Bersamamu

116 9 0
                                    

Waktu telah berjalan dengan cepat setelah kejadian itu. Anteh memasukkanku ke tempat les yang mengkhususkan untuk alumni yang belum masuk ke PTN. Mungkin ini juga langkah yang terlewati ketika aku SMA kemarin. Anteh lupa memasukkanku ke tempat les intensif. Aku juga menyadari masih sangat banyak waktu belajarku yang kuhabiskan untuk bermain dan mengetahui hal-hal baru yang tak kudapatkan ketika aku di kampung. Nia juga sama. Ia satu tempat les denganku, meskipun tidak satu kelas karena jenis ujian yang kami ambil berbeda. Rencananya, ia juga ikut memilih Psikologi Udayana. Kalau aku dan dia sama-sama diterima, kami sefakultas. Meskipun psikologi adalah jenis ujian sosial humaniora, tetapi masuk ke dalam fakultas kedokteran, artinya satu fakultas denganku. Itu akan menjadi sesuatu yang sangat membahagiakan. Menggapai cita-cita tanpa berpisah dengan orang yang disayang. 

 Sejak kejadian depresi dan Nia selalu ada untukku, aku merasa berbeda dengannya. Aku merasa seharusnya ia bukan tercipta sebagai adikku. Aku ingin terus bersamanya. Ketika ada di dekatnya, duniaku serasa milik berdua. Jantungku berdegup cepat. Tak seharusnya aku seperti ini dengan adikku sendiri. Namun, aku juga tak mengerti bagaimana hal ini dapat terjadi. Apalagi ketika ia memelukku, lama kelamaan, rasanya bukan kehangatan yang kudapatkan, melainkan sesuatu yang panas dan membuatku ingin melakukan sesuatu agar panas itu segera menghilang. Kembali lagi, sayangnya ia adalah adikku. Aku tak bisa melakukan apapun yang dapat merusaknya, sebaliknya aku harus menjaganya. Untungnya setelah perasaan aneh ini muncul, ia tak pernah tidur sekamar denganku... karena aku takut. 

 Sekarang, terhitung sudah 1 tahun 8 bulan kami berada di Jakarta. Itu artinya, Nia sudah memasuki semester 2. Baru memasuki semester 2 bulan ini. Perasaanku masih sama bahkan terus membesar seperti sesuatu mendesakku untuk mengungkapkan ini. Semua terasa berbeda. Tanpa sadar, aku memperlakukan Nia juga berbeda, tidak seperti kakak dan adik pada umumnya. Aku tahu ini sangatlah salah, tetapi tak ada yang dapat kulakukan. Entahlah, Nia tahu atau tidak tentang ini, tetapi aku tidak ingin mengatakan ini padanya. Aku takut ia akan menjauh dengan kakaknya yang bersikap aneh selama 6 bulan terakhir. 

 Sekarang adalah malam Jumat. Aku sedang menikmati teh hangat sambil selimutan di kamar karena di luar sudah mulai gerimis kecil dan langit yang sangat mendung dari jam 5 sore tadi. Mungkin aku jahat kalau aku berharap supaya hujan turun deras dan petir menyambar keras agar Nia menghampiriku dan memelukku. Aku sangat suka ketika seperti itu. Meskipun terkadang, aku juga takut jika aku tak dapat mengontrol diriku sendiri, tetapi selama 6 bulan ini, aku masih dapat mengontrol diriku untuk tidak melakukan apapun. 

 "Cetarrrrrr." Suara petir menyambar sangat jelas terdengar. Terima kasih, Tuhan, Engkau telah mengabulkan permintaanku malam ini. 

 Benar saja, beberapa menit kemudian, dewi kecilku ini ke kamarku dan menghampiriku di kasur dengan wajahnya yang bersinar seperti bulan di kala malam yang cerah. Ia memelukku sangat erat sampai ekspresi ketakutannya berubah menjadi kenyamanan. Tentunya, aku juga memeluknya erat, terkadang secara refleks aku juga mengurai rambutnya dan mengelus lembut pipi halusnya. Aku ingin menyentuh bibirnya, tetapi mungkin itu akan sangat aneh bagi Nia. Jadi, aku tahan keinginanku yang satu itu. 

 Petir memang sudah tak terdengar lagi, tetapi hujan masih terus turun sampai jam 10 malam. Sepertinya Nia sudah sangat mengantuk. Terlihat kelopak matanya sudah mulai menurun. Jadi, aku tarik selimut dan aku lapisi di atasnya agar ia tak kedinginan. 

 "Kamu mau tidur di sini, Dek?" Ia tidak menjawabnya, hanya mengangguk lalu mengubah posisinya menghadapku dan mulai memejamkan matanya.

Tuhan, aku semakin takut. Wajah manisnya sangat dekat denganku. Kami sudah sangat sering seperti ini dulu, tetapi sudah berkali-kali aku katakan perasaanku sekarang berbeda padanya. Bolehkah aku menyentuhnya sedikit saja? Sedikit tak mengubah apapun pada kami. Tanganku mulai bergerak dari ujung kepalanya dan mengelus helai demi helai rambutnya. Lalu, turun pada pipi. Wajahku mendekat padanya. Mencium keningnya lembut, lalu turun ke pipi, ke hidung, dan... beranikah aku untuk mengecup bibirnya? Jariku sudah bergerak dari pipi menuju bibir. Menggunakan jariku untuk menyentuh bibirnya. Sangat lembut. Siapa pria beruntung yang akan mendapatkan bibir ini nanti? Tentunya bukanlah aku. Aku adalah kakaknya yang harus menjaganya, bukan menariknya ke jurang kesesatan. Tiba-tiba, Nia membuka matanya dan menatapku dengan tatapan yang tak dapat kudeskripsikan. Begitu dalam. Matanya juga begitu indah. Di dalam sana, terdapat gen dalam diri kami yang sama. Tak dapat disatukan lagi. Tuhan, aku tak kuasa menahannya. 

  Nia's PoV 

Semenjak beberapa bulan yang lalu, entah mulai kapan, aku merasa ada yang berbeda dari Mas Neo. Ia sangat perhatian denganku, tetapi berbeda dengan yang sebelumnya. Sekarang, ia lebih suka menyentuhku dan terkadang membuatku merasa risih dan berpikir ia bukanlah kakakku yang dulu, tetapi lama-kelamaan, apa yang dirasakan Mas Neo, aku rasakan juga. Tidak tahu pasti apa nama rasa ini. Yang jelas, jika ini adalah perasaan suka layaknya perempuan dan laki-laki pada umumnya, ini sungguh salah. 

Selama di SMA, aku belum pernah menyukai seorang laki-laki karena yang ada di otakku hanya tertuju pada Mas Neo. Bayangkan bagaimana rasanya jika duniamu hanya dikelilingi dia saja. Ya, aku memang bertemu dengan orang lain, tetapi tidak intens 1x24 jam. Jika memang ini yang dinamakan suka kepada kakak sendiri, jelas aku tahu ini salah, tetapi apakah ini hal yang wajar? Maksudku, ya siapa yang tidak akan jatuh hati jika diperlakukan amat seperti ratu setiap hari? Di luar hubungan sedarah, tentu aku akan menikah dengannya dan takkan membiarkan satu orang pun menyentuhnya. Sayangnya tak bisa dan takkan pernah bisa. 

 "Nia." Jarinya masih menempel di bibirku dan entah mengapa aku senang untuk membiarkanya tetap di situ. Matanya terkunci padaku tanpa melakukan apapun, lalu aku juga melakukan hal yang sama padanya. Tuhan, jika ini salah, jangan biarkan aku terjerumus dalam sebuah kesalahan ini. Perlahan ia memajukan wajahnya lebih mendekat padaku. Semakin dekat, wajah dan tubuhku semakin panas. Ini bukan kakakku! Aku takut! Tetapi aku tidak bisa menolaknya! 

 "Dek, hari ini kamu tidur di kamar kamu aja ya." Mas Neo memundurkan wajahnya lagi menjauh dariku lalu menarik selimut menutupi setengah badannya. 

 "Emang kenapa?' Bodohnya aku sempat bertanya padahal aku sudah tahu ini usahanya untuk menghindar dari hal itu. 

 "Udah, kamu di kamar sendiri ya. Aku mau istirahat, nih," pintanya sekali lagi. Oke, Mas. Aku mengerti. Terima kasih. 

 Tak hanya sekali ia berlaku seperti itu padaku. Sekarang, ia sedikit sering melakukan hal seperti itu ketika aku sedang berada di dekatnya. Tidak sama persis seperti itu, tetapi menyentuh dengan rasa yang berbeda dari seorang kakak. Pada awalnya aku masih menanggapinya sebagai hal yang wajar dan menyenangkan, namun semakin lama aku semakin risih. Di samping perasaanku yang mungkin senang berada di dekatnya, tetapi aku merasa takut. Kami di rumah hanya berdua meskipun ada pembantu dan Anteh juga suaminya, tetapi waktu kami berdua di rumah jauh lebih banyak dan membuat semua kemungkinan itu sangat mungkin terjadi. 

Sebuah KesalahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang