"Hai! Gimana ujiannya tadi?" Tanpa menjawab Anteh, aku berlari ke kamarku sendiri dan menutup pintunya keras lalu langsung menelungkup di kasur. Mas Neo mengejarku ke kamar yang tak lagi memiliki kunci.
"Nia, udahlah. Nia." Ia duduk di pinggir kasurku dan berusaha membalikkan badanku untuk menatap dan berbicara padanya, tetapi aku masih mempertahankan posisiku.
Terdengar beberapa langkah kaki masuk mendekat padaku, seperti Mas Neo tidak menutup pintunya.
"Nia. Gak papa. Udah, yuk. Jangan terlalu dipikirin." Suara lembut Anteh yang berusaha menyemangatiku. Bukan, Anteh. Bukan itu. Keponakanmu telah melakukan kesalahan yang fatal.
Beberapa langkah kaki terdengar lagi.
"Nia. Ini Mba Yanti, ini coba minum dulu." Posisi Mas Neo sepertinya digantikan oleh Mba Yanti yang membangunkanku perlahan. Aku menjadi sedikit tenang karena setidaknya ada seseorang yang tahu tentang ini. Akhirnya aku berbalik badan, menujukkan wajahku yang memerah dan mataku yang sangat sembab pada semua orang yang ada di sini. Ada Mas Neo, Anteh, Om Willy, Mba Yanti, dan Mba Titi. Terlihat samar-samar seperti ada mama dan papa di ujung sana. Ya aku tahu, mereka ke sini seperti menyuruhku untuk menyelesaikan masalah, bukan lari dari masalah. Akhirnya aku menatap Mba Yanti seakan bertanya,
"Apakah aku harus katakan sekarang?" Lalu Mba Yanti menganggukkan kepalanya seperti menjawab,
"Ya."
"Bukan. Aku gak isi jawabannya bukan karena aku gak tau. Aku gelisah bukan karena aku takut gak lulus. Aku juga gak belajar bukan cuma karena gak mood."
"Hah? Kamu ngomong apa sih, Dek?" Mas Neo bahkan tidak percaya bahwa aku mengatakan itu semua.
"Kamu kenapa, Nia?" Tatapan Anteh dan Om Willy semakin heran.
"Aku gak mau kuliah karena aku...." Pandangan mereka benar-benar terfokuskan hanya padaku tanpa memotong pembicaraanku sedikit pun.
"Aku hamil." Semua orang terkaget-kaget dengan satu kalimat yang baru saja keluar dari mulutku. Ekspresi Mas Neo lah yang paling tidak percaya dan ketakutan sama sepertiku. Anteh masih menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menutup mulutnya dengan tangannya menandakan ia syok. Mba Titi dan Om Willy juga sama, sedangkan Mba Yanti hanya menunduk pasrah. Aku sudah mengungkapkannya. Sudah lebih lega kan? Lega untuk meninggalkan dunia.
"Siapa?" Anteh merasa sangat tertekan. Pastinya. Aku tak menjawabnya. Hanya menangis sambil menoleh pada Mas Neo yang menatapku dengan tatapan kosong dan perlahan keluar air mata dari kelopak matanya.
"Siapa Neo?" Mas Neo menoleh ke Anteh dengan cepat sampai-sampai air matanya terjatuh ke tanganku. Ia tidak bisa menjawabnya.
"Siapa!" Tekan Anteh sekali lagi dengan nada terbata-bata. Suasana masih hening. Bibirku dan Mas Neo seperti terkunci oleh rantai besi. Tidak bisa mengatakan apapun meskipun di otak sudah beribu kata yang mengantri ingin keluar.
"SIAPAAA!" Anteh murka sekali.
"AKU!" Akhirnya Mas Neo menjawabnya, tetapi mereka masih menunggu kelanjutan kalimat tersebut, padahal itu adalah sebuah jawaban.
"Aku apa?"
"Aku. Ya, aku," jawab Mas Neo pasrah seperti tahu ini adalah kisahnya yang terakhir seperti janji kami berdua.
"Kamu?" Anteh tambah tidak percaya.
"Iya, aku. Udah, Nia. Waktu kita udah abis." Tiba-tiba Mas Neo menarik tanganku keras dan mengajakku berlari dari sini.
Om Willy berhasil menahan kami. Tiba-tiba ia menampar Mas Neo.
"Yang bener aja kamu hamilin adik kamu sendiri!" Teriakannya benar-benar menyakiti telinga kami. Melihat Mas Neo disakiti pastinya aku tidak terima, tetapi aku tahu kami pantas mendapat ini. Sebagai dua insan yang hidup penuh kesalahan dan kebodohan.
"Apa-apaan sih kalian!" Aku pasrah. Sangat pasrah. Hanya memejamkan mata dan berharap ketika membuka mata, aku sudah ada di lain dunia.
Dengan masih di posisi semula, mereka memaki-maki kami dengan semua perkataan mereka. Entah, aku tidak mendengarnya. Aku hanya mendengar tangisan. Tangisan dari suara mama dan papa karena kekecewaan mereka terhadapku.
"Kalian tau gak sih kenapa hubungan sedarah itu dilarang! Anaknya akan cacat! Ini adalah sebuah tindakan kriminal! Kalian bisa masuk penjara karena tindakan ini! Gak ada yang menganggap kalian manusia normal kalau orang-orang tau kalian seperti ini! Apa kata mama, papa, dan keluarga lain! Kalian sangat mencoreng nama baik keluarga! Kalian ini di kota! Bukan di pedalaman! Harusnya kalian paham! Banyak lawan jenis lainnya! Kenapa harus saudara kandung sendiri! Kamu mau jadi dokter kan, Neo? Harusnya mengerti dong! Kamu juga mau jadi psikolog kan, Nia? Anteh bener-bener gak habis pikir sama kalian yang segila ini. Kalian sakit tau gak! Kalian menghancurkan keturunan kalian sendiri! Keturunan keluarga kita! Gak ada orang tua bukan berarti gak ada tujuan hidup dan semua yang di dunia ini merupakan kebebasan! Salah! Ini salah!" Teriak Anteh di telinga kami. Aku dan Mas Neo hanya menangis. Menunggu waktu sendiri untuk menenangkan diri. Lebih tepatnya, menenangkan jiwa untuk pergi ke alam sana.
"Anteh bakal balik ke sini dan memperhatikan seluruh gerak-gerik kalian selama ini dan ke depannya. Harus berapa orang lagi Anteh pekerjakan untuk menjaga kalian? Harus 24 jam?! Kalian gila!"
"IYA! ANTEH! KITA EMANG GILA! ANTEH MALU KAN PUNYA KEPONAKAN ORANG GILA? YA UDAH. BUNUH AJA KITA BIAR GAK MERUSAK NAMA BAIK KELUARGA!" Mas Neo benar-benar sudah pasrah. Namun, lagi-lagi tamparan keras datang pada pipinya dari Anteh.
"BUNUH DIRI BUKAN PENYELESAIAN! Orang-orang yang bunuh diri pengen banget balik lagi ke dunia! Mereka gak akan bisa pergi kemana-mana dan terus disiksa setiap hari seperti cara dia bunuh diri!"
"Kalo gitu gugurin aja janinya," tambah Mas Neo. Salah sekali Mas Neo. Anteh menamparnya lagi sambil menangis tambah keras.
"Kamu tau bagaimana susahnya mendapat anak? Anteh sudah hampir 7 tahun menikah dan belum juga diberikan anak! Kamu berbicara seperti itu di depan pasangan yang sangat ingin memiliki anak? Mulut jahanam!" Anteh menangis tersedu-sedu dan jatuh ke pelukan suaminya. Oh Tuhan, benar-benar salah.
"Anteh gak mau tau. Kalian harus menjaga janin itu sampai berkembang, lahir, dan bertumbuh menjadi manusia."
"Gimana kalo anaknya cacat, Anteh!" Protesku.
"Salah kalian sendiri! Kalau kalian tau apa akibatnya, kenapa masih dilakukan! Bodoh!" Kami terdiam. Kami tahu apa akibatnya, tetapi kami tidak tahu kalau akibatnya benar-benar akan terjadi. Kami semua menangis di kamarku ini hingga malam tiba. Entah berapa barang yang telah Anteh hancurkan. Mba Yanti dan Mba Titi juga terancam dipecat karena dianggap tak becus menjaga kami. Semuanya benar-benar hancur. Tak ada lagi alasanku untuk hidup. Aku tidak boleh dipertemukan oleh Mas Neo. Mereka mengeluarkan seluruh barang di kamarku dan Mas Neo selain lemari dan kasur. Mereka mengunci kami seharian sampai esok harinya di kamar kami masing-masing agar kami dapat merenungi kesalahan kami. Bukannya renungan yang aku dapatkan, aku malah terngiang-ngiang suara bayi menangis yang membuatku semakin gila. Belum lagi ketika pagi hari mualku kembali muncul dan muntah tepat di depanku. Benar-benar hancur. Aku ingin mati. Aku benar-benar ingin mati. Tuhan, tolong cabut nyawaku sekarang juga. Aku tidak bisa menghadapi masalah seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Kesalahan
General FictionBagaimana jika kamu terlahir sebagai anak hasil inbreeding kesalahan kedua orang tuamu di masa lalu? Mariera Valinea Althaf, biasanya dipanggil Era. Bocah kecil berumur 12 tahun yang mengalami CIPA, penyakit langka yang tidak bisa merasakan sakit. N...