Terbayarkan (4)

134 12 1
                                    

"Kamu belum tidur?" Tiba-tiba tante yang kemarin masuk ke kamarku, mengintip di sela terbukanya pintu dan berhasil membuatku kaget setengah mati karena tak ada suara apapun sebelumnya. 

 "Ah, enggak, Tan. Bentar lagi tidur kok." 

 "Mau tante temenin?" 

"Enggak usah, Tan." Lalu, ada seorang pria yang juga sama miripnya seperti ayah berdiri di belakang tante tersebut. 

 "Kamu ngapain di sini sih? Biarin dulu dia pake kamar kita." 

 "Ih, aku cuma nanya kok. Ya udah. Selamat tidur ya!" Lalu ia dan suaminya itu pergi dan kembali menutup pintu kamarku. Duh, semakin banyak orang yang wajahnya mirip ayah dan bunda membuat pikiranku makin kacau teringat masalah mereka yang ingin menikah dan meninggalkanku sendiri. 

 Masih dengan keadaan yang sama sampai pagi datang. Hari ini kami langsung ke bandara. Mataku sembab tak berbentuk lagi. Aku memakai eye mask sepanjang perjalanan dan mengasumsikan mereka bahwa aku masih sangat mengantuk dan ingin tidur, padahal aku tak bisa tidur sama sekali. Aku hanya menangis dan terus menangis semalaman kemarin dalam pelukan boneka beruang. Meskipun mereka bilang jiwa mereka ada di beruang ini, tetap saja berbeda. Aku takkan bisa merasakan pelukan mereka berdua di saat yang bersamaan lagi. Aku memang tidak bisa menyuruh mereka kembali seperti dulu, tetapi aku juga belum bisa menerima jika mereka harus pisah. 

 Perjalanan memakan waktu yang cukup lama. Bermodalkan pura-pura tidur dengan eye mask dan pelukan boneka beruang, aku masih terus memikirkan ini sampai dadaku semakin sesak dan kepalaku pusing. Tidak bisa aku memberhentikan pikiran yang selalu terbayang-bayang dalam otakku. Aku kembali ke rumah, mengunci diriku di kamar dan beralasan ingin istirahat. Papa yang seperti tahu akan itu terus menyemangatiku. Di depannya, aku hanya mengiyakan dan menuruti perkataanya, tetapi ketika aku sudah sendirian, entah makhluk apa yang merasuki jiwaku sehingga dunia terasa gelap. Tak ada kejernihan di otakku. Tidak, aku tidak berpikir untuk bunuh diri atau menyakiti diriku sendiri karena sebenarnya aku sudah mati rasa dan sudah sangat tersiksa dengan diriku sendiri. Tubuhku terasa sakit secara keseluruhan, tetapi aku tidak tahu apa penyababnya karena tak pernah aku terluka sampai seluruh tubuhku seperti menggiggil dan... entah, aku benar-benar tidak tahu. 

Aku mencoba tidur dengan segala keadaan yang ada. Terlalu lelah dengan segala keadaan yang ada. Aku terbangun pada suatu tempat. Tak dapat kudefinisikan tempat apa itu. Putih, bercahaya, tetapi hening. Lalu, aku melihat kemungkinan itu ayah dan bunda dengan kulit yang sudah mengeriput seperti sudah tua sedang menghampiriku. Mereka tersenyum padaku dan menuntunku pada suatu jalan. Tiba-tiba, aku merasa sangat merindukan momen ketika ayah dan bunda bersama. Bertiga, bahagia selamanya. Jikalau ini adalah mimpi, aku berharap aku takkan terbangun dari mimpi indahku. Tiba-tiba, aku seperti ada di mesin waktu. Kembali pada waktu ketika aku berada di rumah nenek kakekku yang menjadi rumah Om Malik. 

Ketika aku baru masuk ke dalam kamar yang aku pakai untuk tidur. Kamarnya sama seperti apa yang aku lihat waktu itu, tetapi masih bersih dan terpakai. Lalu, aku melihat tante yang waktu itu dengan pakaian yang sama sedang menebahi kasur menggunakan sapu lidi. Tak lama kemudian, seorang anak perempuan masuk ke sana. Anak itu sangat mirip denganku, tetapi bukan aku. 

 "Mama, nanti masakin aku nasi goreng kesukaan aku sama Mas Neo ya!" 

 "Sebentar ya, aku tebahin kasur dulu." Ia lanjut menebahi kasurnya.

Tunggu. Sebentar. Mas Neo? Itu nama ayah kan? Tetapi, nadanya sama persis dengan apa yang ia katakan padaku dulu! Apa ini?!Tiba-tiba jiwaku terbawa lagi dalam perjalanan waktu, yaitu ketika aku membuka seluruh bajuku saat tante tersebut memintaku untuk membuka bajuku dan memperlihatkan seluruh lukanya. Aku melihat diriku sendiri di kamar tersebut. Namun, tidak ada orang di sana! Aku membuka bajuku sendiri tanpa memperlihatkan luka-luka di sekujur tubuhku pada siapapun! Aku yakin saat itu ada tante ini! 

Lalu ketika aku terluka dan tante itu memberikan obat merah, di sana aku tidak memakai obat merah apapun. Lukaku aku biarkan begitu saja tanpa penanganan. Begitu juga luka saat terinjak plastik di sawah. Terbawa lagi diriku ketika malam kedua, aku tidur di kamar yang sama. Menangis dan terus menangis sampai aku tak dapat lagi membuka mataku. Yang aku lihat sekarang adalah ada tante dan om yang waktu itu masuk ke kamarku dan menawarkan aku tidur bersama mereka di kamar ini karena om itu bilang ini kamarnya, mereka sedang tidur di samping kanan dan kiriku sambil terus menatapku seakan tidak tega melihatku bersedih. Aku yakin saat itu aku menolak mereka dan benar-benar sendirian sepanjang malam! Siapa mereka ini! Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, berharap dua orang yang menyerupai ayah dan bunda itu membawaku ke sini dapat mengatakan siapa itu. Ternyata, dari tadi aku melakukan perjalanan waktu sendirian. Aku tambah panik. 

 "SIAPA MEREKA?" teriakku seorang diri dengan penuh ketakutan dan kegelisahan.

Lalu, jiwaku terbawa lagi ketika baru datang ke rumah Om Malik pertama kalinya. Aku melihat foto nenek dan kakekku yang terpajang di sana. Tiba-tiba, aku menyadari. Pakaian yang mereka kenakan sama seperti om dan tante yang menemaniku tidur DAN berubah menjadi kakek dan nenek yang kutemui ketika pertama kali aku tersadar jika aku dalam mimpi. 

 "Tugas kamu sudah selesai, sayang." Mereka seakan menjawab pertanyaanku, tetapi aku tidak melihat wujud mereka sekarang. Namun, aku tahu bahwa mereka adalah nenek dan kakekku yang siap mengantarkanku ke tempat mereka. 

 "Era. Era bangun, Era!" Suara isak tangis dua orang yang tak asing di telingaku. Tiba-tiba aku seperti terjatuh dari awan. Terbang. Melayang. Tak dapat berpegang pada apapun.

Sebuah KesalahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang