Menjelang jam terakhir namanya di panggil ke kantor. Ia menatap Juna yang sudah di luar kantor. Raut pria itu nampak senang. Dan firasat buruk itu makin menjadi.
Ia masuk bersama Juna ke dalam. Disana Pak Kepala Sekolah dan Pak Soni yang berwajah sangat keruh.
"Disini Bapak akan meluruskan Beberapa hal. Juna akan dibebaskan dari hukuman. Dan Yuna, bapak sangat berat sekali mengabarkan ini. Beasiswamu terpaksa di cabut."
"Kenapa Pak? Nilaiku selalu bagus." Itu suara Yuna yang tercengang.
"Kau sering membolos dan berperilaku tidak sopan pada temanmu. Karena mempertimbangkan tingkah lakumu yang buruk, maka beasiswamu di cabut."
"Ini tidak masuk akal Pak. Aku korban disini."
"Korban juga terlibat. Ini membuat citra sekolah kita buruk jika gosip-gosip buruk terus tersebar."
"Apa?" Yuna habis pikir. Alasan tidak masuk akal. Dan pikirannya langsung terpusat pada Juna. Apakah ini ulah lelaki itu?
"Karena urusanku sudah selesai, aku undur diri dulu Pak." Juna menarik kedua bibirnya senang. Seolah mengatakan dialah pemenang di atas pertarungan ini.
Selepas kepergian Juna, Kepala Sekolah menatap Yuna yang tertunduk.
"Nak, kamipun tidak bisa berlaku banyak. Donatur terbesar di sekolah ini adalah ayahnya Juna. Dan ayahnya lah yang memberikan dana beasiswa itu. Maaf, Nak. Sebaiknya kamu meminta maaf pada Juna siapa tau dia mau berbaik hati memberikan beasiswamu lagi."
Rasanya Yuna mau mati.
.
.
.Awalnya Yuna tidak mau menyetujui saran Kepala Sekolah. Ia sakit hati. Dan ia rasa, ia bisa menebus biaya bulanan sekolah ini. Tapi, begitu melihat nominal tertera di kartu sppnya yang harus dilunaskan bulan ini. Yuna yakin, ayahnya akan langsung menyuruh dia berhenti sekolah. Karena ayahnya tidak sanggup membiayai dua anak yang sedang sekolah.
Akhirnya, dengan memantapkan hati. Berpikir berhari-hari. Memupuk kesabaran. Dan mengenyahkan ego. Yuna mendatangi Juna yang sedang tertawa bersama teman-temannya di lorong di jam kosong.
Dengan kepala tertunduk. Ia berdiri didepan Juna.
Tawa Juna mereda, menatapnya skeptis.
"Kenapa lo? Jauh dari pandangan gue. Merusak pemandangan."
Yuna mengepalkan tangan, "A..aku mau minta maaf."
Alis Juna menukik. Ia menghentikan aktivitasnya dengan kawan-kawan dan fokus ke Yuna.
"Minta maaf?"
"Iya, maafkan aku Juna."
"Untuk apa?"
"Kejadian waktu itu, aku yang salah. Tolong kembalikan beasiswaku."
"Kalau mau minta maaf dengan cara yang benar dong."
Yuna mendongak. Memandang tak mengerti.
"Berlutut dan minta maaf." Perintah Juna seraya bersedekap.
Yuna menatap lantai. Harga dirinya luluh lantak seiring dia bersimpuh. Menebalkan wajah diantara mata-mata yang memandang penasaran.
"Juna, maafkan aku."
"Kurang kata ampun."
"Juna, maafkan aku. Ampunkan aku."
Juna mengangguk-angguk. Tapi, ia belum puas. Dan matanya tak sengaja melirik ember berisi bekas pel. Ide liciknya langsung membuatnya menyetujui.
"Belum terlalu menyayat. Kau belum merasakan rasa malu di pojokkan Pak Soni. Ambil ember itu dan tuangkan ke kepalamu maka aku akan memaafkan dan mengembalikan beasiswamu kembali."
"Juna, hentikan. Itu sudah keterlaluan." Ucap Leo.
"Jangan menghentikanku Leo. Sesama brengsek tidak usah berceramah. Kau pun pasti senang melihatnya menderita."
Dan perdebatan mereka dihentikan oleh bunyi air yang menerpa kepala dan tubuh Yuna yang dilakukan oleh dirinya sendiri. Dengan raut menahan tangis. Bibir Yuna berucap lirih.
"Maafkan aku. Ampunkan aku Juna."
"Nah itu baru sempurna!"
"Brengsek kau Juna!" Juna menghantamkan tangannya ke cermin. Meretakkannya. Dan membiarkan serpihan kecilnya menusuk kulit dan membuat tangannya berdarah.
***
27 November 2019
Vote dan komen 😉
![](https://img.wattpad.com/cover/202523947-288-k462137.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga tahun [End]
Fiksi UmumWaktu memang adalah hal menakutkan di dunia ini. Tak memandang pangkat, derajat, kekayaan, dan status. Ia akan terus berjalan. Tanpa diminta atau bisa dihentikan. Dan manusia pun bisa berubah karenanya. Sebelum tiga tahun dan setelah tiga tahun. Buk...