Bersamamu (3)

108 9 0
                                    

Minggu pertama pendekatanku dengan Relevan, cukup canggung. Karena yang paling dekat adalah ujian praktik, jadi aku tidak bisa bertanya tentang materi karena banyak yang harus dipraktikan daripada dipahami. Sedikit demi sedikit aku menjauh dari Mas Neo. Lebih sering di kamar daripada di luar kamar. Aku yang tidak pernah mengunci kamarku, sekarang selalu aku kunci ketika aku di dalam kamar. Berbicara seadanya dengan Mas Neo dan membuatnya berpikir seakan semua berjalan normal. 

Minggu kedua, barulah kami mulai jalan bersama, belajar bersama, dan main bersama, meskipun ia belum berani untuk pulang lebih dari jam maghrib. Padahal, itu malah targetku, pulang malam agar sampai-sampai, aku tinggal berberes, lalu tidur tanpa banyak bertatap muka dan berkomunikasi dengan Mas Neo. Ia pasti hanya berpikir kalau aku sibuk belajar kelompok untuk ujian, tidak macam-macam. Minggu ketiga, barulah Mas Neo menyadari ada yang berubah dariku. Aku dan dia jadi sangat jarang bertatap muka dan berkomunikasi. Pastinya, aku merasa kehilangan karena tak pernah aku seperti ini sesudah mama dan papa meninggal, tetapi aku pikir ini untuk kebaikan kami sendiri. Sekarang adalah minggu-minggu ujian sekolah. Berkat Relevan, aku dapat mengerjakannya dengan baik meskipun ada beberapa mata pelajaran yang maih kurang aku pahami. Mulai berani pulang malam dan mengantarkanku sampai depan gerbang setelah seminggu lebih hanya berani di depan gang. Karena ujian sekolah sudah berakhir dan tinggal satu ujian lagi yaitu ujian nasional, aku mengajak Relevan untuk belajar di rumahku setiap habis pulang sekolah. Sepertinya benih-benih cinta sedikit demi sedikit muncul padanya. 

 Hari ini adalah hari ketiga aku mengajaknya ke rumah. Sengaja aku mengajaknya dari siang sampai sore karena jam-jam itu adalah jam Mas Neo sedang bimbingan belajar untuk UMPTN tahun ini. Jadi, sampai sekarang Relevan belum bertemu dengan Mas Neo, tetapi aku sudah membicarakan tentang Mas Neo padanya. Aku hanya berbicara tentang mempunyai satu kakak cowok yang mungkin akan tidak menyukai keberadaannya, tetapi aku hanya memberitahu kalau memang ia posesif padaku. Ketika kami sedang asyik belajar sambil meminum sirup segar yang dibuatkan oleh Mba Titi, pintu utama terbuka dan membuat kami yang sedang fokus belajar teralihkan ke sana. Aku tahu siapa itu. Mas Neo. Mengapa ia bisa pulang jam segini? Ini baru jam 4. Seharusnya ia pulang jam 5 atau setengah 6 kalau ia konsultasi terlebih dahulu. Matanya tertuju padaku dan Relevan. Oh Tuhan, aku belum menyiapkan ini, tetapi Mas Neo memang harus tahu tentang ini agar tak ada kesalahpahaman atau tindakan menakutkan itu lagi. 

 "Eh, Mas. Tumben udah pulang?" Aku berdiri dari dudukku di karpet dan menghampirinya di ruang tamu. 

 "Itu siapa?" Pertanyaannya langsung pada titik utama sambil memandang Relevan penuh kebencian. 

 "Itu... temen aku. Kita lagi belajar bareng buat ujian nasional nanti." Sekarang aku yang gugup. 

"Harus banget di rumah? Harus banget berduaan?" 

 "Loh? Emang ada larangan?" 

 "Ada. Aku larang." Barulah pandangan matanya beralih dari Relevan menuju padaku. 

"Kenapa?" 

 "Ya aku gak suka ada cowok di rumah selain aku sama Om Willy." 

 "Loh? Apa masalahnya? Kita juga gak berdua doang. Ada Mba Titi, Pak Jarit, Mba Yanti juga. Jam 5 sebelum Mas Neo pulang juga dia udah pulang, gak sampe malem," belaku. 

 "Jadi selama ini pas aku bimbingan, kamu di rumah berduaan sama dia? Atau yang kamu bilang abis belajar sama temen itu dia? Kamu tuh kenapa bohong sama aku sih! Gak suka aku tuh kayak gini!" Ia menjatuhkan tasnya dengan kencang dan membuat Relevan semakin gelisah berada di sana. 

 "Apa sih! Kenapa Mas jadi mengekang aku banget? Aku baik-baik aja kok!" 

 "Ya aku gak suka kamu kayak gini!" Mas Neo terlihat semakin emosi. Sepertinya tidak baik jika aku dan dia bertengkar di depan orang lain. 

 "Relevan, kamu balik dulu aja deh. Kita terusin besok ya belajarnya," ujarku menyuruh Relevan untuk pulang sebelum Mas Neo berbuat macam-macam padanya. 

Tanpa pikir panjang, Relevan pun membereskan buku-bukunya dan segera berjalan ke pintu utama melalui kami. 

 "Oh, namanya Relevan?" Mata Mas Neo mengikuti arah Relevan pergi sampai keluar gerbang rumah. 

 "Mas!" Aku menutup pintu kencang agar Relevan tak lagi mendengar pertengkaran kami dari dalam rumah. 

 "Kenapa?" Tiba-tiba ia mendorongku perlahan ke belakang pintu dan merentangkan kedua tangannya di samping kepalaku sehingga aku tak dapat pergi kemana-mana. 

 "Ini gak lucu, Mas!" 

 "Siapa yang bikin lelucon? Aku enggak bikin lelucon! Kamu tuh kenapa? Kok jadi berubah banget sama aku!" 

 "Karena Mas juga berubah! Berubah banget! Aku gak kenal siapa Mas! Mas yang sekarang tuh aneh! Aku takut sama Mas!" Emosiku meluap sampai air mata ikut terluapkan. Mas Neo tidak menjawabnya dan hanya memandangku yang sedang menangis.

Neo's PoV 

 Tuhan, kesalahan terbesarku terjadi lagi. Membuat adik tersayangku mengeluarkan air mata karena sikapku. Tak tega aku melihatnya seperti ini. Sebenarnya rasa apa ini? Mengapa aku sangat ingin memilikinya dan tak ingin ada orang lain yang dapat menyentunya. Iya, wajar jika aku sebagai kakak melindungi adiknya dari kepuasan nafsu dari orang lain, tetapi apakah wajar jika ia yang menjadi pemuas nafsuku? Dunia ini gila! Lalu, siapa cowok itu? Kelihatannya aku sangat membencinya meskipun aku tak tahu siapa dia. Apakah ia adalah orang yang akan memenangkan hati adikku? Haha, coba saja. Sampi titik darah penghabisanku, takkan ada yang dapat mengambil adikku dari sisiku. 

 "Awas!" Ia menepis tanganku yang berada di samping wajahnya dan mendorong badanku menjauh darinya sehingga ia dapat terbebas dariku lalu berlari ke kamarnya. 

 "Nia!" Secepat tenaga aku mengejarnya sebelum ia masuk dan mengunci pintu kamar. Sayangnya aku kalah cepat. Ia mengunci dirinya di kamar sebelum aku berhasil menggapainya. 

"Nia, maaf." Permintaan maafku terucap dari bibir yang bergetar dan hati yang dipenuhi penyesalan. Sepertinya kali ini aku benar-benar keterlaluan. Namun, mengapa ia lebih membela si cowok itu daripada kakaknya sendiri yang sudah hampir 18 tahun bersamanya dalam suka maupun duka? 

 Tak terdengar suara apapun dari dalam sana meskipun aku sudah memanggilnya berkali-kali sambil mengetok pintunya. Mba Titi yang sedari tadi berada di dapur menghampiriku dan bertanya ada apa. Sayangnya aku tak dapat menjelaskan kejadian yang sebenarnya terjadi. Mungkin jika hanya soal Relevan, ia masih dapat menerimanya, tetapi jika tentang hal itu, aku yakin ia akan menyebutku sebagai orang yang sakit. Aku benci dikatakan sebagai orang yang sakit. 

Mba Titi memberikan teh hangat padaku dan mencoba membujuk Nia keluar dari kamar. Ia mengunci kamarku dari luar dan melarangku untuk masuk ke kamar karena ia takut aku akan melakukan hal yang tidak-tidak jika mengunci diri di kamar. Itu juga yang membuatnya khawatir pada Nia yang tak kunjung membuka pintu kamarnya. Aku tidak tahu mengapa semua ini dapat terjadi. Maksudku, aku dan Nia sama-sama memiliki kesehatan mental yang lemah dan mudah depresi semenjak kepergian mama dan papa yang sangat tiba-tiba itu. Akhirnya Mba Titi berhasil membujuk Nia untuk keluar kamar dengan syarat ia tidak ingin bertemu denganku sampai waktu yang telah ia tentukan sendiri, entah berapa lama. Ketika Mba Titi memberitahu itu padaku, rasanya aku sangat sedih dan kecewa dengan diriku sendiri. Aku yang tidak ingin berpisah dengannya, malah aku yang membuat kami berpisah. Aku yang telah membuat dia menjauh karena sikapku sendiri. Aku yang memulai, artinya aku juga yang harus mengakhiri, tetapi bagaimana cara aku mengakhirinya kalau ia tak memberikan kesempatan padaku?

Sebuah KesalahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang