Kali ini, diam Ara agak lama.
"Kau duda?"
"Ya."
"Punya anak?"
"Tidak, aku baru bercerai dengan istriku beberapa minggu yang lalu. Ini pernikahanku yang pertama."
"Karena apa?"
Dan sekarang Juna yang bungkam. Mata mereka saling menatap. Memutus keraguan, Juna mengatakannya.
"Karena aku mandul."
"..."
Juna melihat Ara yang menunduk. Jemarinya memainkan pinggiran cangkir.
"Kalau kau tidak ingin, tidak apa-apa. Aku tidak apa hanya di hubungan pertemanan. Bertemu dan mengobrol denganmu adalah hal yang menyenangkan. Lagipula kau wanita yang manarik, tidak pantas dimiliki oleh aku yang kurang ini."
"Tidak, aku hanya terkejut. Kau jangan merendahkan diri sendiri. Setiap manusia memiliki cobaannya masing-masing. Dan lagi, pernikahan bukan hanya tentang melanjutkan keturunan. Tapi juga saling pengertian satu sama lain. Mengajarkan kedewasaan dan cara menyelesaikan permasalahan dengan kepala dingin. Menguji kesetiaan serta bagaimana mempertahankan hubungan masing-masing pihak. Pernikahan itu tidak melulu tentang cinta dan juga anak. Ada banyak hal didalam sana. Selayaknya sebuah kisah dan tentu tidak hanya berisi hal manis saja, pahit, hambar dan asin. Semuanya terangkum disana. Kita hanya ditugaskan untuk menjalankan dan belajar apa artinya membangun sebuah keluarga."
"Pernahkah aku mengatakan kau wanita yang menarik?"
Ara terkekeh, "Aku tau, kalau aku menarik." Dan mengedipkan satu matanya.
"Jadi?"
"Pilihanku tidak akan berubah."
"Jadi, jawabannya ya?"
Ara mengangguk.
Juna sangat bersyukur. Ia merasa diterima. Dan tersenyum lebar. Ia mengeluarkan sebuah kotak dan menunjukkannya pada Ara.
"Apa ini?"
"Buka saja."
Ara membukanya. Dan menemukan sebuah kalung berbandul berlian kecil. Sangat cantik dan berkilau.
"Untuk ku?"
Juna mengangguk, "Sini ku pasangkan."
Lalu ia menatap kalung itu yang sudah terpasang di leher jenjang Ara.
"Cantik."
"Iya, kalungnya cantik."
"Bukan, kau."
"Dasar gombal."
***
"Mbak Yuna, belum pulang?"
Yuna sontak menepis kasar tangan dibahunya. Ia kaget luar biasa dan berbalik. Menatap Jono yang terkejut.
Yuna menunduk, "Maaf."
"Tidak apa-apa, Mbak. Mungkin aku yang tidak tau. Maaf, jika tindakanku barusan kurang sopan di mata Mbak."
Yuna bungkam.
"Mbak mau pulang? Mau aku antar?"
"Tidak usah. Aku bawa sepeda."
"Oh, hati-hati Mbak."
"Iya." Yuna menuntun sepedanya keluar.
Dari arah belakang ia mendengar dirinya di sebut.
"Kenapa Mbak Yuna begitu ya?"
"Nggak tau." Itu suara Jono.
"Pas hari pertama bekerja juga begitu. Aku melihat wajahnya pucat dan tangannya gemetar setelah jabat tangan dengan supervisor, Pak Mamat. Kukira dia dan Pak Mamat ada masa lalu yang buruk. Tapi, ternyata setelah ku perhatikan. Tingkahnya ke semua pria seperti itu. Dia menjaga jarak. Dan ketakutan. Menurutmu apakah dia memiliki trauma dengan seorang pria?"
"Sudahlah, Toyip. Nanti Mbak Yuna dengar. Suaramu kan besar. Aku nggak enak."
Yuna makin mempercepat langkah. Cengkeramannya mengerat pada stang kemudi.
***
18 November 2019
Vote dan komen 😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga tahun [End]
Fiksi UmumWaktu memang adalah hal menakutkan di dunia ini. Tak memandang pangkat, derajat, kekayaan, dan status. Ia akan terus berjalan. Tanpa diminta atau bisa dihentikan. Dan manusia pun bisa berubah karenanya. Sebelum tiga tahun dan setelah tiga tahun. Buk...