Libur (2)

171 15 0
                                    

Melihat ayah sangat fokus mengurus lukaku, aku jadi semakin merasa bersalah. Sudah berapa banyak kapas, kasa, plester luka, dan obat merah yang ayah gunakan sepanjang aku hidup di dunia? Bahkan plester luka yang kemarin di kakiku karena terbeset bawah lemari belum sembuh. Selesai mengobati luka di kakiku, ia mengecek seluruh tubuhku untuk memastikan tak ada luka lain. Namun, ternyata ada luka besetan dari pisau tersebut di telapak tangan. Tidak terlalu parah, namun cukup mengeluarkan darah meskipun tidak menetes. 

 "Huuhhh." Ayah menghela napas lalu lanjut mengobati lukaku di tangan. Banyak sekali plester luka di tubuhku. 

"Kamu yakin mau masuk negeri dengan keadaan kayak gini?" Pertanyaan ayah seakan membuat harapanku runtuh. 

 "Enggak ada hubungannya, Neo." 

 "Ada, Anteh. Semakin banyak orang, semakin banyak ancaman buat Era." 

 "Kalian terlalu khawatir." 

 "Ya iya, Anteh! Era kan anak kita!" ... Lalu suasana menjadi hening.

 "Iya, tau, tapi berikan kebebasan untuk anak kalian. Dia juga perlu kebebasan." Setuju sama Anteh!Bunda dan ayah masih bertatapan. Air mata tipis melapisi mata indah bunda di pagi hari ini. Lagi dan lagi.... 

 "Nanti kita urus dokumennya ya. Kamu coba aja daftar PPDB online." 

 "Iya, Anteh."Iya, pasti ribet ya ngurus dokumen untuk PPDB SMP. Baiklah, aku siap! Sepertinya bunda dan ayah sudah sedikit merelakan anak tunggalnya ini untuk masuk SMP negeri. 

 "Lain kali, pokoknya hati-hati. Jangan gegabah, Ra. Tubuh kamu rentan terluka karena kulit kamu tipis, jadi gampang berdarah." Penjelasan ayah yang bahkan aku sudah hafal bagaimana nada yang ia gunakan untuk menasihatiku. 

 "Mas, udah mau jam 12 tuh. Gak siap-siap?" Pengalihan bunda dengan nada yang masih serak. Aku sedikit heran dengan bunda. Padahal hampir setiap hari aku mendapatkan luka, tetapi luka sekecil apapun, ia pasti menangis. Maka dari itu, aku harus menjaga dua hal sekaligus. Menjaga agar diriku tidak terluka, serta menjaga bunda agar tidak terluka melihatku terluka. 

 "Neo, sekalian temenin Anteh pulang ya," pinta Anteh. "Iya."Ayah bersiap-siap kembali ke kamar untuk berganti baju dan membawa tas kerjanya. 

Setelah itu, ayah dan Anteh pun pergi menaiki mobil ayah. Tinggal aku dan bunda berdua di rumah. 

 "Kamu di sini dulu ya. Aku mau nyapu. Jangan lupa minum obatnya." Bunda berdiri dari sofa lalu berjalan ke arah sudut ruangan untuk mengambil sapu dan mulai menyapu lantai. 

 "Oke, Bun!" Sehabis minum obat, enaknya aku menonton YouTube di TV! Ketika sedang asyik menonton, tiba-tiba ada suara pecahan barang di belakangku. Sontak aku langsung menoleh ke belakang. Ternyata bunda memecahkan sebuah pajangan dari keramik. Karena aku khawatir dengan bunda seperti bunda mengkhawatirkanku, aku segera berlari ke arahnya. 

 "Bun, gak papa?" 

 "Enggak. Cuma kesenggol aja kok." Lalu ia lanjut merunduk dan mengambil bagian-bagian yang pecah tercecer di lantai. 

 "Jangan di situ, Ra. Nanti pecahannya keinjek," usiran bunda.Aku mengangkat kakiku dan mundur beberapa langkah. Namun, ternyata serpihan itu sudah terinjak sebelumnya ketika aku berlari ke sini dan membuat telapak kakiku berdarah lagi. "Oo...ow...." Bunda melihatnya lalu berdiri menatapku dengan tatapan benci, namun sayang. 

 "CUKUP ERA! Aku capek! Kenapa sih kamu gak pernah nurutin aku buat diam di tempat?! Kalo kayak gini yang ribet juga aku! Kamu gak bisa rasain apa yang aku sama ayah kamu rasain! Udah cukup satu kesalahan, jangan diulang-ulang kayak gitu! Kamu pikir ini gampang?!" Emosi bunda pasti sedang meluap-luap sekarang karena hari ini aku mendapatkan 3 luka sekaligus. 

Sebuah KesalahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang