Rencana kami malam ini akan berjalan sekitar hotel saja karena esok paginya sudah pulang, jadi tidak boleh terlalu capek. Karena hanya di sekitar hotel, aku dan Nia tidak diantar oleh Pak Addin. Berjalan berdua menyusuri lorong-lorong jalan gelap yang diterangi lampu jalanan membuat suasana sangat romantis. Berangkulan sambil berjalan dan bercanda adalah hal kecil penuh makna yang membuatku tak ingin menyudahi ini semua. Kami jalan cukup jauh dari hotel karena terbawa suasana dan tidak fokus pada tujuan kami. Barulah jam 10 malam aku dan Nia berjalan kembali ke hotel.
Di pertengahan jalan, Nia memintaku untuk menggendong belakangnya sampai ke hotel. Aku pun menurutinya dan menggendongnya sampai ke hotel. Di hotel, kami hanya mencuci tangan, kaki, dan wajah. Tidak berganti baju. Mengapa? Karena aku tahu setelah ini kami takkan memakai sehelai benang pun. Membuat banyak sekali tanda cinta di tubuhnya yang mungil ini agar dunia tahu, ada seseorang yang sangat mencintainya di sini, yaitu aku, kakaknya. Aku bingung mengapa dunia menganggap ini adalah hal yang tabu. Padahal, hubungan ini sama seperti hubungan normal lainnya. Seorang laki-laki yang mencintai seorang perempuan yang umurnya tidak beda jauh. Lalu apa? Status keluarga? Ya, bukan diri kita sendiri yang menginginkan terlahir dari sebuah keluarga yang sama. Untuk apa Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan yang tidak boleh mempunyai hubungan? Aku akan menjadi seorang dokter yang harus memahami gen-gen dalam tubuh, tetapi aku tidak peduli tentang gen aku dan Nia yang katanya 'terlarang'. Aku menikmatinya, Nia juga menikmatinya. Siapa yang dirugikan? Tidak ada yang dirugikan.
Keesokan harinya, aku dan Nia sudah siap-siap dari hotel menuju bandara. Sebelumnya, kami sarapan terlebih dahulu di hotel kami, barulah menuju bandara. Pak Addin menyarankan kami untuk mampir ke tempat oleh-oleh khas Bali. Ya, aku dan Nia hanya mengikuti saja. Nia membeli banyak sekali oleh-oleh, terutama pie susu yang sudah sangat terkenal di Bali. Ia juga membeli kacang-kacangan, sabun, aromaterapi, semua yang ia lihat, ia beli. Dasar anak ini. Untung aku sayang.
"Gak bisa diem banget sih kamu."
"Hehe, abisan lucu-lucu semua, Mas. Jadi mau beli tokonya." Senyuman manis dan tatapan tanpa berdosa itu sangat melemahkanku.
"Ya enggak gitu juga dong. Jangan lama-lama, ah. Nanti telat loh."
"Oke!"
Barulah setelah Nia puas memgitari pusat perbelanjaan dan memasukkan barang-barang yang ingin dibeli dalam keranjang, kami kembali ke mobil. Tak lupa juga, kami membeli makanan untuk Pak Addin.
Di bandara, Pak Addin mengantarkan kami hanya sampai sebelum imigrasi. Setelah itu ia pulang. Aku dan Nia sangat berterima kasih padanya yang telah mengantarkan dan menemani kami berkeliling surga dunia dalam 3 hari ini. Di ruang tunggu penumpang, Nia terlihat sudah mulai kelelahan. Kasihan. Aku hanya merangkulnya dan membiarkannya bersandar di pundakku sambil menunggu pesawat. Mengelus rambutnya yang halus dan sesekali mengecup keningnya.
"Capek, kan?"
"He'em," jawabnya dengan nada melemah.
"Sampe rumah langsung tidur ya."
"Iya."
"Untung besoknya Sabtu. Jadi, masih ada sisa 2 hari lagi buat istirahat sebelum balik ke tempat bimbel."
"Iya, Mas. Aku mau tidur aja deh besok seharian."
"Haha, enggak seharian juga dong."
"Ya abisan aku capek. Badan aku pegel-pegel."
"Minta Mba Yanti atau Mba Titi pijitin aja."
"Kalo aku buka baju, nanti keliatan?" Oh iya. Untung Nia belajar dari kesalahan. Kalau kemarin hanya satu di dekat lehernya, sekarang ada banyak di punggung maupun sekitar dadanya, tetapi aku juga telah belajar dari kesalahan, jadi aku tidak membuat di tempat yang mudah terlihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Kesalahan
General FictionBagaimana jika kamu terlahir sebagai anak hasil inbreeding kesalahan kedua orang tuamu di masa lalu? Mariera Valinea Althaf, biasanya dipanggil Era. Bocah kecil berumur 12 tahun yang mengalami CIPA, penyakit langka yang tidak bisa merasakan sakit. N...