Saat Yuna akan keluar untuk membeli kecap. Ia melihat bayangan tubuh Juna duduk di teras. Tengah membuka sepatu. Didalam hatinya ia kesal, kenapa Juna belum pergi. Ini juga sudah lewat maghrib. Abaikan sajalah.
Harapannya saat pulang. Juna sudah pergi, tapi itu tak terjadi. Laki-laki itu masih disana dengan kondisi yang sama. Laki-laki itu juga sepertinya tidak menyadari keberadaannya. Masih sibuk dengan kakinya. Tunggu...
Langkahnya terhenti. Ia menatap Juna lagi. Pria itu sedang meringis membersihkan tetesan-tetesan yang keluar dari bawah telapak kakinya. Darah. Itu artinya laki-laki itu terluka.
Itu bukan urusanmu Yuna. Mau di mati juga bukan. Malah bagus ia terluka, agar dia tau bagaimana rasa sakitnya.
Yuna berlalu masuk. Tapi, beberapa menit kemudian ia kembali keluar dan berdiri didekat Juna.
"Kenapa belum pulang?" Tanya Yuna dingin.
Juna terkejut. Ia menyembunyikan kaki kirinya. Ia mendongak melihat Yuna. Dan repleks mengukir senyum.
"Tidak, ini baru mau pulang." Juna memasang kaus kaki kanannya lalu sepatu. Saat akan berpindah ke kaki kiri, ia menatap Yuna.
"Kau tidak masuk? Disini banyak nyamuk." Sebenarnya Juna tidak ingin Yuna melihat kaus kaki kirinya yang penuh darah gara-gara ia usapkan untuk membersihkan darah di kaki kirinya.
Yuna melempar kain kasa dan botol air ke pangkuan Juna, "Bersihkan. Jangan meninggalkan jejaknya di teras ini."
Juna terdiam. Dia tau. Lantas Juna memandang kain kasa ditangannya dengan sebuah senyuman yang tak ia sadari sendiri. Baru mau mendongak untuk mengucapkan terimakasih. Pintu sudah tertutup. Yuna menghilang.
Ketika sibuk mengelap lukanya yang sudah tak mengeluarkan darah. Pintu kembali terbuka. Yuna melempar kotak p3k.
"Terima kasih." Ujar Juna buru-buru. Takut tidak sempat mengucapkan seperti tadi. Dan seperti biasa, tidak ada balasan dari Yuna.
Lalu saat berlalu dan melihat Juna bingung dan hendak meneteskan alkohol langsung ke lukanya. Yuna mengurungkan niatnya untuk pergi. Ia mendatangi Juna lagi. Dan merampas botol alkohol itu dari tangan Juna.
"Kau ini bodoh atau idiot?"
"Mungkin keduanya."
Yuna menyentak kaki kiri Juna dengan keras lalu dinaikkan ke atas tangga teras. Juna sempat berteriak namun segera diredamnya. Jadi, ia menahan sakitnya itu.
"Tidak apa-apa sih, aku akan menahannya." Ujar Juna jenaka.
Yuna diam. Ia menatap sayatan di telapak kaki Juna.
"Karena apa?"
"Oh, tertusuk beling. Tapi, sudah ku ambil."
Dan Yuna teringat kejadian di lumpur itu. Mungkin dia tertusuk disana. Aza kan memakai sepatu bot sementara dia tidak. Ia juga melihat Juna yang berjalan selalu dibelakang.
Yuna mengambil pinset, untuk mencabut beling-beling kecil yang ternyata masih disana. Lalu ia membuka tutup salep antiseptik.
"Apakah kau sedang meng---awww..." Teriak Juna merasakan area lukanya ditekan keras dengan sengaja oleh Yuna.
Hening. Juna terus mengamati gerak-gerik Yuna. Ia memasang senyum. Hatinya menghangat. Tapi, menghilang saat melihat tangan Yuna masih bergetar samar. Trauma itu masih ada. Dan wanita itu antara sadar atau tidak, ia tetap melanjutkan... membantunya.
"Yuna..."
Tak ada jawaban.
"Maaf..."
Seolah-olah tak mendengar, ia sibuk membersihkan luka Juna.
"Mungkin kau sudah bosan mendengarnya... Tapi, aku ingin minta maaf. Aku ... baik, aku tidak tau harus mengatakan apa. Aku tidak pandai merangkai kata. Tapi, aku ingin kau tau. Aku sungguh sangat menyesal. Dan mungkin kesakitanmu tidak akan pernah bisa ku gantikan dengan apapun. Walau aku mandul, pernikahanku kacau, ditipu, lalu hampir nyaris gila. Dan Allah mempertemukan aku dengan dirimu untuk memberiku kesempatan. Allah sangat baik dan juga dirimu. Begitu banyak yang diberinya padaku, kesempatan, kebaikan, dan Aza. Kau pun sangat baik. Kau membolehkanku melihat Aza setelah apa yang kulakukan. Bahkan trauma yang telah ku torehkan, kau tetap baik."
"Yuna, terima kasih sudah sebaik ini..." Juna menarik napas, menatap wajah Yuna, " dan... terima kasih sudah melahirkan Aza."
Yuna menyimpul perban di luka Juna. Lalu memberesi semua peralatan P3K. Ia bangkit berdiri. Dan berlalu. Tak sekalipun membalas tatapan Juna yang mengamatinya sejak tadi.
***
15 Februari 2020
Vote dan komen 😉
![](https://img.wattpad.com/cover/202523947-288-k462137.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga tahun [End]
General FictionWaktu memang adalah hal menakutkan di dunia ini. Tak memandang pangkat, derajat, kekayaan, dan status. Ia akan terus berjalan. Tanpa diminta atau bisa dihentikan. Dan manusia pun bisa berubah karenanya. Sebelum tiga tahun dan setelah tiga tahun. Buk...