Bagian 7

3.1K 57 2
                                    


Satu-satunya orang yang memanggil namanya dengan sebutan Kara adalah Adra. Tasya hendak melangkahkan kakinya, antara takut dan masih menyimpan sakit dihati. Belum genap dua langkah dia berjalan, tangannya dicekal. Tasya menoleh ke arah sumber suara tersebut dan benar, itu Adra. Entah mana yang lebih cocok diutarakan, antara disambut atau disambit dengan senyum tanpa dosa dari wajah Adra.

"Kara, ini aku Adra. Samudra Radika Abinagara" tambahnya.

"mantanmu" suaranya memelan.

Kaki Tasya seperti kehilangan tulang sebagai penyangga, lemas. Ia planga-plongo ditempat, mundur sedikit agar tidak terlalu dekat dengan Adra saja rasanya tak mampu. Bingung akan kutukan yang hari ini menimpanya. Dalam hatinya berkata, "apalagi ini Tuhan?!"

Yang ia inginkan hanya liburan tanpa gangguan. Ia bahkan sama sekali tidak kepikiran kalau akan bertemu Adra disini. Penasaran dengan keelokan kota Semarang yang membawanya kesini, bukan harapannya untuk bertemu Adra.

Tasya tersenyum kaku.

Masih konsisten dengan senyum polosnya, "kamu disini juga?" ucap Adra lagi.

Tasya membayangkan apa isi kepala Adra, setelah lama hilang lalu kembali dengan rasa tanpa bersalah? Semudah itu? Pasti dia sakit jiwa!

"iya" balas Tasya seadanya.

Tasya sama sekali tidak suka ditempatkan pada posisi sekarang ini. Canggung sekali rasanya. Kalau dulu Adra memilih tetap menjadi teman Tasya dan sekarang bertemu mungkin rasanya akan biasa saja. Tapi ini? Mantan yang sudah menyakitinya tanpa ampun, tiba-tiba menyapanya dengan tanpa dosa dan lagak sok dekatnya. Ampunlah!

"dari kapan?" Adra masih bertanya.

"barusan" balas Tasya dengan cengiran garing.

Ia sedang memikirkan siasat untuk kabur dari Adra, tidak nyaman. Entah bodoh atau memaksakan, Adra sama sekali tidak canggung dengan suasana ini. Padahal setiap orang pasti sadar kalau susananya sangat tidak enak. Mungkin kalau orang lain yang menempati posisi Adra saat itu, mereka akan cari siasat untuk mengakhiri percakapan garing diantara keduanya lalu pergi dan tidak akan kembali.

Adra menggeret tangan Tasya, "ayo aku tunjukkin tempat makan enak!"

"Shit!" Satu kata penuh makna langsung muncul dibenaknya.

Langit cerah yang tadinya membahagiakan suasana hati mendadak seperti akan turun hujan badai penuh guntur. Ia benar-benar terjebak dengan manusia gila ini. Tangan Adra menggandeng erat tangan Tasya, kalau dulu mereka seperti ini mungkin Tasya bisa mendapat gelar orang paling bahagia.

Sebab Adra benar-benar nyata dihadapannya, sejauh mereka menjalin kasih keduanya sama sekali tidak pernah menemui temu. Tasya kerepotan belajar guna perguruan tingginya, begitupula Adra yang rasanya hanya ngomong saja.

Adra semacam memberi harapan Tasya untuk didatangi ke Surabaya, tapi kenyataannya kosong. Sekarang tangannya sudah basah kuyup, tapi si Bodoh Adra sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda untuk melepas genggamannya.

Brttt..

Ponsel Tasya bergetar, Tasya memanfaatkan situasi ini untuk melepas genggamannya. Nama Donny tertera disana.

"siapa?" tanya Adra datar.

Tasya masih menatap ponselnya, tidak menjawab.

"pacar kamu?" lagi-lagi Adra bertanya, tapi suaranya terdengar cemburu.

Tasya tertawa kemenangan dalam diri, "IYA! PACAR GUE! MO APA LO!" ingin sekali kalimat tersebut keluar dari mulutnya saat itu juga, agar dia tidak dibuntuti oleh Adra. Tapi ia malah menggeleng.

Anxiety [18+] End.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang