Malam harinya, Anteh belum keluar dari kamar. Aku jadi takut ada sesuatu yang terjadi pada Anteh. Segera aku dan Mas Neo mengetuk pintu kamarnya. Awalnya, tidak ada jawaban. Kami mencoba memanggil-manggil namanya dan meminta maaf. Akhirnya, ia keluar juga. Dengan mata yang sembab dan wajah memerah, ia mengehela napas dan bertanya.
"Kenapa?"
"Kita... mau minta maaf. Aku dan Nia sadar kalau kita gak tau diri udah sejahat ini sama Anteh padahal Anteh udah memberikan yang terbaik untuk kita. Maaf. Kita gak punya siapa-siapa lagi di sini selain Anteh. Kita juga janji untuk menurut sama Anteh," janji Mas Neo sambil menunduk, begitu pula aku. Anteh masih berdiam diri di tempatnya. Lalu wajah murungnya berganti menjadi senyuman seperti ada harapan baru dalam hidup yang perlu diperbaiki.
"Iya." Anteh memeluk kami berdua seakan tak ingin merelakan kami. Terima kasih telah menjadi orang tua kedua yang sangat baik dan perhatian, meskipun itu takkan pernah menggantikan posisi mama dan papa.
Anteh mengajak kami masuk ke kamarnya untuk berbicara sedikit pada kami. Walaupun kami tinggal di rumah ini sudah hampir 3 tahun, tetapi kami belum pernah memasuki kamar Anteh, sekalipun ketika Anteh tidak ada di rumah. Anteh mengunci kamarnya. Saat kami memasuki kamarnya, semua terasa normal-normal saja. Hanya saja, banyak foto-foto yang terpajang di dinding kamarnya. Foto keluarganya bersama orang tuanya, foto bersama mama, foto pernikahannya dengan Om Willy, dan tentu saja ada foto kami di sana. Ia juga mempunyai rak buku tersendiri. Sepertinya ia suka membaca buku. Dari judul-judul buku yang terpampang, banyak sekali buku tentang parenting atau mengurus anak. Sayangnya, Anteh belum memiliki anak dari kandungannya sendiri sampai saat ini. Banyak juga dokumen-dokumen pekerjaannya yang dulu. Sepertinya Anteh memang sudah terbiasa hidup mandiri.
"Dari tadi siang Anteh berpikir apa yang salah dari Anteh. Kenapa kalian gak suka sama Anteh seperti itu. Ternyata memang cara hidup kita berbeda. Dari kecil, Anteh dan mama kalian memang sudah dilatih hidup mandiri, sebelum dan sesudah orang tua Anteh meninggal. Namun, kalian tidak seperti itu. Kalian belum diajarkan hidup mandiri oleh orang tua kalian dan membuat kalian seperti kehilangan arah ketika mereka meninggal. Anteh sudah biasa ditinggal-tinggal seperti kalian, tetapi kalian tidak biasa dengan itu. Mereka terlalu mengajarkan kebersamaan sampai lupa kalau kemandirian juga tidak kalah penting bagi kehidupan. Mungkin kalian memang masih masa-masa beradaptasi, tetapi kalian tidak punya pegangan yang cukup kuat untuk beradaptasi dan membuat jiwa kalian labil yang akhirnya malah jatuh pada jalan kesalahan." Aku dan Mas Neo hanya merenung mendengar pernyataan dari Anteh.
"Kalian adalah dua jiwa berbeda yang hidup juga di dua raga berbeda. Tidak harus selalu bersama. Adik kakak pun tidak harus selalu bersama meskipun dari kecil terus bersama. Anteh sama mama kalian juga gitu dulu. Meskipun sulit, tetapi itu harus."
"Tapi, Anteh, kasusnya berbeda," pembelaanku.
"Jangan menganggap ini adalah anak kalian. Anggaplah ini sebagai adik kalian. Pasti kalian akan lebih bahagia kan ketika memiliki adik kecil? Tidak terlalu banyak pikiran seperti ketika kalian memiliki anak. Jaga dia baik-baik, terima dia di dunia ketika lahir nanti sebagai adik. Sekarang sudah memasuki hampir 4 bulan. Cepat atau lambat, kalian harus siap bertanggung jawab. Ini kesalahan kalian, bukan kesalahan dia. Jangan biarkan dia menanggung kesalahan kalian."
"Anteh janji gak akan ninggalin kita?"
"Anteh bersumpah sama kakak Anteh, yaitu mama kalian untuk selalu ada dengan kalian ketika ia dimakamkan." Ah, Anteh benar-benar tulus menyayangi kami. Tidak boleh disia-siakan.
"Makasih, Anteh." Aku memeluknya terlebih dahulu, disusul Mas Neo. Anteh pun membalas pelukan kami dengan untaian air mata yang mengalir dari kelopak matanya. Aku harus mencoba merelakan Mas Neo. Demi 'adik' kami ini.
Hari di mana Mas Neo berangkat, ia memberikanku satu boneka beruang berukuran sedang. Ia bilang, ketika aku merindukannya, aku dapat memeluk boneka tersebut seerat mungkin. Begitu pula saat hujan petir datang, di mana aku harus memeluk Mas Neo, tetapi boneka ini adalah pengganti Mas Neo selama ia tak ada di sisiku. Dengan penuh keberatan hati, aku pun menerimanya dan mengikuti apa perintahnya.
Untuk yang terakhir kali, aku melihatnya di sini untuk waktu yang cukup lama. Bandara dan seisinya menjadi saksi bisu perpisahan kami yang tak pernah terjadi sebelumnya. Sedih pastinya, tetapi senang karena akhirnya Mas Neo mendapatkan apa yang ia usahakan selama ini. Atas seizin Anteh, untuk yang terakhir, ia memelukku, mengelus rambutku, mencium keningku, dan terakhir... mengecup bibirku. Anteh takkan protes karena ia tahu ini yang terakhir. Kami telah berjanji ketika bertemu nanti, kami takkan melakukan hal itu lagi. Tak lupa juga ia mengelus 'adik' kami dan menyemangatinya untuk terus berkembang dan berhasil lahir ke dunia ini. Selamat tinggal Mas Neo, tak ada sedetik pun aku akan melupakanmu yang sangat berharga di hidupku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Kesalahan
General FictionBagaimana jika kamu terlahir sebagai anak hasil inbreeding kesalahan kedua orang tuamu di masa lalu? Mariera Valinea Althaf, biasanya dipanggil Era. Bocah kecil berumur 12 tahun yang mengalami CIPA, penyakit langka yang tidak bisa merasakan sakit. N...