting udah nyoba." Perkataannya ketika melihatku dengan mata berkaca-kaca. Bukan itu, Mas. Bukan itu. Seandainya hanya itu, aku akan bersyukur masih ada alasan untuk hidup. Masih saja seperti ini sampai di mobil bahkan sampai di rumah. Semakin tak karuan. Mas Neo yang masih berpikir bahwa ini terjadi karena aku tak bisa mengerjakan UMPTN pun merangkulku sampai di rumah. 

Begitu masuk rumah, ternyata ada Anteh dan Om Willy yang sedang berkunjung. Aku makin takut dan memantapkan diriku untuk bunuh diri lagi. Aku tak memperdulikan apapun lagi. Ini salah. Sangat salah. Aku tak pantas menginjakkan kaki di bumi ini.

Sebuah KesalahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang