"Benarkan firasatku selama ini! Rupanya kamu yang mandul."
"Apakah kita harus membahas ini terus?"
"Ya, kamu enak kerja disana. Aku disini. Diomongi ibu kamu terus. Sudah kayak babu dikira mandul lagi! Telinga aku pegal diceramahi ibu kamu tiap hari. Saudara-saudara kamu juga menghina aku! Dikira aku tidak punya hati?!"
"Calista, pelankan suara kamu. Nggak enak sama orang di luar."
"YA, BIARIN! BIAR MEREKA DENGAR KALAU MEREKA SELAMA INI SALAH! KAMU YANG MANDUL!"
"CALISTA!"
"APA?! Mau tampar?! TAMPAR!"
"KENAPA TIDAK JADI?!"
"Sekarang mau keluar kamu. BAGUS! MAIN SANA SAMA PEREMPUAN LAIN! JANGAN-JANGAN BUKAN HANYA MANDUL TAPI PENYAKITAN JUGA KAMU!"
"ITUKAN YANG KAMU LAKUKAN TIAP MALAM KALAU KELUAR. PANTAS IBUMU CERAI, MEMANG SUDAH DARI AYAH SAJA SUDAH CACAT ANAKNYA IKUT BAJINGAN!!! KELUARGA RU---"
PLAK!!!
Pipi Calista tertoleh ke samping. Napasnya berderuh cepat. Ia menatap nanar Juna yang terbakar emosi. Rahang pria itu ketat disertai tatapan mata tajam. Satu persatu air mata Calista turun. Belum lagi pipinya yang perih. Ia sakit hati dan jiwanya.
Dengan suara lirih, ia berucap, "Aku mau cerai."
Lalu ia berlari. Membuka pintu kasar tanpa membawa barang-barangnya. Calista pergi. Meninggalkan Juna yang berusaha menenangkan emosi yang terpancing. Pria itu menatap lurus ke depan. Tanpa memperdulikan Ibu dan saudara-saudaranya dan kakak ipar yang berdiri di depan kamar mereka karena mendengar keributan yang baru saja terjadi.
***
"Aza mau kembang gula?"
Anak laki-laki itu mengangguk-anggukkan kepala. Matanya menatap penasaran pada mesin penjual kembang gula. Yang berbunyi, berputar lalu mengeluarkan serat-serat putih seperti jaring laba-laba.
"Pak, beli satu. Harganya dua ribu kan?"
"Iya, Neng."
Penjual itu memberikan pada wanita disamping Aza.
"Makasih."
"Sama-sama, Neng. Anaknya atau ponakan?"
"Anak saya Pak."
"Oh, ganteng ya. Yang nurut ya sama ibu."
"Iya." Jawab Aza.
Aza menerima kembang gula itu dengan senang. Bibirnya langsung meraup tepian atas bantal kapas itu. Rasa manis langsung memenuhi mulutnya dan membuatnya tambah girang dan ingin mencoba lagi. Mereka pun berlalu. Masuk ke sebuah warung makanan yang masih tutup.
Dan wanita tadi menundukkan Aza di sebuah bangku lalu mengusap kepala anaknya dengan sayang.
"Aza, duduk disini ya. Jangan kemana-mana. Ibu mau kerja."
Aza mengangguk.
"Anak pintar."
"Yuna, kamu sudah datang?" Seru Seruni seraya melepaskan jaket.
"Iya, Mbak."
"Macet sekali tadi. Hai Aza." Wanita itu menggantung jaketnya pada paku didinding lalu mencubit pipi Aza gemas.
"Hai Mbak Uni."
"Yang lain belum datang?"
"Sepertinya baru aku saja yang sampai."
"Ayo kita buka toko. Nanti keburu Bos datang. Masalah yang lain urusan mereka. Sering amat datang telat. Giliran di pecat saja, keluar alasannya bejibun dengan air mata buaya."
Yuna hanya menampilkan cengiran kecil. Ia menyusul Seruni ke depan.
***
12 November 2019
Vote dan komen 😉Oh ya di fizzo aku juga ada cerita mirip2 kayak gini judulnya Black Sugar bercerita tentang karma agak dark juga sih tapi nyangkut kehidupan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga tahun [End]
Fiksi UmumWaktu memang adalah hal menakutkan di dunia ini. Tak memandang pangkat, derajat, kekayaan, dan status. Ia akan terus berjalan. Tanpa diminta atau bisa dihentikan. Dan manusia pun bisa berubah karenanya. Sebelum tiga tahun dan setelah tiga tahun. Buk...