Esok harinya, aku tak ingin mencari masalah untuk ke kamar Mas Neo sekalipun hanya lewat di depannya. Aku ingin membuktikan jika aku baik-baik saja. Mungkin ada sesautu yang salah di kamar Mas Neo, jadi aku mual berada di sana. Diam di kamar dan berharap semua akan baik-baik saja sampai UMPTN. Tak terasa sudah 3 hari lagi. Bahkan aku lupa ingin belajar apa. Rasanya tidak mood untuk kuliah meskipun jalanku untuk perkuliahan tidak hanya sampai pada UMPTN, tetapi entah mengapa aku merasa tidak ingin berkuliah.
Mas Neo masuk ke kamarku untuk berpamitan berangkat bimbel. Sudah rapih, tampan, dan gagah. Kuharap akan menjadi suamiku kelak. Legal maupun ilegal.
"Aku berangkat ya, Dek. Kamu masih gak mau bimbel? Atau masih sakit?" Ia mencium keningku dan menggenggam halus pipiku.
"Enggak, Mas. Aku di rumah aja. Belajar sendiri lebih masuk daripada bareng-bareng."
"Oh gitu. Iya udah."
"Mas...." "Ya?"
"Kalo aku gak bisa dapet Udayana, maaf ya."
"Kenapa kamu ngomong gitu?"
"Entah, tapi aku tetep usahain supaya bareng sama Mas terus kok."
"Iya, Nia. Itu yang aku mau. Aku berangkat dulu ya. Makan dulu sana. Mba Titi udah masak sarapan."
"Iya."
"Daa!" Lalu ia keluar dari kamar dan menutup pintu kamar.
Harus selalu bersamanya. Mau bagaimanapun harus terus bersamanya meksipun dunia tidak merestui kami. Aku pergi sarapan di ruang makan. Namun, aku baru melihat Mba Titi dari tadi. Aku belum melihat adanya Mba Yanti. Kemana dia? Kemarin pulang lebih cepat, sekarang sudah hampir jam 9 ia belum juga datang.
"Mba Yanti kemana, Mba?"
"Tadi katanya mau beli obat dulu kalo gak salah." Obat untukku atau untuknya?
"Oh, iya." Aku lanjut makan dan menghiraukan itu.
Selang beberapa menit kemudian, Mba Yanti datang membawa satu plastik hitam kecil.
"Eh, Dek Nia udah bangun. Maaf ya telat. Dek Neo udah berangkat bimbel ya?"
"Iya, Mba. Gak papa. Udah berangkat tadi."
"Oke deh." Lalu ia menaruh plastik belanjaannya di atas meja dekat piring yang sedang kupakai untuk makan. Obat apa ya? Ah, ya sudahlah. Bukan urusanku juga.
Sehabis makan, aku kembali ke kamar. Membuka buku untuk belajar meskipun masih tidak mood untuk belajar. Aku malah menggambar di buku soal. Menggambar aku dan Mas Neo yang saling mencintai, tetapi dunia tidak merestui karena status kami sebagai adik dan kakak. Kami tidak bisa menjadi keluarga karena kami sudah terlahir dalam satu keluarga. Pahit rasanya. Apakah jika ia menjadi orang lain, aku akan bertemu dengannya dan kisah kami berakhir bahagia? Bagaimana jika aku dan dia tidak bertemu ketika menjadi orang lain? Takdir kami adalah sebagai adik dan kakak. Namun, kami ingin lebih dari itu.
"Dek Nia." Mba Yanti mengetuk pintu kamarku dan membuatku langsung mengganti halaman buku yang telah aku gambar-gambar.
"Iya, Mba." Aku turun dari kasur lalu membuka pintunya dan membiarkannya masuk.Ia tidak membawa sapu atau apapun yang biasanya ia bawa ketika ke kamarku. Ia malah membawa satu plastik hitam yang tadi ditaruh di dekatku saat aku makan. Karena aku pikir ia ke sini bukan untuk membersihkan kamarku, aku menyuruhnya duduk di pinggir kasurku dengan pandangan sedikit asing padanya. Pandangan ia kepadaku juga seperti tidak yakin dan ingin mengungkapkan sesuatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Kesalahan
General FictionBagaimana jika kamu terlahir sebagai anak hasil inbreeding kesalahan kedua orang tuamu di masa lalu? Mariera Valinea Althaf, biasanya dipanggil Era. Bocah kecil berumur 12 tahun yang mengalami CIPA, penyakit langka yang tidak bisa merasakan sakit. N...