Ketika kandunganku sudah mencapai 40 minggu, aku sudah bersiap-siap untuk persalinan. Jika ibu hamil pada umumnya setres memikirkan bagaimana caranya ia melahirkan, aku sangat setres memikirkan jika ada apa-apa dengan adikku ini. Lagi-lagi, Mas Neo harus pulang.
Selama seminggu sebelum melahirkan, aku terus menangis. Jika ada apa-apa, aku juga selalu memeluk boneka pemberian dari Mas Neo yang kuanggap seperti dirinya sendiri, tak terkecuali saat hujan petir yang membuatku takut setengah mati. Jadi, meskipun Mas Neo ada di sampingku ketika aku sedang proses melahirkan, aku tetap menggenggam erat boneka tersebut. Jika seandainya aku mati, jiwaku ada di boneka ini, sama seperti jiwa Mas Neo. Karena aku tidak boleh meminum obat penenang ketika sedang panik tidak karuan, aku melampiaskannya dengan menyayat sedikit lenganku yang tidak terlihat oleh Anteh. Itu membuatku jauh lebih tenang. Anteh dan Mas Neo selalu di sampingku. Aku memegang erat tangan Mas Neo karena ialah ayah dari bayi ini. Aku tak ingin jika anak ini lahir tanpa ayah di sisinya. Dibantu oleh Dokter Geisha dan para susternya, persalinan ini berjalan dengan lancar. Tak ada yang dapat kulakukan selain berpasrah dan mengikuti instruksi dari Dokter Geisha.
Sampai akhirnya, aku mendengar suara. Suara tangisan bayi yang pada awal masa kehamilan terus berdengung di telingaku dan membuatku depresi. Sekarang, aku mendengar suara itu lagi, lebih jelas, lebih kencang, tetapi ini tidak membuatku depresi. Bahkan, ini membuatku lupa apa itu depresi. Tangisanku tak dapat tertahankan. Aku tak peduli ini adalah anak haram, anak dari hubungan terlarang, atau apapun itu, tetapi ini adalah anugerah dari Tuhan yang terindah. Karya ciptaan Tuhan yang dinantikan semua orang. Semua bayi terlahir sama, apapun latar yang membelakanginya terlahir di dunia. Mereka tetap pantas diberikan kasih sayang dan cinta. Tak habis pikir betapa bodohnya aku ketika aku ingin menggugurkan dia. Aku memeluknya sebentar, sambil menangis haru. Begitu pula Mas Neo yang ikut menangis dan mencium keningku, dan Anteh yang sangat ingin berada di posisiku, tetapi malah aku yang melakukan 'kesalahan' yang indah ini.
Tidak bisa berlama-lama, ia harus diberikan penangan terlebih dahulu. Anteh berpesan untuk mengecek keseluruhan bayinya agar tak ada kecacatan dalam dirinya yang tidak kami ketahui. Aku harap, ia akan baik-baik saja. Namun, jika ternyata ada kecacatan dalam dirinya, aku rela melakukan apapun deminya.
Dua jam telah berlalu, persalinan normalku berangsur melegakan. Mas Neo terus berada di sampingku tanpa pernah melangkah sedetik pun. Dokter kembali sambil membawa 'adikku' yang sudah terbalut bedongan dengan wajah yang cantik. Aku harap kamu tidak apa-apa, sayang.
"Semua normal. Anggota badan lengkap, organ lengkap, tidak terkena kelainan down syndrom. Hanya saja kulitnya terlalu tipis yang membuatnya mudah terluka." Puji syukur pada Tuhan Yang Maha Esa. Mukjizat besar telah Engkau turunkan pada kami. Jika bukan mukjizat dari Engkau, mungkin anak ini sudah terlahir dengan kecacatan hampir 80% dari tubuhnya atau lebih parahnya mati dalam kandungan sejak awal kehamilan. Terima kasih, Tuhan. Aku percaya Engkau selalu ada. Aku berjanji untuk bertanggung jawab pada 'adikku' ini.
Neo's PoV
Sebelum-sebelumnya, aku masih mempunyai pikiran untuk menggugurkan bayi yang dikandung Nia karena sebagai dokter, aku tahu persis apa yang akan aku hadapi sebagai ayah dari anak yang terlahir dari hubungan sedarah. Namun, ketika dokter mengatakan bayinya terlahir dengan anggota badan dan organ yang lengkap serta sehat fisik dan mental, aku benar-benar bersyukur. Aku percaya Tuhan memang ada. Tuhan memberikan mukjizat yang sangat besar pada anak ini sampai aku percaya bahwa suatu saat anak ini akan memberikan dampak yang besar pada dunia. Jika saja anak ini tidak diberikan mukjizat, tentu ia tidak akan bertahan sekuat ini dan selama ini. Terima kasih, Tuhan.
Selama di Bali, aku pun sama seperti Nia. Depresi, meskipun aku tahu Nia akan lebih depresi karena ia yang merasakan bayi itu ada dalam tubuhnya. Namun, sebisa mungkin aku terus fokus pada kuliahku. Di sana, semua serba ketat. Apalagi di Bali pergaulannya cukup bebas dan membuatku harus membentengi diriku sendiri. Harus selalu ingat jika aku mempunyai 'keluarga' di rumah. Tidak boleh melakukan bermacam-macam hal di sini. Sayangnya, pikiranku tentang Nia dan 'adik' kami ditambah mata kuliah dan tugas yang berat membuatku setres. Karena aku tidak mungkin melakukan apa yang dulu aku lakukan yaitu menyayat tanganku, yang pastinya akan terlihat oleh orang lain, jadi aku meminum obat yang aku beli dari apotek. Sekali lagi, Bali sedikit lebih bebas.
"Kita namain dia siapa?"
"Mariera Valinea Althaf." Aku sudah merencanakan nama ini dari jauh-jauh hari. Setidaknya nama ini tidak langsung terpajang dalam batu nisan, melainkan ada wujudnya.
"Apa itu?"
"Mari, dari bahasa Romania yang artinya besar. Era, dari bahasa Jepang yang artinya sebuah kesalahan. Valinea adalah gabungan nama dari Vania dan Lineo, lalu Althaf adalah nama belakang keluarga kita dari papa. Jadi, Mariera Valinea Althaf berarti sebuah kesalahan besar dari Vania dan Lineo Althaf."
"Wow...." Nia tercengang mendengar arti dari nama tersebut. Sama, Aku juga. Terlintas sendiri dalam pikiranku seperti ini.
"Rawat dia baik-baik ya," pesan Anteh.
"Iya." Aku dan Nia sama-sama berjanji untuk merawat sang bayi ini. Era. Aku akan memanggilnya Era. Sesuai dengan latar belakang ia ada di dunia ini. Sebuah kesalahan. Namun, karena pada kenyataannya ia terlahir normal dan terlihat baik-baik saja, aku juga berjanji tidak akan mengonsumsi obat penenangku lagi karena aku sudah tenang apa yang aku khawatirkan sudah terlewati dengan baik.
Sayangnya, aku hanya tiga hari berada di sini bersama Era. Aku ingin berada bersamanya. Tidak tega melihatnya tumbuh tanpa ayah di sampingnya meskipun aku akan kembali setiap dua sampai tiga bulan sekali, tetapi tentunya itu waktu yang kurang bagi anak dan ayah untuk saling dekat. Tak apalah, yang penting aku percaya pada Nia bahwa ia akan menjaga Era dengan baik. Aku jadi tenang untuk meninggalkan mereka di sini. Aku akan berusaha lulus cepat agar dapat cepat berkumpul dengan mereka.
Nia's PoV
Bahagia rasanya dapat mempunyai 'adik' yang mungil dan lucu seperti Era. Kulitnya memang sangat tipis, tetapi halus. Sangat halus. Seringkali aku menyentuhnya dan tak ingin kulepas. Apa yang aku takutkan selama ini akhirnya tidak terjadi. Mama, papa, di sini aku dan Mas Neo sudah memiliki anak yang sehat dan lucu. Maaf, bila anak ini terlahir dari hubungan yang tidak baik, tetapi aku menyayanginya dan karenanya, aku dan Mas Neo akan lebih dapat bersama selamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Kesalahan
General FictionBagaimana jika kamu terlahir sebagai anak hasil inbreeding kesalahan kedua orang tuamu di masa lalu? Mariera Valinea Althaf, biasanya dipanggil Era. Bocah kecil berumur 12 tahun yang mengalami CIPA, penyakit langka yang tidak bisa merasakan sakit. N...