Kesalahan (13)

87 10 1
                                    

Nia's PoV 

Lega rasanya dapat keluar dari penjara itu. Ternyata itu benar-benar tidak enak. Aku dapat merasakan apa yang Mas Neo rasakan kala itu. Perawat di sana memang baik-baik, tetapi aku tidak butuh kebaikan mereka. Yang aku butuhkan adalah kasih sayang dan dukungan dari keluarga. Anteh dan Mas Neo adalah satu-satunya keluarga yang kupunya. Namun, setelah aku pulang dari sana, aku dan Mas Neo masih seperti dihukum, tidak boleh bertemu dan berkontak fisik. Kami hanya sekelebat lewat dan saling bertatapan sebentar. Ditambah kabar buruk dari Anteh kalau ia dan Om Willy akan bercerai membuat kesehatan mentalku yang sudah membaik kembali menurun, tetapi aku harus menjaga kesehatan mentalku karena aku tak ingin kembali ke dalam penjara mental tersebut. 

 Sudah hampir tiga minggu dari masalah yang telah terjadi, sekarang semua kembali normal. Tidak, tidak sepenuhnya normal, aku masih seperti narapidana yang dipenjara. Mba Yanti dan Mba Titi sudah tidak ada lagi di rumah. Aku menyesali perbuatanku yang membuat semua orang ikut hancur. Andaikan ini tak pernah terjadi. Namun, apapun itu, yang paling aku sesali adalah calon bayi ini. Bagaimana tidak? Aku akan membuat seluruh hidupnya hancur ketika ia lahir nanti. Karena Anteh tak lagi bekerja dan hanya memanfaatkan uang yang ia punya untuk menyewakan properti seperti kontrakan yang ia beli, jadi ia hanya di rumah, menjagaku dan Mas Neo agar tidak melakukan hal bermacam-macam lagi. Ya, aku juga berjanji pada diriku untuk tidak melakukan hal yang membuat seluruh duniaku hancur. 

 Hari Sabtu di minggu ketiga, Anteh mengajakku ke dokter kandungan untuk mengecek calon bayi ini. Takut, gelisah, khawatir, semua bercampur menjadi satu. Sayangnya, Mas Neo tidak boleh ikut ke sini. Padahal, ia kan ayah dari calon bayi ini, tetapi aku tahu ini juga untuk kebaikan aku dan Mas Neo. Aku dan Mas Neo tidak boleh pergi dari dunia ini tanpa bertanggung jawab. 

 Pertama, aku dan Anteh bertemu dengan seorang dokter kandungan bernama Dokter Geisha, ia sangat manis. Aku yakin, ketika sudah bercerita tentang apa yang sebenarnya terjadi, takkan ada lagi senyuman itu di bibirnya. Namun, aku salah. Ia masih tersenyum meskipun aku dan Anteh sudah mengungkapkan bahwa ini adalah pembuahan di luar nikah. Mungkin ia juga sudah biasa menghadapi hal seperti ini. Dalam kedokteran, kata Mas Neo, ada sumpah tersendiri yang entah apa isinya. Mungkin ia telah melakukan sumpah itu dan tetap melayaniku dengan baik. 

 Setelah pemeriksaan yang sedikit rumit, ia memberitahuku dan Anteh berapa usia kandungannya. Ia mengatakan usia kandunganku sudah menginjak 7 minggu karena sudah terlihat kantung kehamilannya pada rahimku. Menurutku, ini sedikit tidak mungkin kalau kehamilanku bermulai semenjak di Bali karena aku dan Mas Neo pergi ke Bali sekitar 5 minggu yang lalu. Jangan-jangan ini sudah terjadi semenjak pertama kami melakukannya? Oh Tuhan.... Sangat sangat salah. 

 "Tidak apa-apa, Adik. Jangan takut. Semangat yah!" Ia menyemangatiku. Jika saja ini hanya hamil di luar nikah biasa, mungkin aku masih dapat menerimanya dan merawat anaknya seperti ibu pada umumnya. Masalahnya, anak ini tidak akan seperti anak pada umumnya. Aku sangat yakin itu. 

 "Anteh, tanya soal itu," bisikku pada Anteh perlahan. Anteh menghela napas dan menyiapkan dirinya untuk bertanya pada Dokter Geisha. 

 "Ehm, maaf, Dok. Mau tanya. Untuk melihat keadaan bayinya secara utuh atau sudah bisa melihat jika ada apa-apa dengan calon bayinya itu saat usia ke berapa ya?" 

 "Oh, bisa pada minggu kedelapan belas sampai kedua puluh dua. Itu secara fisiknya, Bunda." Berarti mulai dari enam bulan ya? Jika saja Mas Neo diterima di Udayana, ia tak bisa melihat bayinya di sini. Entahlah, aku mengharapkan yang terbaik saja. 

 "Oh, oke, Dok. Dokter ada jadwal hari apa dan jam berapa ya? Nanti saya periksa sama Dokter Geisha aja." 

 "Boleh. Saya ada hari Selasa, Jumat, dan Sabtu jam 9 sampai 12 siang." 

Sebuah KesalahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang