3 Tahun Kemudian (83)

17.5K 1.5K 71
                                    

Juna membuka mata karena mencium bau yang menyengat. Ia merasakan hidungnya pedas. Ia melihat penyebab hidungnya pedas, ternyata karena minyak kayu putih yang dibaluri disekitar pangkal hidung dan kumis tipis yang baru dicukur kemarin. Benda itu di pegang oleh Aza. Pantas. Rasanya seperti ditumpahi sambal lalu membekas di kulit walau sudah dibersihkan.

Juna mendapati orang-orang mengelilinginya. Pak Seno, Yuna dan beberapa orang yang tidak ia kenal.

"Gimana? Udah mendingan?" Tanya Pak Seno.

"Ada yang sakit?" Tanyanya lagi. Ketika Juna berusaha bangkit duduk.

Juna mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi dengannya. Dan kejadian sebelum ia pingsan teringat dengan jelas. Ia menatap Aza. Mata anak itu memandangnya penuh penyesalan. Ia menarik napas. Memejamkan mata. Lalu membuka mata dan memberi senyum serta usapan pelan di kepala Aza bahwa itu bukan masalah besar.

"Saya sudah baikan Pak. Terima kasih sudah menanyakan."

"Alhamdulillah, kaget bapak pas lihat kau pingsan. Bapak kira kenapa, tak taunya di jahili Aza. " Pak Seno beralih ke Aza, "Jangan gitu Aza. Lihat, Om nya sampai pingsan."

Dengan wajah menyesal, mata berkaca-kaca, Aza menunduk, "Maaf..."

Tak tega, Juna mengusap kepala Aza, menarik kedua bibirnya membentuk senyum. "Ini bukan salah Aza kok Pak. Ini salah saya yang terlalu lemah."

"Masih mau mancing?"

Dilihatnya Aza menunduk. Juna kembali membelai kepala anak itu, "Masih, Pak. Aza pengen banget dapat ikan."

"Ganti saja umpannya jadi bekicot. Tapi, harus cari di bawah sana."

"Ayo Om."

"Biar Om saja, nggak apa-apa kok."

"Nggak mau, Aza mau ikut."

"Kotor Aza."

"Aza senang main lumpur."

"Banyak kuman. Nanti kulit Aza gatal."

"Waktu itu main lumpur, tapi Aza nggak kenapa-kenapa. Ayo Om."

"Tapi harus sebentar, habis itu Aza harus naik." Itu suara Yuna yang menimpali.

"Siap." Aza memasang senyum lebar. Dan berlagak hormat pada Yuna.

Juna dan Aza turun di kubangan lumpur. Tak jauh dari sungai. Ia melepas sepatu dan kaus kaki lalu membawa ember. Sepatu bot yang ia bawa, ia pasangkan pada Aza. Takut nanti ada paku atau benda-benda yang membahayakan Aza. Jadi, ia bertelanjang kaki dan Aza memakai sepatu bot kebesaran.

"Aza tau bentuk siput?"

"Om belum pernah lihat bekicot?"

"Kalau di handphone sudah. Tapi, melihatnya didepan mata, belum."

Tangan Aza terlihat mengubak-ubak tanah lumpur. Tenang saja, tangannya sudah memakai sarung tangan plastik yang dibeli Juna di warung tak jauh dari sini dan memang menyediakan alat-alat khusus untuk mancing.

"Yey, dapat! Yang seperti ini Om."

Juna mengangguk. Ini tidak bahaya. Ini mirip siput. Tapi, terserahlah apapun namanya.

Di menit selanjutnya mereka sibuk, mengorek-ngorek lumpur mencari bekicot untuk pakan mancing.

Saat sedang serius, sebuah lumpur menghantam baju kemeja Juna. Juna menatap sosok yang melempar lumpur itu, dan didapatinya Aza tengah terkikik geli melihatnya dengan sebuah bola lumpur lagi ditangannya.

"Oh, kau mau mengajak Om perang?"

"Ya! Seperti Spongebob tapi dia pakai salju. Tapi, disini cuma ada lumpur. Om kalah!"

"Belum, kan Om nggak tau. Harus ada aba-aba..." Juna mengambil segenggam lumpur. Ia menyiapkan posisi hendak melemparkan. Begitupun Aza.

"Serang!" Teriak keduanya. Lalu setelahnya diisi tawa dan teriakan Aza yang bercampur kikikkan gelinya.

"Kenapa lama sekali mencari si..." Kalimat Yuna terhenti bersama kedua sosok itu yang ikut menoleh ke arahnya.

Ia menatap keadaan kedua orang dibawah sana yang tak bisa dikenali lagi bentuknya. Setidaknya wajah Juna masih terlihat dan tidak kotor. Hanya baju, celana, rambut dan tubuhnya yang berlumuran lumpur. Sementara kondisi Aza begitu mengenaskan. Anaknya bahkan tak terlihat lagi wajahnya, hanya area disekitar bola mata yang tidak terkena lumpur. Selebihnya, tubuh kecil itu tertutupi semua lumpur seperti melihat Yeti kecil tapi ditutupi lumpur semuanya bukan bulu.

"Astaga! Aza naik!" Yuna berkacak pinggang.

"Ibu tanggung, Aza mau main lagi."

"Mau main apa lagi? Kamu itu sudah tak berbentuk lagi! Itu pasti susah di bersihin belum lagi kuman-kumannya! Gimana kalau ada bakteri atau cacing? Siapa tadi yang khawatir takut kulit kamu gatal, Hah?! nggak bertanggung jawab sekali! Bisanya cuman ngomong."

"Aza naik, pegang tangan ibu."

Aza diam. Matanya menunjukkan penolakan. Tapi, Yuna menunggu uluran tangan Aza untuk menaikkan anaknya dari kubangan lumpur.

Namun, bukan tangan Aza yang ia dapat. Tapi, lemparan lumpur yang mengenai sebagian lengannya. Yuna menatap tajam Juna. Ia memicingkan mata benci.

Dan tanpa aba-aba Yuna melemparkan sebelah sendalnya ke wajah Juna yang sedang tertawa bersama Aza. Tawa itu terhenti tapi diikuti tawa kencang Aza.

"Aza pulang. Ambil sendal ibu."

Juna meringis seraya mengusap dahinya.

***
8 Februari 2020

Vote dan komen 😉

Kayaknya nggak ada kata yg bisa aku ucapkan untuk kalian yg selalu support dan menyemangati ku. Terima kasih. Terima kasih. Terima kasih.

Tiga tahun [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang