Sekolah Menengah Pertama (4)

111 13 0
                                    

Benar saja, aku tidak masuk sekolah selama 3 hari sampai hari Jumat. Bunda dan Anteh yang mengirim surat dokter ke sekolah. Ya, surat dari ayahku sendiri, haha. Ada enaknya juga punya orang tua dokter. Kalau sakit, bisa langsung dibuatkan surat dokter tanpa ke rumah sakit. Haha, enggak juga sih, tetap harus ke rumah sakit untuk meminta stampel rumah sakit, tetapi itu ayah sendirian juga bisa. Selama 3 hari ini, aku hanya di rumah bermain game dan menonton TV, sesekali membaca novel. Mau belajar juga belajar apa? Dikenalkan mata pelajarannya aja belum. Uhm, padahal kalaupun aku ke sekolah juga aku takkan merasa apa-apa, tetapi ayah dan bunda melarangku ke sekolah dulu. Iya sih, akunya memang tidak apa-apa, tetapi tubuhku yang butuh istirahat. Jadi, ya sudah. Aku ikuti saja apa mau mereka daripada aku yang kenapa-kenapa. Hari Jumatnya, aku sudah diperbolehkan masuk, dengan syarat tidak boleh banyak gerak. MOPDB sudah selesai, sekarang adalah tes penentuan kelas tetap. Jadi kelasnya akan diacak lagi? Yah, kalau aku tidak sekelas dengan Keenan bagaimana? Hmm, ya tidak apa-apa sih. Pasti akan lebih banyak teman nantinya. 

Ketika aku masuk kelas, semua melihat ke arahku, mungkin karena aku memakai perban di kepalaku. Kalau lengan kanan, Anteh telah meminta keringanan untuk sekolah agar aku diperbolehkan memakai seragam panjang. Jadi, luka di lengan tidak terlihat. Aku melihat Keenan sudah datang. Tumben. Ketika hari pertama dia datang 15 menit setelah mulai. Aku duduk di tempat biasa. Keenan melihatku dengan tatapan heran. 

 "Kenapa lu? Tiga hari gak masuk, pas masuk diperban gitu." Keenan memegang-megang kapas di kepalaku. 

 "Ih! Ini kapas, bukan perban. Jangan dipegang-pegang!" Aku mengusir tangan Keenan yang memegang-megang kepalaku. 

 "Kenapa? Ketusuk pisau berkarat? Kejatuhan palu dari lantai 2? Ketiban duren terus durinya nancep? Atau apa?" 

 "Serem banget sih! Ini cuma kebeset aspal kok." 

 "Cuma." Ia mengulang kata-kataku kembali. 

 "Ya... gak cuma juga sih, tapi ini masih biasa deh." 

 "Wah! Lu suka darah-darahan juga ya? Cocok nih kita! Gua juga suka hal yang berhubungan sama darah-darahan!" Antusiasnya. 

 "Enggak! Aku gak suka darah-darahan! Sayangnya aja aku harus sering berurusan sama darah-darahan." 

 "Asik tau mainin darah." 

 "Enggak, ih! Apa sih!" Risih mendengarnya. Darah adalah musuh terbesar yang selalu melekat padaku. Ia yang membuat bunda dan ayah sering sedih. Jika saja ada luka yang tidak berdarah, lebih baik aku memilih itu. 

 Salah satu ibu guru masuk ke ruangan sambil membawa kertas ujian. Semua murid membenarkan posisi duduknya, termasuk aku dan Keenan. Ekspresi tegang bercampur takut sedang kurasakan sekarang. 

 "Biasa aja. Cuma formalitas kok." Keenan berusaha menenangkanku. Dia mah apa saja juga dijadikan suatu hal yang biasa. 

 "Ya tetep aja judulnya ujian.", "Kita bakal sekelas lagi.", "Sok tau, ah.", "Dih, ya udah gak percaya.", "Enggak." Lalu kertas yang diberikan bu guru itu yang menghentikan pembicaraan sejenak kami. 

 Selesai ujian, kita istirahat. Keenan menceritakan apa saja yang ada di sekolah selama aku tidak masuk. Ternyata hari kedua MOPDB itu perkenalan guru-guru, staf sekolah, sistem penilaian, dan mata pelajaran apa saja yang akan dipelajari. Hari ketiga adalah demo eskul. Keenan ikut eskul bela diri. Yah, terlihat lah ya dari badannya yang cukup tinggi. Cocok untuk eskul bela diri yang mengutamakan fisik. Kalau aku ikut, aku juga tidak tahu sih harus ikut eskul apa. Ayah dan bunda juga sepertinya tidak mengizinkan aku untuk ikut eskul. Ya, mereka memang tidak pernah mengizinkan apa-apa. Kalau hari keempat, itu kebanyakan games-games dan ada lomba yel-yel antarkelas. Ah, aku sungguh melewatkan hari-hari seru bersama teman-teman baru. Sedih.

Sebuah KesalahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang