Kehidupan Baru

136 9 0
                                    

14 tahun yang lalu.

Nia's PoV

Hari ini hari ulang tahun Mas Neo yang ke-17. Semua merayakannya dengan penuh kebahagiaan, termasuk aku, adiknya. Mama dan papa membuat pesta kecil-kecilan di sini bersama sanak keluarga lainnya. Kami tinggal di daerah kecil, lumayan jauh dari ibu kota. Kami tinggal di kampung papa. Mamaku orang Jakarta, tetapi ia memilih untuk tinggal di sini karena kekeluargaan yang tercipta sangat terasa kental. Aku dan Mas Neo adalah anak kesayangan dari keluarga ini. Papa mempunyai dua adik, Om Malik dan Tante Fitri, sedangkan mama mempunyai satu adik yaitu Tante Vintha, yang biasa kita panggil Anteh. Mama hanya memiliki Anteh Vintha yang tinggal di Jakarta bersama suaminya. Anteh Vintha adalah adik mama yang perbedaan umurnya cukup jauh. Nenek meninggal ketika melahirkan Anteh. Maka dari itu, mama dan Anteh sangat dekat karena mereka tidak punya sanak keluarga lain. Namun, ketika mereka memiliki pasangan hidup masing-masing, mereka diharuskan berpisah untuk mengurus keluarganya sendiri-sendiri. Anteh Vintha juga sempat tinggal bersama mama dan papa di sini, sebelum ia memutuskan untuk menikah dan menjalankan kehidupannya di Jakarta bersama suaminya. Mereka menikah sudah lima tahun, tetapi silaturahmi masih terus bersambung sampai sekarang meskipun jaraknya lumayan jauh. Kalau Om Malik, masih lajang, sedangkan Tante Fitri baru tiga tahun menikah dan memiliki satu anak berumur dua tahun.

"Ayo, Neo. Tiup lilinnya!" Teriakan dari Om Malik yang sudah bersiap meniup trompet.

"Doa dulu dong. Neo mintanya apa," ujar mama.

"Semoga aku bisa kuliah di Jakarta dan jadi dokter!"

"Aminnnn!"

Mas Neo memang sangat ambisius untuk menjadi dokter, sedangkan aku ingin menjadi psikolog. Sama sih, intinya membantu dan menolong orang lain. Menurut kami, itu mengasyikan dan membuat kami terlihat seperti pahlawan tanpa tanda jasa.

Pesta kecil ini pun dimulai setelah Mas Neo meniup lilinnya dan memotong kuenya. Aku diberikan potongan ketiga setelah mama dan papa. Aku dan Mas Neo memang dekat sedari kecil, ya meksipun tidak terlalu dekat. Mama dan papa selalu mengajarkan kebersamaan untuk aku dan Mas Neo. Dari lahir, kami di sini dan menempuh pendidikan hanya di sekitar sini, jadi temannya ya itu-itu saja. Oh iya, aku dan Mas Neo hanya berbeda satu tahun, mungkin itu sebabnya kami sering bertengkar karena hal kecil, namun makin besar, aku dan Mas Neo malah makin jarang berkomunikasi karena kesibukan kami sendiri-sendiri.

Papaku bekerja sebagai guru SMP di sini, sedangkan mama hanyalah seorang ibu rumah tangga. Jadi, kami sangat sering menghabiskan waktu berasma di rumah. Aku dan Mas Neo satu SMA, tetapi aku jurusan IPS, sedangkan Mas Neo jurusan IPA. Ya, sama halnya dengan jurusan yang ingin kami pilih di kuliah nanti.

Empat bulan kemudian, semuanya berjalan seperti biasa. Sayangnya, papa akan ada dinas seminggu keluar pulau bersama mama. Mama ingin menemani papa selama seminggu. Mama pikir, aku dan Mas Neo sudah besar dan dapat mengurus diri kami sendiri. Lagipula, di sini banyak sanak saudara lainnya, jadi akan lebih mudah. Mama dan papa sudah sangat siap untuk pergi. Mereka memelukku dan Mas Neo dengan hangat. Rencananya, mereka akan naik kapal agar biaya perjalanannya lebih terjangkau daripada naik pesawat.

"Nanti seminggu papa sama mama keluar pulau, kalian jangan nakal ya."

"Iya, Pa."

"Mama sama papa cepet pulang ya," pintaku. 

"Iya, pasti." Mama mencium keningku dan mengelus rambutku. 

 "Beliin oleh-oleh ya!" Permintaan Mas Neo. 

 "Iya. Kalau sempat." 

 "Ya udah, hati-hati, Ma, Pa!" Pesanku bersama Mas Neo.

Semua keluarga juga berkumpul untuk mengucapkan selamat tinggal dan selamat sampai tujuan pada mama dan papa. Mereka sudah dua kali sih pergi keluar daerah untuk dinas, tetapi kali ini tujuannya cukup jauh dan waktunya cukup lama. Lalu, berangkatlah mama dan papa menggunakan mobil dari sekolah sampai ke pelabuhan terdekat dengan beberapa guru lainnya yang juga ikut dinas. Yah, aku dan Mas Neo berdua lagi, tetapi tak apa, masih banyak keluarga lainnya, jadi kami tidak sendirian di sini. Mereka sangat menyayangi kami seperti anak mereka sendiri. Tidak hanya ada keluarga Om Malik dan Tante Fitri, tetapi juga ada kakek nenek dan adik-adik dari nenek beserta cucu-cucunya. Jadi, cukup ramai keluarga di sini meskipun di rumah aku hanya berdua dengan Mas Neo. Oh iya, rumah seluruh keluargaku itu seperti satu kompleks, jadi tentangga-tetangganya juga masih berupa keluargaku. Om Malik juga tinggal serumah denganku dan papa mama karena ia masih lajang. Namun, meskipun nanti ia akan menikah, sepertinya kami masih akan tinggal serumah sampai ada renovasi rumah yang lain karena tidak bisa menambah rumah lagi di kompleks ini. Delapan belas meter ke depan baru sudah rumah tetangga yang bukan keluargaku. 

 Selama enam hari tanpa mama dan papa, aku bermain bersama para sepupu-sepupuku dan anaknya Tante Fitri yang masih mungil, sedangkan Mas Neo sudah mulai menyicil untuk belajar UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi), padahal itu masih satu tahun lagi. Om Malik sering menelpon mama dan papa untuk menanyakan kabar. Syukurlah semuanya baik-baik saja. Padahal baru enam hari, tetapi aku sering menangis karena merindukan mereka. Mas Neo juga senang menyendiri. Karena kami terbiasa selalu bersama, jadi ketika dipisah dengan waktu cukup lama, aku dan Mas Neo seperti kehilangan pedoman hidup. Tak apa, tinggal sehari lagi aku akan bertemu dengan mereka. Keesokan harinya, hari yang aku dan Mas Neo tunggu-tunggu. Aku dan dia duduk di halaman depan sambil menunggu mama dan papa pulang. 

"Mama sama papa pulang jam berapa, Mas?" 

 "Enggak tau. Tungguin aja." 

 "Hari ini kan?" 

 "Iya." Oke. Aku akan tunggu sampai tampak batang hidung mama dan papa di depan rumah. 

Tiba-tiba, suara telepon berbunyi. Karena Om Malik di rumah, jadi yang mengangkat teleponnya adalah dia. Itu dari mama dan papa kan! Aku langsung berdiri dari tempat dudukku di halaman depan lalu menghampiri Om Malik yang sedang telepon. Ia membelakangiku sambil berbicara. Tak ada angin, tiba-tiba telepon yang sedang Om Malik genggam terjatuh. Aku yang berada di belakangnya langsung berpindah posisi ke depan Om Malik. Air mata sudah membanjiri pipinya. 

 "Eh, Om? Kenapa, Om?" Ia masih belum menjawabnya dan menatap kosong ke depan. 

 "Mas Neo! Mas Neo! Sini!" Teriakku panik. Mas Neo pun berlari menghampiri aku dan Om Malik di sini. 

 "Kenapa, Om? Duduk dulu, Om. Duduk." Mas Neo membantu Om Malik untuk duduk di sofa dan menenangkan diri, sedangkan aku mengambil air putih hangat dan memberikannya pada Om Malik agar ia lebih tenang. 

 "Tolong panggilin Fitri," pintanya dengan nada lemas.Mas Neo berlari ke rumah Tante Fitri untuk mengajaknya ke rumah dan bertemu dengan Om Malik. 

 "Kenapa, Mas?" Tante Fitri yang juga tidak tahu apapun mengambil posisi duduk di sebelah Om Malik. Lalu Om Malik membisikkan sesuatu pada Tante Fitri. Ekspresi Tante Fitri berubah kaget dan seketika mengeluarkan air mata juga. Aku dan Mas Neo saling bertatapan bingung. 

"Kenapa?" Sekarang gantian, Om Malik dan Tante Fitri yang bertatap-tatapan.Mereka seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi tertahan. 

 "Mama sama papa kalian... meninggal dalam perjalanan," ujar Tante Fitri sambil menunduk lalu memperbesar intensitas tangisannya. 

 "HAH?" Aku dan Mas Neo sama-sama kaget dan tidak percaya. 

 "Ada hujan petir di lautan yang membuat kapalnya terbalik," penjelasan Om Malik sama seperti Tante Fitri.

ENGGAK! GILA! INI GILA! INI TIDAK MUNGKIN TERJADI! Mama dan papa tidak meninggalkan pesan apapun pada kami. Ini tidak mungkin terjadi! 

 "Yang tabah kalian. Kita di sini ada buat kalian."

Tiba-tiba, Mas Neo berdiri dari sofa, melempar toples kaca yang ada di atas meja sampai pecah berurai. 

 "NEO! SABAR!" Om Malik berdiri dan berusaha memegangi Mas Neo yang tidak bisa mengontrol dirinya, sedangkan Tante Fitri terus memelukku. Om Malik masih saja mengurusi Neo yang tak kunjung dapat mengontrol dirinya sendiri. Lalu, Tante Fitri membawaku pergi dari rumahku dan mengabari sanak saudara yang lain untuk mempersiapkan ketika jenazahnya datang. Ia juga mengabari Anteh Vintha yang ada di Jakarta untuk segera ke sini. 

 Aku benar-benar tak percaya sampai saatnya dua jenazah itu datang. Itu benar mama dan papa dengan raga yang sudah tak bernyawa lagi. Barulah di situ aku tidak bisa mengontrol diriku, sedangkan Mas Neo masih belum diperbolehkan keluar kamar oleh Om Malik. Semua wajah benar-benar memerah sedih. Tak ada satu pun senyum di bibir kami semua. Apalagi aku dan Mas Neo yang ditinggalkan begitu saja tanpa pesan. Semua berlangsung begitu saja. Bagaimana caranya aku dan Mas Neo bisa hidup normal jika seperti ini? Malaikat kami telah tiada. Siapa yang akan mengurus kami berdua?

Sebuah KesalahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang