Known (2)

129 10 0
                                    

Banyak sekali informasi yang aku dapatkan di sana dan membuat otakku semakin yakin jika ini memang nyata adanya, tetapi hatiku terus menolak hal terlarang ini. Hubungan sedarah itu dinamakan incest. Incest ada semenjak zaman raja-raja terdahulu yang berniat untuk mempertahankan tahta dan kekayaannya untuk para keturunannya. Namun, hubungan sedarah ini sangat dilarang di masa sekarang karena sangat banyak bahaya yang akan ditimbulkan dari hubungan ini, yaitu tentang anak. Anak dari perkawinan sedarah memiliki peluang terlahir cacat yang sangat tinggi, mutasi genetik, imun lemah, dan banyak lainnya. Apakah penyakit yang aku rasakan sekarang ini karena mutasi genetik hasil perkawinan sedarah? Begitu juga tubuhku yang sangat lemah dan sangat mudah terkena penyakit? Apakah ini juga yang menjadikan ayah dan bunda selalu merasa bersalah ketika aku terluka? Ayah... bunda... mengapa kalian melakukan ini...? 

 "Keenan! Temenin ke UKS!" Tanpa basa-basi, aku jalan terlebih dahulu keluar kelas sambil menutup mulutku dan air mata yang sudah hampir terjatuh. Keenan langsung menyusulku dan berjalan di sampingku. 

 "Kenapa, Lin?" Ia terlihat panik, namun aku tak bisa menjawabnya. Aku hanya menggelengkan kepala dan mempercepat langkah agar tidak ada yang memerhatikan kami. 

 Di UKS, aku menutup pintunya dan menangis sejadi-jadinya. Aku benar-benar tak percaya jika ini adalah sesuatu yang nyata. Dadaku terasa sangat sesak seperti dihimpit bebatuan. Badanku bergetar begitu hebatnya sampai tak kuasa menahan beban tubuhku sendiri. 

 "Lin! Kenapa!" 

Haruskah aku bercerita padanya? Namun, bagaimana jika ini adalah aib keluarga? Atau ini adalah kesalahpahamanku yang benar-benar tidak tahu silsilah keluargaku sendiri? Aku ini apa? Untuk apa aku hidup! 

 "Nih, elap dulu pake tisu. Kalo udah tenang baru cerita." Ia memberikan kotak tisu yang berada di atas meja. 

Aku pun mengelap air mata dan ingusku. Tiba-tiba aku melihat ada darah di tisu. Aku menatap Keenan berharap Keenan mengatakan sesuatu yang terluka di diriku meskipun seluruh jiwaku terluka sekarang. 

 "Lu mimisan, Lin!" Ia naik ke kasurku, lalu memencet hidungku agar darah berhenti mengalir, ia juga menyuruhku bernapas lewat mulut. 

 "Tenangin diri lu dulu. Jangan panik." 

Aku berusaha mengikuti apa yang diperintahkan Keenan, tetapi aku malah mual. Dengan cepat aku berlari ke wastafel dan memuntahkannya. 

 "VALIN! Ke dokter ya! Gua panggilin bapak gua dulu! Jangan kemana-mana! Tahan!" Ia berlari kelaur UKS secepat mungkin meninggalkanku di sini.

Darah, air mata, muntahan, ingus, juga keringat, semua tercampur jadi satu di wastafel ini. Kepalaku mulai berputar, pandanganku mulai gelap, dan dadaku sangat terasa sesak seperti tidak bisa bernapas. Belum pernah aku merasakan serangan seperti ini. Hanya tergeletak di lantai UKS sendirian. Rasanya aku akan mati saat ini juga. Keenan belum datang, tetapi lama-kelamaan, tubuhku tidak bisa digerakan dan mataku tak dapat lagi terbuka. Tuhan, jika ini waktuku, kuharap Engkau dapat mengambilnya sekarang juga. 

 Perlahan, mataku terbuka. Hanya terlihat atap putih dan gordyn biru di depanku. Selang infus dan selang oksigen sudah menyatu dengan peredaran darahku. Sudah lama aku tidak berada di tempat seperti ini, kira-kira dua tahun yang lalu karena aku tertabrak mobil. Sekarang, aku berada di sini bukan karena luka fisik, tetapi luka mental, seperti yang bunda katakan. Tak tahu lagi harus berbuat apa. 

 "Era, udah sadar?" Pertanyaan seseorang yang masih asing di mataku. Oh, itu Om Martinus, ayahnya Keenan. Di mana Keenan? 

 "Om, Keenannya mana?" Tanyaku dengan nada yang masih serak. 

 "Lagi ambil tas kamu di sekolah dan ngurusin suratnya. Om udah kabarin Anteh kamu kok. Anteh kamu juga kayaknya udah kabarin orang tua kamu." 

 "Anteh udah jalan belum?" 

Sebuah KesalahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang