Bersamamu (4)

116 7 0
                                    

Sampai malam hari ketika Anteh dan Om Willy pulang, aku dan Nia tetap di kamar kami masing-masing dengan syarat kunci kamar diambil oleh Mba Titi. Seharusnya Mba Titi sudah pulang jam 7, tetapi ia di sini sampai Anteh dan Om Willy pulang untuk menjaga kami. Ia sangat loyal kepada Anteh. Maka dari itu, sepertinya ia menceritakan kejadian tadi kepada Anteh dan Om Willy yang membuat aku dan Nia disuruh ke ruang tamu. Nia masih tidak ingin menatapku dan terus membuang wajah dariku yang membuatku semakin sakit. 

 "Coba cerita kalian berantem kenapa? Tumben banget loh kalian berantem? Kenapa?" Anteh berusaha menanyakan hal ini dengan sangat lembut. Iya, benar, kami sangat jarang bertengkar, tetapi sekali bertengkar, ini sungguh masalah yang serius. 

 "Ayo, Nia, Neo." Aku tak ingin cerita. 

 "Coba Nia, kamu kan yang masuk kamar duluan kata Mba Titi. Ceritain Anteh ada apa."

Ekspresi Nia sedikit gugup dan gelisah, sesekali menatapku lalu kembali menatap Anteh. Sekarang aku yang takut. Bagaimana jika Nia mengatakan hal itu? Kami bisa dipisah, meskipun mungkin itu yang ia inginkan saat ini. Tolong, Dek. Jangan lakukan itu. Jangan pernah lakukan itu. Aku berjanji untuk tidak melakukan hal seperti itu lagi, jadi tolong kasih aku kesempatan sekali lagi untuk meminta maaf dan mengubah keadaan menjadi seperti semula. 

 "Mas Neo... marahin aku tadi pas aku lagi belajar sama temen aku. Katanya gak boleh bawa laki-laki ke rumah. Padahal kan dia temen belajar aku. Terus dia marah-marahin aku di depan temen aku itu. Kan aku jadi gak enak sama dia." Nia, terima kasih. Kamu menyelamatkan nyawaku, lagi dan lagi. 

 "Kalau tujuan kamu benar belajar, rumah ini bebas kok untuk siapa aja. Mungkin Mas Neo marah karena kamu bukannya belajar malah main kali." Bukan, aku marah karena aku cemburu. 

 "Aku belajar kok. Kita buar rangkuman dan catatan." 

 "Ya udah, lain kali jangan gitu ya, Neo. Udah berapa kali kamu sama dia belajar di rumah berdua? Siapa namanya?" 

 "Namanya Relevan. Semenjak sebelum ujian praktik kita emang udah deket, pas ujian sekolah kita selalu belajar bareng, tapi di luar, enggak di rumah dan sama teman-teman yang lain. Baru 3 hari ini aja kita belajar bareng di rumah aku karena aku pikir aku lebih punya banyak buku untuk ujian nasional di rumah." Tuh kan, apa aku bilang. Dia memang sudah merencanakan dekat dengan si Relevan itu sejak lama. Aah, salahkah jika aku cemburu dan membenci cowok itu? Mengapa aku jadi posesif kepada adikku sendiri? 

 "Mumpung besok hari Sabtu, aku sama Mas Willy pulang jam 1. Temen kamu itu mau ketemu gak? Ya biar enak aja kita dan gak salah paham." 

 "Boleh, Anteh. Nanti aku kasih tau." 

 "Oke, sip." 

 "Padahal kita mau bilang sesuatu ke kalian, tapi hubungan kalian lagi kurang bagus. Jadi nanti aja deh." 

 "Apa tuh, Om?" 

 "Itu, perusahaan om sama Anteh kalian mau dibuat cabang di Jakarta pusat. Ya, lumayan lah ya kalau dari rumah. Jadinya untuk beberapa bulan ke depan, om sama Anteh mau menyewa apartemen di sana karena kalau bolak-balik sayang di ongkos dan waktunya jadi gak efisien. Kalian berdua di sini seperti biasa, kalau siang ditemani Mba Titi dan Mba Yanti, tapi kalau malam kalian hanya berdua. Nanti Mba Titi dan Mba Yanti yang seharusnya pulang jam 7, jadi pulang jam 9. Gimana? Kalian keberatan gak?" Berdua... doang?! Nia terlihat kaget dengan pernyataan Om Willy yang akan menimbulkan potensi yang lebih besar jika kami benar-benar berdua. Nia, aku sudah berjanji dengan diriku sendiri. Jangan seperti itu. Aku semakin merasa bersalah dan tidak berguna. 

 "Harus banget sekarang-sekarang ini, Om?" 

 "Tadinya sih. Soalnya Om sama Anteh udah dp apartemennya." 

Sebuah KesalahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang