Libur (3)

129 14 1
                                    

Kira-kira 10 menit kemudian, mobil berhenti untuk parkir. Pintu mobil terbuka dan kami bertiga turun dari mobil. Aku sengaja berjalan di samping bunda sambil menggandeng tangan kirinya dan mengayun-ngayunkannya sambil sesekali melihat ke arah tangannya. Ternyata... iya. Aku tahu mengapa ayah memarahi bunda. Aku melihat banyak luka bekas terbeset pintu. Bekas luka di tempat yang berdekatan dengan luka yang masih basah itu. Hummm, masa iya bunda gak bisa rasain sakit juga kayak aku sampai dia tak sadar telah terbeset pintu berulang-ulang di tempat yang sama? Eh, tapi tadi pas ayah tarik tangan bunda di daerah sekitar lukanya, ia langsung bereaksi. Lalu, apa yang menyebabkannya bisa terluka seperti itu ya? Sehabis pesan menu, kami menunggu sambil mengobrol-ngobrol kecil. Ayah bertanya-tanya padaku tentang apa yang terjadi tadi selama ayah tak di rumah sambil sesekali melihat bunda yang terlihat sangat lesu dan tidak fokus pada pembicaraan kami. 

 "Tadi pas bunda lagi nyapu, dia nyenggol pajangan keramik dan pajangannya pecah. Aku lagi nonton TV kan kaget ya denger suaranya, aku takut bunda kenapa-napa. Jadi, aku lari ke bunda. Terus, bunda bilang jangan berdiri di situ nanti keinjek pecahan keramiknya. Nah, pas aku mundur, ternyata aku udah injek pecahannya dan kaki aku berdarah lagi meskipun gak lebar—" belum selesai penjelasan, ekspresi ayah berubah lagi sambil menundukkan kepala dan menggeleng-gelengkan kepalanya. 

 "— maaf, ayah. Abis itu bunda marah-marah sama aku dan suruh aku obatin lukanya sendiri. Nah, tapi gak lama pas aku balut lukanya, bunda masuk ke kamar dan bantuin aku balut lukanya. Abis itu aku nanya pertanyaan pas aku umur 7 tahun karena aku belum dapet jawabannya sampai sekarang. Iya, aku tau itu takdir, tapi guru agama aku bilang takdir yang buruk itu terjadi karena manusia itu sendiri. Emangnya aku pernah ngapain, Yah?" Eskpresi ayah hampir sama seperti bunda. Mungkin ini adalah pertanyaan fatal bagi mereka ya....

 "Janji sama aku, gak pernah nanya itu lagi ke bunda kamu," tatapnya sangat menusukku sebagai suatu ancaman. Aku jadi takut. 

 "Iya, ayah," jawabku menunduk takut. 

 "Padahal aku udah setujuin kamu masuk negeri." 

 "YAH, AYAH! Tetep disetujuin dong!" Protesku. 

 "Ya abisan kamu tetep aja langgar janji kamu yang harus lebih hati-hati biar gak luka lagi." 

 "Gimana dong, Yah? Ibarat kita napas, kan kita gak bisa rasain kalo ada debu masuk ke hidung kita. Sama halnya kayak aku. Aku udah berusaha sebisa mungkin sangat hati-hati, tapi kan aku gak bisa rasain itu kalau ternyata itu adalah sesuatu yang berbahaya dan bisa lukain aku." Ayah terlihat tidak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan. 

 "Aku tahu dari mana kalau kamu bisa lebih berhati-hati?" 

 "Aku bakal menghindari benda tajam dan suhu tinggi, juga hal-hal yang berbahaya lainnya." 

"Yakin?" 

 "Iya, yakin." Ayah hanya menatapku, lalu berpindah ke bunda, menyenggol tangan bunda dan mengenggamnya erat. 

 "Nanti aku beliin obatnya, Dek. Udah ya, jangan diterusin. Everything will be alright if we still together. Don't think about it too much." Oh, jadi bunda lagi sakit? Sakit apa bunda?Bunda menoleh pada ayah, lalu tersenyum manis padanya. Awww, mereka lucu sekali! Semoga takkan pernah ada kata perpisahan di antara mereka. 

 Sepulangnya dari restoran, ayah ke apotek sebentar untuk membeli obat lalu memberikannya pada bunda, mengingatkan bahwa bunda tidak boleh lupa meminum obat itu. Ayah juga memberitahuku harus mengingatkan bunda meminum obat itu dan selalu ada di samping bunda. Mulai saat itu juga, ayah sangat perhatian pada bunda. Berangsur-angsur, bunda menjadi lebih baik. Apa mungkin bunda sakit karena terinfeksi luka di pergelangan tangannya ya? Entahlah, yang penting sekarang bunda tidak terlalu sering menatap kosong dan tidak fokus, serta tidak susah tidur di malam hari karena selalu tidur dengan pelukan hangat dari aku dan ayah.

Sebuah KesalahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang