Anteh (2)

113 11 0
                                    

Dua hari telah berlalu. Keenan mulai mengerti dan tidak lagi menyadari keberadaanku. Tentunya, aku merasa kehilangan. Ia sudah seperti kakakku sendiri, padahal kami baru berteman selama seminggu. Seminggu itu juga baru bertemu dua kali karena tiga harinya aku tidak masuk. Hari ini bunda ulang tahun yang ke-31. Ayah mengajakku pergi ke mal selesai sekolah untuk membeli kue ulang tahun bunda. Bunda suka kue red velvet. Jadi, aku dan ayah membelikan kue sekaligus tas yang kira-kira bunda suka. Ketika aku sedang membeli kue, sedangkan ayah sedang mengambil uangnya, aku menulis ucapan yang akan ditulis oleh mba-mba toko kuenya memakai krim di atas cokelat. Aku menulis 'HBD Bunda ke-31.' Lalu mba pegawai kue tersebut melihatku dengan sedikit heran. 

 "Ini gak salah tulis angka, Dek?" 

 "Bener kok. 31 kan?" 

 "Muda banget bundanya. Kamu umur berapa?" 

 "12, hehe." 

 "Wah, nikah muda ya bundanya?" 

 "Entahlah. Pokoknya tulis aja itu." Lama-lama aku sedikit risih dengan pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Memangnya nikah muda itu hal yang salah ya? Sangat tabu sepertinya di lingkungan ini. 

 Selesai membeli kue dan kadonya, kami kembali ke rumah. Aku dan ayah berniat memberikan kejutan untuk bunda. Bunda pasti sedang di kamar. Aku dan ayah masuk ke rumah lalu berjalan perlahan ke kamar sambil mempersiapkan kue dan lilin. Pastinya, ayah yang memegang kuenya karena di situ terdapat lilin dengan api yang menyala, sedangkan aku membawa kadonya. 

"HAPPY BIRTHDAY BUNDA!" teriakku ketika memasuki pintu kamar. Terlihat bunda sedang merapihkan dokumen-dokumen sambil duduk di atas kasur. 

 "Astaga! Kaget!" Ia segera memasukkan dokumen-dokumennya ke dalam tas, menyisihkan satu kertas fotokopian, menaruhnya di dalam lemari, lalu menghampiri kami yang sedang memberikan kejutan padanya. 

 "Tiup lilinnya, Bun!" 

  "Make a wish dulu dong," pinta ayah.Bunda memejamkan mata sambil tersenyum dan mengatakan keinginannya di dalam hati. Setelah selesai barulah ia meniup lilinnya.

 "Makasih kalian!" Ia memelukku dan ayah dengan sangat bahagia. 

 "Nanti malam makan di mana nih?" 

 "Di restoran yang gratis bagi yang lagi ulang tahun dong! Aku udah siapin fotokopi KTP-nya tuh, hehe."

 "Pantes aja. Tumben tiba-tiba buka dokumen-dokumen. Dasar kamu, Dek!" Ayah memberantaki rambut bunda dengan lembut. AH! Lucu sekali! 

 "Ya udah, mandi, rapih-rapih, nanti jam 7 kita berangkat." 

 "SIAP!" Wah, akan menjadi malam yang penuh keharmonisan nih! 

 Tepat pada jam 7 malam, ayah menancap gas keluar dari rumah ke restoran yang sudah bunda tuju. Restorannya agak cukup jauh sih, tetapi tak apa. Semakin jauh, semakin seru. Kami duduk di meja yang terletak di outdoor lantai 2. Meja ini menyuguhkan pemandangan indah Jakarta di malam hari dengan bintang berkelap-kelip di langit biru tua. Mentang-mentang sedang berulang tahun dan mendapatkan special service yaitu makanan gratis, bunda memesan makanan paling mahal di sini. Hahaha, memang dasar bunda. Eh, kalau aku jadi bunda juga kemungkinan besar akan melakukan hal yang sama, haha. 

 "Oke, Bu. Boleh liat KTP-nya?" 

 "Oh, boleh, fotokopi atau asli?" 

 "Asli, Bu." 

 "Okay." Bunda mengeluarkan KTP dari dompetnya dan memberikannya pada pelayan itu. 

"Terima kasih, silakan ditunggu pesanannya. Untuk pengambilan KTP, ada di kasir ya, sekalian ambil billnya nanti." Pelayan itu kembali ke tempatnya. 

 "Oke, siap."Kami menunggu makanannya dihidangkan sambil berfoto-foto di restoran ini. Mereka berdua sangat serasi. Wajahnya juga sangat mirip. Aku dengar-dengar dari orang, kalau jodoh itu memang wajahnya mirip. Memang mereka sangat cocok ya! Aku bangga memiliki ayah dan bunda seperti mereka. 

 Saat makanannya sudah datang, seperti biasa bunda memotretnya terlebih dahulu sebelum dimakan. Tak lupa juga ia update di Whatsapp dan Instagram. Haha, dasar ibu-ibu kekinian yang suka main media sosial. Sama kayak Anteh. Aku sendiri saja kurang suka main itu. Buang-buang waktu. 

Kami menyantap makanannya dengan lahap. Memang tidak salah pilihan bunda! Kami memakan makanan ini dengan hikmat sampai selesai. 

"Ra, mintain billnya sekalian KTP aku," perintah bunda sambil mengelap bibirnya dengan tisu. 

"Siap!" Aku segera bangkit dari kursi dan berjalan menuju kasir di lantai satu. 

 "Hati-hati jalannya, Ra! Awas licin," pesan ayah. 

 "Iya." Dengan sangat berhati-hati, aku menoleh kanan dan kiri memastikan tak ada bahaya yang datang. Cukup banyak bahaya di sini. Ada pisau, garpu, sup panas, hot plate, duh. Semoga tak apa lah ya. Masa iya hanya ke lantai satu saja perlu ada tetesan darah. 

Di kasir, aku meminta pelayan di sana untuk meminta bil di meja 28 sekalian KTP bunda. Ia memberikan billnya terlebih dahulu lalu memberikannya kepadaku. 

 "KTP atas nama siapa ya?" 

 "Vania Althaf." 

 "Oke, sebentar. Dicari dulu." Ia mencari KTP dengan nama tersebut di balik mejanya. 

 "Ini. Silakan dicek ulang ya." Lalu ia memberikan satu KTP kepadaku untuk aku cek ulang. Nama benar, tempat tanggal lahir juga benar, ini alamat di mana ya? Kok alamatnya bukan alamat rumah? Lalu ini status perkawinannya belum menikah. Ini benar punya bunda? 

 "Salah, Dek?" Sepertinya pelayan kasir ini menyadari ada yang salah dengan KTP-nya. 

 "Coba liat yang lain, Mba," pintaku masih belum percaya.Pelayan kasir itu mengambil 3 KTP lainnya dan dijabarkan di atas meja. Bukan, pastinya bukan ini semua. Benar yang aku pegang sekarang adalah KTP bunda. Baiklah, nanti aku tanya bunda saja agar lebih jelas. 

 "Bener yang ini deh, Mba. Tadi salah liat, hehe. Makasih." Aku membawa KTP-nya ke tempat duduk kami. 

 "Iya, sama-sama," balasannya. Ini cukup aneh. Apa karena ini berlaku seumur hidup ya? Jadi, tidak diganti-ganti lagi. Hmm, bisa jadi. 

Di meja kami, aku memberikan billnya pada ayah dan memberikan KTP-nya pada bunda. Ini saatnya aku bertanya. 

 "Bun, itu alamatnya kok bukan alamat rumah? Terus status pernikahannya kok belum kawin? Bunda sama ayah udah nikah kan?" Ekspresi wajah mereka sedikit tercengang dan bunda berusaha menjawabnya. 

 "Itu, kamu liat kan bawahnya? Berlaku seumur hidup. Jadi, semenjak aku bikin KTP, ya gak diganti-ganti lagi. Ini tempat tinggal aku dulu sama mama papa aku pas masih hidup." 

 "Oh, gitu. Kalo gitu, nanti orang-orang gak tau dong kalo dia udah nikah atau belum kalo KTP-nya seumur hidup?" 

 "Entahlah." 

 "Udah, yuk. Bayar makanannya. Abis itu kita bobok. Besok kan masuk sekolah kamu, Ra," ujar ayah berdiri dari kursi dan merapihkan kursinya kembali ke bawah meja. 

 "Jangan lupa minum obatnya dulu ya, Ra," sahut bunda mengikuti ayah. 

 "O... oke." Lagi-lagi mereka seperti ini. Aku jadi seperti orang asing di keluargaku sendiri.

Sebuah KesalahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang