Kesalahan (7)

103 6 1
                                    

Keesokan harinya, terhitung 6 hari lagi menuju UMPTN. Masih jam setengah lima pagi. Aku bangun terlebih dahulu sebelum Mas Neo karena aku merasa aneh di perutku. Mual. Langsung saja aku bangun dan menuju ke kamar mandi. Benar saja, aku muntah, tetapi tidak banyak. Hanya mualnya ini yang menyiksa. Aku makan apa semalam ya? Oh iya, aku lupa makan semalam karena terlalu 'asyik' sendiri. Makanan juga belum ada karena Mba Titi dan Mba Yanti datang jam setengah enam atau jam 6. Huft, aku bikin apa ya? Mual banget. 

 Kira-kira 15 menit aku di kamar mandi karena mual, tetapi tidak bisa muntah. Jadi, aku belajar memasak telur karena hanya itu yang dapat kulakukan sekarang. Setidaknya, perutku terisi dan tidak mual lagi. Aku makan sendirian dengan suasana yang masih sangat sepi. Hanya terdengar suara jangkrik dan ayam berkokok di luar rumah. Mengapa tiba-tiba aku gelisah sendiri ya? Mas Neo belum bangun juga. Masa iya aku terlalu setres memikirkan UMPTN sampai seperti ini? Bagaimana jika nanti aku dan Mas Neo terpisah? Siapa yang akan menjagaku di sini? Aku takut. 

Jam setengah enam lewat, baru Mba Titi yang datang, katanya Mba Yanti masih di jalan. Aku bercerita kalau dari tadi pagi aku mual. Sudah mencoba makan telur, tetapi tetap mual. Di sini lebih baik daripada ketika aku di kamar Mas Neo tadi. 

 "Kamu mau Mba kerikin? Kayaknya masuk angin." 

 "Kerikin itu apa, Mba?" 

 "Jadi punggung kamu Mba kerik pakai koin dan kayu putih sampai merah. Nanti anginnya keluar." 

 "Hah?" Aneh. 

 "Iya, pokoknya itu obat masuk angin deh." 

 "Terus aku harus buka baju?" 

 "Ya iya. Kan dikerik punggungnya." Jangan. Jangan. Jangan. 

 "Enggak mau, Mba." 

 "Terus gimana? Udah minum obat belum?" 

 "Gak tau minum obat apa." 

 "Ya kamu sakitnya apa? Nanti Mba cariin." 

 "Aku... gak tau." 

 "Lah, kan kamu yang rasain." 

 "Iya, tapi aku gak tau sakit apa. Sebenernya pulang dari Bali udah kecapekan gitu, Mba. Pusing, tapi nanti hilang sendiri. Nanti ada lagi. Jadi males aja ngapa-ngapain. Makanya aku di rumah aja gak keluar rumah buat ikut bimbel bareng sama Mas Neo," eluhku sambil memijat pelan belakang leherku. 

 "Minum obat masuk angin aja. Bentar, Mba cariin." 

 "Masak dulu aja, Mba. Mas Neo kan berangkatnya pagi. Kasian nanti dia belum sempet sarapan." 

 "Oh, yaudah. Tunggu Mba Yanti dateng ya. Nanti kalo gak ada, dia bisa beliin obatnya." 

"Iya."

Aku masih diam di kursi meja makan melihat Mba Titi memasak sarapan. Harumnya begitu sedap. Lain kali aku harus minta ajarin masak. Ingin rasanya aku membangunkan Mas Neo, tetapi tubuhku tidak bisa diajak kerja sama. Aku takut mual lagi kalau kebanyakan gerak. Sepertinya memang aku masuk angin, tetapi aku tidak ingin dikerik karena aku tidak ingin Mba Titi melihat bekas-bekas tanda dari Mas Neo yang masih baru maupun sudah lama. 

 Setelah Mas Neo bangun dan rapih-rapih menuju tempat bimbel, aku bercerita sedikit dengannya di ruang makan. Mas Neo kan calon dokter, seharusnya ia belajar tentang ini. Mba Yanti juga sedang membeli obatnya, sedangkan Mba Titi sedang mencuci piring di ruang makan juga. 

 "Kamu semalem makan apa?" 

 "Gak makan apa-apa." 

 "Hmm, iya tuh. Gara-gara kamu telat makan jadinya maag. Maag bisa berakibat mual. Coba aja kamu makan teratur atau minum obat maag, nanti juga hilang." 

Sebuah KesalahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang