Sampai malam hari, aku masih di kamar bersama ayah, entah bunda di mana. Malam ini, aku memutuskan untuk tidur di kamar bersama ayah, tetapi aku janji besok pagi aku akan menghampiri bunda di luar. Sudah hampir satu setengah jam aku memejamkan mata, tetapi tak kunjung tidur. Perasaanku kurang enak. Malam ini terasa sangat sunyi, tak ada pelukan hangat dari kedua malaikatku. Ayah berbaring membelakangiku sehingga aku tidak bisa memeluknya. Apa lebih baik aku menghampiri bunda di depan ya? Bunda pasti kedinginan di depan. Aku membawa guling, bantal, dan selimut untuk bunda di depan. Sekarang sudah jam 12 malam. Aku mencari-cari keberadaan bunda, ternyata ia sedang berbaring di sofa ruang tamu sambil menggunakan sehelai kain tipis yang melapisi tubuhnya. Kasihan sekali bunda. Untung aku menghampirinya sekarang, jadi dia takkan merasa kedinginan lebih lama.
"Bun." Aku berjalan menghampirinya sambil memberikan guling, selimut, dan bantal pada bunda. Ia membuka matanya lalu tersenyum manis padaku sambil mengambil semua barang yang aku berikan.
"Makasih, sayang." Ia menggelar selimutnya dan menaruh bantal di belakang kepalanya.
"Kamu balik aja ke kamar," perintahnya.
"Sini aja deh, temenin bunda."
"Jangan, dingin. Nanti kamu sakit loh. Dua hari lagi kan hari MOPDB pertama kamu. Masa sakit?" Iya juga ya.
"Kalo bunda sakit juga gimana? Nanti siapa yang jagain aku?"
"Enggak. Aku kuat kok! Aku gak akan sakit. Kayak gini doang mah masalah kecil." Bunda menyentil ujung jari kelingkingnya melambangkan kalau ini adalah masalah kecil sambil tersenyum meyakinkan.
"Kalau masalah sama ayah? Kecil juga?"Senyumannya berubah drastis. Oh, Tuhan. Sepertinya aku salah berbicara lagi.
"Aku gak ada masalah sama ayah kamu kok."
"Kenapa pisah?"
"Dari dulu kita emang kayak gini, Era. Kalau kita lagi sedih, kita butuh ruang sendiri. Aku diajarin sama mama papa aku dulu kayak gini. Kalo kita lagi sedih, banyak pikiran, kita butuh ruang sendiri untuk menenangkan diri dan meluapkan emosi. Jadi, kalo aku atau ayah kamu lagi sedih, biarkan kita sendiri dulu ya. Nanti lama-lama juga normal lagi."
"Kalo udah lama masih kayak gitu gimana, Bun?"
"Bawa ke dokter."
"Emang dokter bisa nyembuhin sedih, Bun?
"Bunda menghela napas, tersenyum, menyuruhku duduk di sampingnya, lalu merangkulku.
"Dokter itu ada yang menyembuhkan penyakit fisik, ada juga yang menyembuhkan penyakit mental. Penyakit mental itu gak keliatan, cuma ada di dalam jiwa, dan cuma kamu yang bisa rasain sakitnya. Misalnya kamu setres, banyak pikiran, maunya sendiri mulu, itu bisa jadi penyakit mental. Ada dokter khusus yang menangani itu, namanya psikiater dan psikolog. Kalo psikolog, itu hanya sekadar nasihat dan terapi-terapi tanpa obat, sedangkan psikiater itu pake obat dan harus punya S2 dulu."
"Jadi, penyakit mental itu bisa pake obat ya, Bun?"
"Iya, bisa. Dulu bunda mau jadi psikolog, tapi gak jadi, hehe."
"Kenapa gak jadi, Bun?"
"Aku kan gak kuliah, kalo jadi psikolog ya harus kuliah jurusan psikologi dulu, dalet gelar, baru boleh kerja jadi psikolog."
"Terus kenapa bunda gak kuliah aja?"
"Ya sekarang mah gak bisa kali, Ra. Kan aku udah urusin kamu."
"Emang kuliah itu ada batasan umurnya juga ya?"
"Tergantung. Kalo di negeri cuma bisa lulusan dari 3 tahun sebelumnya. Kalo swasta kayaknya gak ada batasan umur."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Kesalahan
General FictionBagaimana jika kamu terlahir sebagai anak hasil inbreeding kesalahan kedua orang tuamu di masa lalu? Mariera Valinea Althaf, biasanya dipanggil Era. Bocah kecil berumur 12 tahun yang mengalami CIPA, penyakit langka yang tidak bisa merasakan sakit. N...