Kehidupan Baru (4)

111 10 0
                                    

Aku dan Nadin janjian bertemu di lobi utama mal tersebut sehingga Mas Neo mengantarkan sampai depan lobi mal tanpa parkir terlebih dahulu. Mataku sudah tertuju kepada perempuan berambut ikal dengan gaya pakaiannya yang super keren sedang duduk di kursi. Aku pun turun dari mobil, memanggilnya sampai ia menengok dan berjalan ke arahku, baru aku pamitan dengan Mas Neo. 

 "Aku main dulu ya!" 

 "Hati-hati kamu. Oh ya, nanti pulang jam berapa? Biar aku jemput." 

 "Jam 4 kayaknya, Mas." 

 "Oh. oke. Siap. Aku pulang ya!" Ia memegang kemudi mobilnya dan bersiap untuk pulang. 

"Iya!" 

Aku melambaikan tangan padanya sampai ia menancap gas mobilnya, baru aku berjalan menghampiri Nadin. 

 "Ka Neo lumayan juga kalo pake baju bebas," puji Nadin sambil melihat ke arah mobilku yang sudah pergi. 

Ya, bukan cuma Nadin yang berkata seperti itu. Teman-temanku yang lain juga bilang kalau Mas Neo tampan. Entah. Sebagai adik, aku tidak bisa berpikir apakah Mas Neo tampan atau tidak. Ketika aku mencoba memikirkannya, yang di otakku malah wajahnya ketika berumur 4 tahun. 

Puas seharian berjalan-jalan bersama Nadin, sesuai janji dengan Mas Neo, jam 4 ia menjemputku di tempat yang sama seperti tadi. Aku berpamitan dengan Nadin lalu pulang dengan Mas Neo. Sebelum pulang, aku memintanya untuk membeli cemilan untuk nanti malam, kebetulan hari ini kan malam minggu, biasanya aku dan Mas Neo menonton film di televisi sambil memakan cemilan di kamar Mas Neo. Bahkan aku lebih sering berada di kamar Mas Neo daripada di kamarku sendiri. 

 Malam harinya, aku membawa selimut dan guling ke kamar Mas Neo. Jadwal kali ini adalah film seram. Ah, sebenarnya aku tak ingin menonton, tetapi apa boleh buat jika aku juga bosan di kamar saja. Film belum dimulai, tetapi tiba-tiba hujan datang dan membuat suasana tambah menakutkan. Ketika Mas Neo sedang sibuk mengatur VCD, tiba-tiba petir menyambar rumah kami. Seketika saja aku refleks berlari ke Mas Neo dan memeluknya erat. Jantungku berdetak sangat cepat, aku ketakutan. Sangat ketakutan. Untuk pertama kalinya aku mendengar hujan petir seperti ini setelah kejadian mama dan papa. Mereka yang membuat mama dan papa kehilangan nyawanya! Aku sangat membenci mereka! Tanpa sadar, aku menangis di pelukan Mas Neo sampai seluruh tubuhku gemetar. 

 "Eh! Kenapa, Dek?!" Mas Neo panik melihatku tak pernah seperti ini sebelumnya, kecuali saat pemakaman mama dan papa. S

ayangnya, aku belum bisa menjawab Mas Neo karena tubuhku benar-benar gemetar. Tak bisa aku mengontrolnya meskipun hanya untuk berbicara. Mas Neo membawaku ke kasur dan ikut memelukku agar aku merasa lebih tenang. Iya, aku benar-benar merasa lebih tenang di pelukan Mas Neo. Rasanya ia adalah perisai dari semua ketakutanku. Barulah aku bercerita setelah petir tak terdengar lagi dan jiwaku sedikit menenang. 

"Aku takut hujan petir." 

 "Sejak kapan?" 

 "Sejak mama sama papa meninggal gara-gara mereka." Mas Neo memandangku lagi, sekarang air mataku malah pindah ke mata Mas Neo. Ia memelukku lagi tanpa berkata apapun. 

 Mulai saat itu, ketika ada hujan petir, Mas Neo adalah orang yang pertama aku cari agar aku bisa tenang. Memeluknya sampai jiwaku menenang atau sampai petir tak lagi terdengar di telingaku. Hanya dia yang dapat membuat jiwaku terasa aman dan nyaman. Ketika tak ada dia, aku akan berlari kepojokan seperti orang gila yang menangis tanpa sebab dengan pengalaman pahit yang tiba-tiba terngiang-ngiang di kepala. 

Singkat waktu, hari ini adalah pengumuman UMPTN Mas Neo. Oh ya, ketika aku berulang tahun ke-17, mereka benar-benar merayakannya di gedung serbaguna yang ada di sekitar rumah. Aku mengundang teman-temanku. Ketika Mas Neo berumur 18 tahun juga ia jadi dibelikan mobil. Ya, tidak terlalu mahal sih, tetapi cukup untuk aku dan Mas Neo berjalan-jalan. Lagi-lagi, kehidupan di Jakarta ini membuat aku dan Mas Neo menjadi sangat bebas dan tidak kenal aturan. Anteh Vintha dan Om Willy juga tidak memerhatikan kami. Aku dan Mas Neo juga sudah tidak pernah lagi berkomunikasi di kampung papa karena mereka sepertinya juga sudah lupa dengan kami yang meninggalkan mereka tanpa ancang-ancang. 

Sebuah KesalahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang